Chapter 6 - Keputusan Paling Sulit

178 14 1
                                    

Kalau Anna mengira rumahnya akan terasa sepi karena perang dingin itu salah. Rumahnya bertambah panas dari hari ke hari. Kini tak hanya teriakan yang terdengar tapi juga suara barang-barang pecah yang dibanting pun mulai terdengar.

Entah apa yang pecah. Mungkin vas bunga, atau asbak, atau cermin rias. Ayah ibunya tak ada yang mau mengalah, tak ada yang berkepala dingin mencari solusi yang tepat.

Ibu tirinya bahkan mengancam akan pergi dari rumah dan tak akan kembali. Dan dua hari yang lalu ia membuktikan ancamannya dengan membawa Diva dan barang-barangnya keluar dari rumah.

Ayahnya yang stress tak bisa melampiaskan emosinya dengan baik berakhir pulang ke rumah dalam keadaan mabuk. Anna, Bi Min, Unti, dan Pak Nun yang kerap kalang kabut mengurus ayahnya. Menggotongnya ke kamar dan juga membersihkan bekas muntahan yang tercecer di sembarang tempat.

Anna tak bisa konsentrasi saat di kampus karena mengkhawatirkan ayahnya. Anna yang selalu berangkat pagi ke kampus hanya mendapati ayahnya yang masih tertidur pulas. Entah jam berapa ayahnya bangun dan pergi ke kantor. Sepertinya ayahnya pun ke kantor dengan keadaan yang buruk.

Siang ini, selepas kuliah terakhir, Anna menelepon sekretaris ayahnya menanyakan kabar ayahnya dan mengecek apakah ayahnya ke kantor hari itu.

Anna menarik napas lega saat Yunita, sekretaris ayahnya, mengatakan kalau ayahnya setiap hari datang ke kantor meski seringkali datang terlambat.

Siang ini Anna bermaksud menemui ayahnya di kantor. Masalah ini tak boleh hanya dibiarkan saja menunggu akhir. Harus ada yang mau mengalah. Ibu tiri dan dan adiknya jelas tak dapat diharapkan mau memberi solusi. Hanya Anna yang bisa.

"Halo, Pa!" sapa Anna sambil membuka pintu kaca tebal di seberang meja kerja Rasena di lantai paling atas PT Bumi Nusa. Ruang kerja yang nyaman dengan donimasi warna putih dan krem dengan sentuhan dinding kayu warna cokelat yang terdapat di belakang meja kerja Rasena yang juga berwarna cokelat.

"Anna, ada apa ke sini?" tanya Rasena kaget karena anaknya itu mengunjunginya tanpa pemberitahuan.

"Anna mau bicara, Pa, penting dan Anna nggak bisa bicara di rumah karena Papa selalu pulang dalam keadaan mabuk," jawab Anna sambil mengenyakkan tubuhnya ke atas sofa krem di ujung ruangan dekat jendela kaca besar.

Rasena berdahem dan merasa tak enak hati. Ia hanya bisa melarikan diri pada alkohol, sedangkan anak gadisnya itu yang repot mengurusnya setiap malam.

"Maafkan, Papa, An. Papa sudah merepotkanmu," sesal Rasena.

Ia pun mengambil tempat di bagian sofa yang lain dan duduk berhadapan dengan Anna yang menatapnya dengan sedikit senyum yang dipaksakan.

"Aku akan menikahi Om Fandi, Pa. Jadi, Papa tak perlu ribut dengan Mama Rica dan juga mabuk-mabukan lagi. Aku akan mennyetujui syarat yang diajukan Om Fandi," ucap Anna akhirnya setelah mereka terdiam cukup lama.

Rasena tersentak kaget. Ia tak menyangka akan mendengar putrinya bicara seperti itu. Dan bukannya lega masalahnya akan menemukan jalan keluar, Rasena merasa dirinya ayah paling tidak berguna di muka bumi.

"Anna, kau tak perlu memaksakan dirimu. Papa tak akan mau memaksamu melakukan hal yang tak kausuka. Kau tak harus mengorbankan dirimu untuk Papa," kata Rasena. Matanya menatap nanar anak gadisnya yang matanya sama sendunya dengan raut wajahnya saat ini.

"Hanya itu jalan keluar satu-satunya, Pa. Kita tak punya apa-apa untuk membayar utang. Dan aku yakin Papa juga masih memiliki pinjaman di tempat lain yang juga hampir jatuh tempo. Perusahaan Papa juga masih harus berjalan normal. Banyak orang yang hidupnya tergantung dari perusahaan ini. Aku juga tak mau mereka berakhir kehilangan pekerjaan. Jadi, ya, aku akan menikah dengan Om Fandi. Papa tak perlu mencemaskanku. Aku pasti akan baik-baik saja," tukas Anna.

CEO'S LADYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang