1

1.4K 84 13
                                    

"Pilih satu, Dewa," kata Pamela tanpa menatap lelaki di depannya. Wajahnya penuh dengan ekspresi tegang, dan ruangan itu terasa hening. Udara yang tadinya hangat kini terasa dingin karena ketegangan.

"Mel...."

"Cepat jawab!" teriak Pamela frustasi, suaranya memecah keheningan ruangan.

Walau hati menangis, Teuku Sadewa yang saat itu sedang meniti karir dan masa depan, menjawab dengan suara lirih. "Saya tidak bisa memilih kamu, Mel."

Begitulah kisah cinta setahun muda-mudi beda usia itu berakhir. Saat itu, Pamela berumur 15 tahun, dan Dewa empat tahun lebih tua daripada gadis itu. Keduanya telah lama mengenal satu sama lain karena berada di lingkungan yayasan sekolah swasta yang sama, Koesuma International School.

Saat Dewa lulus SMA dan Pamela naik ke jenjang sekolah yang baru, keduanya mendapat kesempatan untuk benar-benar berkenalan. Tidak cukup sampai di situ, mereka bahkan memberikan satu sama lain kesempatan untuk mengembangkan perasaan romantis, yang pada akhirnya membawa mereka ke dalam hubungan.

Bagi Dewa, Pamela adalah cinta pertama dan juga kekasih pertamanya. Begitupun untuk Pamela.

Itulah sebabnya, perpisahan mereka meninggalkan kesan yang sangat mendalam bagi keduanya. Mereka tersakiti oleh rasa egois yang semakin terasa nyata, seolah menjadi bayangan gelap di antara cinta mereka yang seharusnya bersinar terang.

Dewa, dengan senyum pahit di bibirnya, melangkah keluar dari kehidupan Pamela, membawa impian dan panggilan tugasnya. Baginya, masa depannya yang terukir dalam seragam militer lebih berharga daripada kehangatan pelukan Pamela. Sementara itu, Pamela, dengan mata berkaca-kaca, meratapi kehilangan yang tak terduga.

Kisah itu telah berlalu sepuluh tahun lamanya, kini Pamela dan Dewa telah memiliki kehidupan asmara yang tidak bisa dikatakan lebih baik. Namun setidaknya mereka tidak lagi larut dalam patah hati cinta sesaat itu. Di saat mereka masih muda dan naif.

Tapi dari itu juga membuat Pamela, yang memang memiliki kepribadian kaku, semakin kaku, apalagi jika dihadapkan dengan kisah asmara.

"Jangan kurang ajar ya, Nauval," tegur Pamela pada lelaki brondong yang beberapa tahun lebih muda darinya. Lelaki itu berusaha menaruh lengan di pundaknya dan itu membuat Pamela tidak nyaman. Mereka sedang berada di sebuah diskotik untuk menghadiri acara ulang tahun salah satu sosialita terkenal Jakarta yang juga anggota elite circle bersama Pamela, tempat di mana pamor, reputasi, dan intrik saling berbaur.

Nauval yang memang sedikit tengil itu membenarkan letak kacamatanya dan kembali fokus menggoda wanita yang seumuran kakak perempuannya itu, "Kenapa kita tidak coba pacaran, Pam?" tanya lebih itu dengan sebelah alis naik, "Mungkin saja cocok, tahu."

Pamela langsung mendorong kecil kepala Nauval, "Aku paling alergi sama brondong kegatelan seperti kamu!"

Nauval sudah lama merasa tertarik pada Pamela. Wanita itu memiliki daya tariknya sendiri meski terkadang terlihat galak dan blak-blakan. Banyak pria yang memburu Pamela yang cantik, mandiri, dan pintar dalam berbisnis. Nauval tidak pernah benar-benar ingin menjalin hubungan serius dengan Pamela, tapi dia tidak bisa berbohong bahwa Pamela ini sangat enak dilihat mata dan sangat menarik. Baginya, Pamela lebih cocok menjadi sosok kakak ketimbang kekasih, karena wanita itu bukanlah tipe yang mudah dijinakkan.

Pamela, dalam sepak terjangnya di dunia percintaan, mengalami kisah yang pahit akhir-akhir ini. Terutama sekarang, di saat usianya hampir uzur, hal ini seringkali menjadi bahan ejekan Nauval. Meskipun banyak pria berbagai tipe yang mencoba mendekatinya, Pamela tetap kokoh dan tidak mudah tergoda. Jangan panggil dia Pamela jika wanita itu bisa dengan mudah dirayu.

Never Really OverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang