37

303 38 6
                                    

Selama tinggal dengan Pamela, ya baru semingguan ini sih, Isaac dan Pascal sudah harus berhadapan dengan beberapa aturan yang merupakan mandat langsung nona besar Pamela Adidaya, salah satunya: dilarang makan mie instan.

Sebagai remaja yang biasa hidup tanpa aturan, ini terasa seperti siksaan. Mereka memang bersyukur dengan makanan bergizi yang kini dinikmati setiap hari—lezat, mewah, dan penuh manfaat—tapi tetap saja, mie instan selalu punya tempat istimewa di hati mereka.

Malam itu, setelah memastikan Pamela sudah tidur, mereka menyelinap ke dapur. Mie instan yang mereka selundupkan dari apartemen Sagara segera diolah. Sagara, dengan senyum nakalnya, diam-diam mendukung aksi mereka, dan untungnya Eric sedang tidak ada di rumah. Kalau dia tahu, pasti habis mereka diomelin.

Aroma mie instan yang sedap menyebar. Isaac dan Pascal menatap panci dengan senyum puas, perasaan bahagia membuncah saat mereka mencicipi makanan yang sederhana itu.

Isaac dan Pascal bisa makan dengan tenang, tapi baru satu suap mie itu dicicipi, kehadiran sosok lain di dapur membuat mereka tersedak kaget.

"Eh! Isaac, Pascal?!" Dewa mendekati mereka dengan langkah ringan, sama seperti si kembar yang berusaha menjaga suasana tetap hening, Dewa juga melakukan hal yang sama.

Dewa terlihat masih segar dan membawa tasnya. "Kalian kelaparan?" tanya Dewa setengah berbisik, "Mau Abang pesankan makanan?" Dua bocah itu langsung menggeleng kuat, buru-buru menaruh jari di bibir mereka, memberi kode agar Dewa tidak berisik.

"Nanti Kak Pamela bangun," peringat Pascal dengan suara sehalus semilir angin.

"Kak Pamela tidak membolehkan kami makan mie instan." beritahu Isaac kemudian. Dewa langsung mengangguk paham dan terkekeh kecil tanpa suara. Dia mendekat pada anak-anak itu dan mengacak rambutnya gemas. Ternyata anak-anak ini sedang dalam sebuah misi rahasia, makanya pergerakan mereka sangat kaku dan penuh hati-hati.

Dewa tidak tahu yang mana Isaac dan yang mana Pascal, mereka sangat mirip satu sama lain. Namun, Dewa tidak perlu terburu-buru, mereka punya banyak waktu untuk kenal lebih dekat nantinyaa.

"Abang mau kemana rupanya?" tanya Pascal kemudian. Jam menunjukkan pukul setengah dua belas malam.

"Mau pulang ini," Diko sudah menunggu di bawah untuk menjemputnya.

"Lho, Abang tidak jadi menginap?" Dewa menggeleng kepala. Tidak mungkin untuk menginap, dia hanya berdiam lama menemani Pamela berbicara sejenak sebelum wanita itu tertidur, menghibur Pamela agar dapat tidur dengan tenang mengingat bahwa dia ada bersamanya semalam penuh.

"Abang titip Pamela, ya."

Dua anak-anak itu tersenyum lebar, Pascal yang lebih ekspresif bahkan bangun memeluk pacar kakaknya itu. Ternyata, walau kakak perempuannya adalah cewek gila, pacar perempuan itu tidak sama gila nya. Buktinya, dia memberi kesan baik dengan tidak benar-benar menginap di kamar kakaknya malam ini. Isaac dan Pascal memang masih anak kecil yang baru beranjak SMA, tapi mereka tidak sebodoh itu tidak tahu apa yang bisa diperbuat orang dewa di sebuah kamar.

"Baik, Abangda." bahkan kemudian Pascal memanggil Dewa dengan sebutan Abangda, panggilan yang lebih akrab orang Sumatera sana untuk pria.

Mereka tidak punya hak untuk menilai pacar kakaknya, tapi saat mendengar nama lelaki memakai Teuku, Isaac dan Pascal secara tidak sadar sangat senang, setidaknya ada orang Sumatera yang mereka kenal disini. Sekarang, mereka semakin senang ternyata lelaki itu tidak banyak macam-macam.

Sebelum meninggalkan apartemen, Dewa tak lupa memberi kedua bocah kembar itu uang jajan. Itu kebiasan orang Aceh sana jika bertemu dengan anak yang lebih muda kerabat dekat, suka memberi hadiah uang jajan. Memuliakan hati anak-anak.

Never Really OverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang