3

642 62 2
                                    

Seorang lelaki bertubuh tinggi 185 cm terlihat agak canggung dan kikuk saat memasuki ruang acara resepsi. Namanya Teuku Sadewa, namun lebih akrab disapa Dewa. Biasanya, ia hanya menghadiri acara-acara formal terkait tugasnya dalam seragam TNI. Namun, kehadirannya di sini adalah perkecualian yang jarang terjadi.

Kristal-kristal berkilauan bagaikan bintang menghiasi langit-langit ruangan, memantulkan cahaya lampu yang menerangi lautan manusia berpakaian rapi. Di antara mereka, Dewa bagaikan seekor ikan yang tersesat di kolam hiu. Wajah-wajah yang biasa Ia lihat di layar kaca televisi dan majalah kini berdiri di hadapannya, berbaur dengan berbagai macam ragam orang dalam ruangan itu. Tiara Andika, Reza Radianto, dan Christine Halim hanyalah sebagian kecil dari tamu undangan yang mewarnai malam itu.

Pengantin yang duduk di panggung utama hari ini adalah pasangan dokter, yang telah lama menjalin hubungan romantis. Sedangkan pengantin perempuannya adalah teman seangkatan Dewa, sementara suaminya adalah kakak kelasnya, Gama Bramantio

Dewa mengamati sekelilingnya dengan canggung. Kemewahan resepsi ini bagaikan tamparan bagi kesederhanaan dunianya. Di sini, uang dan status berbicara, sementara Dewa hanyalah seorang dokter yang terbiasa dengan kesederhanaan dan pengabdian. Mungkin Dewa termasuk orang yang beruntung, dibesarkan dalam keluarga berkecukupan, bukannya tak bersyukur tapi kelas sosial dia dan orang-orang di resepsi ini jelas berbeda.

Seharusnya dia bertemu dengan teman-teman sekolahnya dulu disini jika mereka juga diundang, namun tidak ada satu batang hidung pun terlihat. Atau malah dia yang telah melupakan bagaimana bentuk teman-teman nya dulu. Ah, Dewa tidak begitu yakin juga.

"Makan cepat-cepat, langsung pulang. Bismillah." Bisik Dewa pada dirinya sendiri sambil mengambil makanan yang disajikan ke dalam piring. Sate ayam dan juga nasi briyani di hadapan nya sudah meronta-ronta memanggil sejak tadi bersamaan dengan perutnya yang juga meminta pertolongan untuk disejahterakan.

"Bang Dewa?" pundaknya ditepuk dari belakang saat dia sedang memilih beberapa makanan di depannya.

Saat berbalik, seorang lelaki berbatik motif truntum khas sebuah jenama butik pakaian ternama berdiri di depannya dengan senyum sumringah. Dewa menatap orang itu dengan sebelah alis yang secara alami naik tanpa diminta.

"Benarkan?" tanya orang itu lagi masih mempertahankan raut sumringahnya, " Teuku Sadewa angkatan 31 Koesuma International School?" Orang itu sekali lagi memastikan kebenaran dari tebakannya.

Itu benar detail kecil tentang Dewa. Lantas hal itu semakin memperketat kerutan dahi Dewa pada lelaki itu. Melihat reaksi kebingungan Dewa, lelaki di depannya malah tertawa kecil. Sedang Dewa tak tahan untuk meringis karena Ia melupakan siapa gerangan orang di depannya. Maklum, sudah lebih dari 10 tahun dia tak pernah bertemu dengan teman-teman sekolahnya lagi. Pekerjaan nya menuntut untuk pindah-pindah tempat.

"Iya, benar. Saya sendiri. Maaf sebelumnya, saya agak lupa, tapi kamu..."

Dewa menghentikan kalimatnya saat dipotong heboh oleh orang di depannya dengan menggebu-gebu. Walau ekspresi wajah Dewa sudah aneh dan kebingungan, orang di depannya tetap dengan senyum lebar tak sama sekali tersinggung, malah mengulurkan tangan untuk menjabat.

"Bang Dewa. Aku Kevin, Bang. Kevin Angkatan 32. Kiper tim futsal." Jelas lelaki itu yang ternyata adalah adik tingkatnya. Pantas saja Ia kesulitan mengingat lelaki yang berdiri di dekatnya sekarang. Namun setelah diberitahu nama dan juga posisinya di tim futsal sekolah, Dewa perlahan-lahan mampu menemukan kembali ingatannya tentang lelaki itu. Dewa dulu juga aktif futsal saat jaman SMA.

Si duta persahabatan, Kevin Admajaya.

"Masya Allah. Maaf, Kevin. Saya lupa. Sudah lama sekali kita tidak ketemu. Gimana kabarnya, Kevin?" balas Dewa sopan dan kini ujung bibirnya ikut naik.

Never Really OverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang