CHAPTER 33 - Sisi Lain Chiara

138 14 0
                                    

Sejak saat itu Anna dan Chiara sering keluar berdua. Meski hanya sekadar jalan-jalan di pusat perbelanjaan, ke café, atau ke salon.

Anna yang sebelumnya lebih banyak berdiam diri di rumah, sekarang sebaliknya. Kadang sore ia baru pulang ke rumah.

Tas-tas pemberian Evander sekarang juga lebih sering dipakainya. Bukan karena ia branded minded, tapi untuk mengimbangi penampilan Chiara yang selalu stylish dan up to date. Anna tidak mau ia dikira pembantu Chiara kalau jalan berdua dengannya.

Chiara yang sudah tinggi tampak makin tinggi karena memakai heels ke mana pun ia pergi. Memutari mall dengan heels sepuluh senti pun ia kuat. Kalau Anna pasti langsung memanggil tukang pijit karena kakinya pegal. Kalau jalan-jalan, paling Anna paling nyaman hanya memakai heels tiga senti. Itu pun sangat jarang karena Anna lebih suka memakai flat shoes atau sneakers.

Hari ini mereka sudah ada di salah satu salon terkenal langganan Chiara. Menurut ceritanya, minimal sehari sekali ia ke salon untuk sekadar blow rambut atau merapikan kukunya. Anna yang biasanya cukup seminggu sekali ke salon pun hanya menatap tak percaya.

Anna malas mengantre lama di salon. Apalagi hanya untuk urusan menge-blow rambut. Namun, hasilnya memang beda. Meskipun rambut Anna tidak nampak kusut atau kusam, tapi masih kalah jauh dengan rambut Chiara yang tampak bersinar dan lembut.

Hari ini Anna hanya ingin meng-creambath rambutnya. Sedangkan Chiara ingin mengecat ulang rambutnya. Beberapa bagian rambutnya tampak sudah mulai tertutup alumunium foil.

Creambath atau pun hair mask merupakan dua kegiatan favorit Anna. Ia bisa rileks sambil menikmati pijatan di kepala dan bahunya. Selain itu lulur dan spa juga menyenangkan baginya. Namun, dua kegiatan ini Anna jarang melakukannya karena memang membutuhkan waktu yang lebih lama di salon. Dulu Anna tak punya banyak waktu yang bisa dibuangnya untuk memanjakan diri di salon karena banyaknya kegiatan kampus yang diikutinya.

Anna masih menunggu rambutnya dikeringkan sambil memainkan ponsel saat didengarkan suara orang berteriak marah dan membanting peralatan salon yang ada di rak.

Anna menengok dan melihat Chiara sangat marah pada salah satu beautician yang tadi mewarnai rambutnya.

"Ini bukan warna yang aku mau. Aku mau caramel. Dan kenapa bisa cokelat tua seperti ini. Kamu tidak bisa bedakan caramel dengan copper?" teriaknya dengan nada melengking tinggi.

Anna hanya melihat adegan itu dan terpaku. Chiara yang selama ini dikenal Anna sebagai pribadi yang ceria dan anggun, tapi hari ini sangat berbeda. Gadis itu meluapkan amarahnya dan sorot matanya terlihat menyeramkan sekali.

Beautician yang ditunjuk jari panjang Chiara hanya menunduk ketakutan. Pemilik salon yang nampaknya sudah kenal baik dengan Chiara sampai harus turun tangan.

"Chia, sayang, kami perbaiki, ya, rambutnya. Maaf, karyawan Tante yang kurang profesional," bujuk pemilik salon yang merasa tak enak hati pada pelanggan lainnya yang menonton kejadian itu.

Pelanggan VIP seperti Chiara pantang dibuat tidak puas. Tatapan mata pemilik salon seperti mau mencekik karyawannya.

Pemilik salon mengambil alih tugas pegawainya yang keliru mengaplikasikan warna. Dalam pandangan orang awam warna caramel dan copper memang nyaris sama. Namun, bagi yang paham tentang rambut pasti tahu bedanya.

"Amatiran. Kalau memang tidak becus kerja lebih baik resign atau dipecat saat ini juga," teriak Chiara yang masih dikuasai emosi.

Chiara masih saja meluapkan kemarahannya meskipun pemilik salon sudah turun tangan memperbaiki kesalahan pegawainya. Chiara mendengus keras sambil berkacak pinggang.

Matanya juga menatap garang pengunjung maupun pegawai salon yang lain. Yang ditatap pun segera mengalihkan pandangannya supaya tidak terkena semburan awan panas Chiara.

Namun, anehnya saat bertatapan dengan Anna, Chiara langsung mengubah suasana hatinya. Emosinya yang tadi meledak-ledak langsung terlihat normal seperti sedia kala. Senyumnya pun langsung mengembang.

"Well, tidak semua berjalan seperti rencana, kan?" ujarnya sambil tersenyum ceria seperti sebelumnya.

Chiara pun kembali duduk dan membiarkan pemilik salon memperbaiki warna rambutnya. Membuat Anna yang menatapnya tertegun tak tahu harus berbuat apa.

*

*

"Apa Chiara suka marah-marah tanpa bisa mengontrol emosinya?" tanya Anna malam itu pada Evander di ruang kerjanya.

Anna duduk di atas sofa dan memperhatikan suaminya yang tengah berkutat di depan komputer.

"Aku tidak tahu," jawab Evander tanpa memalingkan pandangannya dari layar komputer.

"Bukankah kalian dekat? Chiara yang bilang begitu," ucap Anna.

"Tidak begitu dekat. Yang dekat hanya keluarga kami. Itu pun tidak secara personal."

Aneh sekali bukankah Chiara bilang ia dan Evander seperti kakak beradik. Namun, kenapa Evander berkata sebaliknya?

"Oh, ya, kemarin Chiara cerita kalau kau sebenarnya punya kakak, tapi sudah meninggal," ujar Anna.

Evander menghentikan pekerjaannya dan menatap Anna. Anna tak suka tatapan Evander seperti saat itu, tajam seperti elang yang akan menangkap mangsanya. Melihat perubahan itu membuat Anna menyesal menyinggung saudara Evander yang sudah tiada.

"Sudah lama sekali. Aku baru saja masuk SMA waktu itu," jawab Evander singkat, lalu melanjutkan lagi pekerjaannya.

Yah, kalau meninggalnya karena overdosis siapa juga yang mau ingat. Mungkin Evander juga tak mau mengingatnya lagi.

"Chia cerita apa lagi?" tanya Evander saat hening cukup lama.

"Tak banyak, hanya itu," jawab Anna.

"Tante Kenia tadi telepon. Kenapa kau tak pernah berkunjung lagi? Ia mengira aku yang melarangmu ke sana," kata Evander.

Anna merasa tak enak hati. Akhir pekan kemarin ia seharusnya mengunjungi Kenia, tapi waktunya ia habiskan bersama Chiara sampai menjelang senja.

"Besok aku ke sana," jawab Anna singkat dan kembali menekuri buku yang ada di pangkuannya.

"Tante Kenia juga bilang apa isi buku yang dipinjamkannya padamu bagus dan bisa dipraktikkan? Buku apa?" tanya Evander ingin tahu.

Anna merasa wajahnya merah padam dan pipinya terasa panas. Mana sempat Anna mempraktikkan isi buku itu. membuka dan membacanya memang sudah dilakukannya hari itu juga, tapi mempraktikkannya jelas belum.

Anna masih belum mau, atau tidak mau, atau ah entahlah. Anna tak tahu apa yang ia maui.

"Buku masakan," jawab Anna singkat,"tapi masih belum aku praktikkan, belum sempat," lanjutnya.

"Aku ngantuk mau tidur dulu," kata Anna buru-buru karena tampaknya Evander tidak percaya kalau buku yang dipinjamkan Kenia adalah buku masakan.

Sepeninggal Anna, Evander tertawa pelan sambil menggelengkan kepalanya. Sejak kapan Kamasutra berubah isinya menjadi resep-resep masakan.

Bersambung

CEO'S LADYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang