19

386 41 3
                                    

Dewa tahu kalau perangai Pamela yang agak galak, jutek dan malas bicara itu. Tapi, dari dulu mungkin itu sudah jadi daya tarik perempuan itu karena semakin Pamela jutek bahkan kesal, Dewa semakin senang. Pesona cewek galak kata orang. Ditambah gengsinya setinggi langit.

Tapi, berbeda jika Pamela marah dan menatapnya dengan penuh kebencian. Dewa takut dan gelisah. Itu tidak lagi menyenangkan. Jika hanya sekedar merajuk dan hampir menangis, Dewa masih bisa menanganinya. Permainan akan usai saat Pamela tidak lagi bertingkah menggemaskan dan itu membuat Dewa berada di ujung jurang.

Dan kini, setelah menggoda Pamela hingga membuat wanita itu salah tingkah dan kepalang malu hingga mau nangis, Dewa menyerah. Mereka tidak dalam tahap bisa berinteraksi sekasual itu, Dewa takut hubungan mereka yang aneh ini semakin memburuk.

"Kamu masih marah sama saya?" tanya Dewa menatap Pamela yang duduk di kursi sebelahnya. Wanita itu memalingkan wajahnya dari Dewa dan menatap halaman rumah Dinda yang dipenuhi dengan tanaman hias dan juga pohon-pohon buah tropis.

"Menyebalkan." Hanya satu kata setelah sekian lama membalas perkataan Dewa sebelumnya. Dia masih marah tapi enggan membahasnya. Bukan waktu dan tempat yang tepat juga untuk membahas masa lalu yang tidak menyenangkan mereka sekarang.

"Oke. Saya paham dan tidak ingin mendebat kamu. Tapi dilain waktu kita haru bicara. Bisa kan, Mel?"

Walau dari satu sisi, Dewa tetap dapat melihat reaksi Pamela yang terang-terangan memutar matanya malas tapi setelahnya mengangguk kecil.

"Oke." Dewa menutup pembicaraan itu dan mengalihkan ke hal lain. Sejak awal dimulainya acara lamaran Haikal dan Dinda, perut Dewa sudah keroncongan. Alasannya sederhana, dia tidak makan apapun setelah sholat subuh dan juga berolahraga tadi. Hanya dua gelas air putih saja.

"Anyway, kamu sudah makan?" Diabaikan oleh Pamela tidak menyebalkan atau menyakitkan, tapi Dewa merasa candu dan mau-mau saja. Berkali-kali diabaikan, Dewa tetap akan mengajaknya bicara lebih dulu. Dan kini wanita itu menggeleng kecil dengan bibir sedikit cemberut. Matahari sudah bersinar terang diatas sana dan memancarkan terik panasnya yang menandakan ini sudah tengah siang bolong dimana biasanya orang sudah memulai jama makannya yang kedua.

"Ck. Jangan pedulikan aku." Omel Pamela. Ia menggeliat nyaman di kursi rotan coklat yang didudukinya, merapikan rok batik dan kebaya warna coklat muda yang tengah dikenakan nya. Wajahnya yang cantik terangkat sedikit dengan sentuhan riasan halus, tetapi ekspresinya mencerminkan kebosanan yang tidak tersembunyi. Matanya berkedip cepat saat ia memandang Dewa dengan tatapan sinis, seolah mengisyaratkan bahwa ia tidak punya waktu untuk pertanyaan yang tak penting itu.

"Kruuk.."

Dewa membuang muka sambil menahan tawa. Tak palang wajah Pamela menjadi semerah tomat. Ia menutup wajahnya malu, juga bercampur kesal. Ini perut dan cacing-cacing tidak bisa baca situasi ya?

Mulutnya berkata pedas, tapi bunyi perut yang keroncongan tidak bisa berbohong apalagi ikut mengomel seperti wanita itu.

Dasar gengsian.

"Suara perut kamu bunyi tuh," godanya.

"Apa sih!" respon Pamela kering sambil menahan malu.

"Aku ambilkan ya? Tunggu disini."

Dewa berlalu setelah dengan baik menawarkan bantuan. Walau sedikit misuh-misuh manja pada sang mantan kekasihnya itu, tapi sudut bibir Pamela tak tahan untuk sedikit tertarik ke atas. Tak membohongi bahwa usaha Dewa yang terus merongrongnya berhasil.

Sudah Pamela bilang, dia sulit menolak Dewa. Hanya saja, dia tidak mau terlihat lemah dan luluh di depan lelaki itu. Apalagi perutnya yang hari ini sukses membuatnya sekali lagi dibuat malu bukan kepalang di depan Dew. Ck.

Never Really OverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang