CHAPTER 58 - Yang Terlihat Tak Mungkin Salah

119 11 1
                                    


"Anna!" panggil Evander keras saat melihat Anna yang berdiri terpaku di depan pintu kamar hotel yang dibuka secara tiba-tiba.

Evander melepaskan lengan perempuan, entah siapa, yang memeluknya erat dan berbalik mengejar Anna yang sudah terlebih dahulu berlari meninggalkan kamar.

Evander melihat Anna yang sudah memasuki lift. Saat ia sampai di sana pintu lift itu telah tertutup rapat. Membuat Evander mengumpat dan meninju pintu lift dengan keras.

Evander memencet tombol lift di sebelah kiri dengan tidak sabar. Melihat wajah Anna yang murka dan terluka, membuatnya harus menjelaskan kejadian yang sebenarnya saat itu juga.

Anna tak tahu kejadian sebelumnya. Yang Anna tahu hanya tubuhnya yang dipeluk perempuan tak dikenal dalam keadaan telanjang. Siapa pun yang melihatnya pasti akan berpikiran sama dengan Anna. Dan Evander tidak mau hal itu terjadi.

Anna yang berada di dalam pintu lift yang sudah meluncur turun mati-matian menahan isak tangisnya. Ia gigit bibir dalamnya kuat-kuat supaya rasa sakit mengalahkan air mata yang berlomba hendak jatuh dari pelupuk matanya.

Ia menarik napas panjang dan membuangnya berkali-kali supaya beberapa orang yang sekarang berbagi lift dengannya tidak curiga kalau ia hendak menangis.

Ia terus mendaraskan kata 'jangan menangis, jangan menangis' supaya otaknya melakukan apa yang diperintahkannya.

Sampai di lantai dasar, Anna bergegas keluar lift dan mencari taksi. Ia tak tahu harus ke mana karena Anna tak mau pulang ke rumah.

Tidak jika Anna harus menemui lelaki bejad itu di rumah dengan berbagai alasan yang diucapkannya. Apa yang sudah dilihatnya sudah lebih dari berbagai alasan yang diucapkan Evander padanya nanti.

Anna naik ke sebuah taksi yang ada di pelataran Winston Hotel. Anna menyebutkan alamat tujuannya dan taksi itu segera meluncur meninggalkan Winston Hotel.

Anna tak bisa membendung air matanya lagi saat sudah ada di dalam taksi. Suatu perbuatan yang selama ini tak pernah dilakukannya.

Baru kali ini hatinya merasa sakit seperti ini. Sebelumnya ia bisa menahan emosinya semarah atau sesedih apa pun. Tapi, kali ini tidak.

"Nona, tidak apa-apa?" tanya sopir taksi itu cemas.

Penumpang yang dibawanya keluar dari hotel sambil menangis tentu bukan masalah sepele. Mungkin saja gadis itu mengalami pelecehan atau apa yang sampai membuatnya menangis.

"Apa kita perlu ke kantor polisi?" tanya sopir taksi itu lagi saat gadis yang ditanyainya hanya menggeleng dan menyeka matanya kasar.

"Nggak, Pak. Langsung ke alamat tadi saja," jawab Anna di antara isaknya.

Pengemudi taksi itu mengangguk dan melajukan kendaraannya lagi. Mungkin bukan karena pelecehan. Mungkin karena urusan keluarga yang pastinya sopir taksi itu sudah bisa menerkanya urusan seperti apa. Ini hotel. Dan siapa pun tahu orang-orang seperti apa yang menginap di hotel. Tidak semua penghuni hotel adalah musafir yang butuh tempat menginap.

Anna menunggu di luar pagar rumah Kenia. Tubuhnya sudah basah tersiram hujan. Hanya rumah Kenia yang ad di pikirannya saat ini sebagai tempat tujuan.

Anna menunggu beberapa saat sampai pembantu rumah tangga Kenia membuka pintu gerbang. Anna tak menghiraukan pandangan mata pembantu Kenia yang memandangnya penuh tanya.

"Tante!" tangis Anna pecah saat Kenia menyambutnya di depan pintu depan.

Perempuan setangah baya itu memeluk Anna dengan wajah panik penuh tanya.

"Anna, ada apa?" tanya Kenia memeluk Anna yang masih melingkarkan lengannya di bahunya erat.

"Kita masuk dulu, ya," ajak Kenia lembut dan menuntun Anna ke ruang tengah rumahnya.

Ia membiarkan Anna duduk di kursi kayu ruang makan dan melanjutkan tangisnya di sana. Kenia beranjak ke dalam kamarnya dan sebentar kemudian membawakannya handuk besar dan pakaian kering.

Kenia membantu Anna mengeringkan rambutnya yang basah kuyub lalu melingkarkan handuk besar itu ke sekeliling bahu Anna yang menggigil.

"Ini ada pakaian lama Tante. Sedikit kebesaran untukmu memang, tapi baju basahmu harus diganti. Kita bicara lagi setelah itu, okay?" bujuk Kenia.

Anna menyusut air matanya dan menerima pakaian yang disodorkan Kenia. Ia beranjak menuju kamar mandi yang terletak di dekat dapur dengan menyeret kakinya yang segan melangkah.

"Letakkan saja bajumu di keranjang itu, An. Nanti biar Bibi yang mengeringkannya," kata Kenia saat Anna keluar dari kamar mandi.

"Kita ke ruang belakang, yuk. Di sana kita bisa bicara dengan leluasa," ajak Kenia setelah memesan segelas cokelat panas untuk dibawa ke ruang kerjanya.

"Kau dari mana tadi?" tanya Kenia.

"Winston Hotel," jawab Anna singkat.

Kenia mengela napasnya. Ia sangat tahu dan juga mengenal pemilik Winston Hotel.

"Evander masih ada di kantornya?" tanya Kenia hati-hati meski dalam hatinya tahu kalau anak walinya itu kemungkinan besar tak ada di sana.

Anna menggeleng dan suara tangisan kembali meluncur dari bibirnya yang nampak pucat.

Kenia mengela napas panjang. Nampaknya masalah kali ini cukup rumit. Kalau Anna menagis setelah ke Winston, artinya ada yang dilakukan Evander yang membuat Anna sangat terpukul seperti sekarang.

Pembantu rumah tangga Kenia datang membawakan segelas cokelat panas yang asap harupnya masih mengepul. Kenia meletakkannya di meja di depan Anna. Kenia tak tahu harus mengatakan apa lagi.

Menghibur Anna yang sedang dalam keadaan seperti ini jelas tak mungkin. Ikut mengumpati Evander apalagi. Anna tentu tambah terluka.

Bersambung

CEO'S LADYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang