33

277 35 8
                                    

Terima kasih telah menjadi pembaca, memberi vote dan juga komentar. Partisiapasi mu adalah semangat ku. 

Xie Xie nie!

[***]


Dalam perjalanan pulang dari Bandung ke Jakarta, lagi-lagi Yumna melihat ibu bosnya itu menangis dan dia tidak dapat berbuat apa-apa. Pamela bukan orang yang terbuka, mudah menceritakan masalahnya, meluapkan unek-unek dengan siapa saja. Hanya saat dia merasa tenang, cukup dan selesai dengan emosi yang bergemuruh di dalam hatinya, Pamela akan bercerita.

Yumna pikir awalnya, setelah bertemu sang pacar, suasana hati Pamela yang belakangan ini memburuk akan menjadi lebih baik. Cinta itu memiliki kekuatan menyembuhkan, begitukan pikir Yumna. Tapi alih-alih begitu, Pamela sama sekali tidak terlihat baik sekarang.

Kasihan, begitulah pikir Yumna untuk Pamela. Bagian terburuk dari cinta itu adalah jatuhnya, sakit dan sakit sekali. 

Ketika mereka sampai di Jakarta, malam telah jatuh, menggelapkan langit yang penuh kilauan lampu kota. Pamela tidak menunggu lama, segera menarik Yumna menuju apartemen milik Nauval. Ini pertama kalinya Yumna menjejakkan kaki di tempat itu. Biasanya, Nauval—si lelaki berkacamata dengan kepribadian flamboyan dan penuh canda yang berprofesi di bidang hukum—selalu datang ke apartemen Pamela di Regal Tower, mengganggu wanita itu dengan sikap konyolnya sebelum akhirnya mereka menghilang ke klub malam hingga dini hari.

Tapi malam ini, Nauval yang membuka pintu apartemen itu bukan Nauval yang biasa Yumna lihat. Ia tampak lebih tenang, sedikit gugup, seolah ada sesuatu yang ingin disembunyikan. Tidak ada sapa kocak, tidak ada candaan. Hanya Nauval yang lebih diam dari biasanya, dan bagi Yumna, itu pertanda bahwa ada sesuatu yang sangat berbeda.

Selama bekerja dengan Pamela, Yumna sudah sering menyaksikan Pamela mengusir wanita-wanita yang menjadi kekasih ayahnya, Pak Djoko. Pamela membenci wanita-wanita muda yang tampil dengan pakaian minim, menampakkan bagian tubuh yang tidak senonoh dengan sangat sengaja. Bagi Pamela, mereka hanya parasit yang ingin menguras harta ayahnya. Lebih dari itu, Pamela takut ayahnya terjebak dalam sesuatu yang lebih memalukan, seperti penyakit kelamin atau skandal yang akan menghancurkan nama baik keluarga.

Pamela mengerti ayahnya kesepian setelah ditinggal mati ibunya, tetapi komitmen Djoko untuk tidak menikah lagi membuatnya bebas berbuat semaunya. Ironis, meski mengaku menghormati pernikahannya dengan mendiang istri, tingkah lakunya jauh dari terhormat. Di usia yang sudah tidak lagi muda, ia masih saja mengejar wanita-wanita muda, dan hal itu membuat Pamela muak. Setiap kali mendengar gosip tentang ayahnya, Pamela merasa malu.

Informasi dari orang yang dikirim Galih mengungkapkan bahwa ayahnya sering terlihat di apartemen kelas menengah milik seorang wanita bernama Jeslyn Hutabarat. Nama yang tak asing bagi Pamela—dulu, ia berharap Jesslyn bisa menjadi ibu sambungnya. Meski hubungan Jesslyn dengan ayahnya tidak pernah berkembang. Jeslyn butuh biaya untuk pendidikannya dan Djoko si Bandot tua butuh seseorang untuk menghangatkan ranjangnya.

Kini, tanpa ragu-ragu, mereka tiba di depan unit 143. Hawa dingin di lorong apartemen itu seperti ikut menambah ketegangan di udara. Nauval menekan bel, dan detik-detik berlalu dengan lambat sebelum pintu terbuka perlahan.

Di ambang pintu berdiri seorang remaja laki-laki bertubuh tinggi, kulitnya putih pucat, dengan wajah sembab dan jejak air mata yang masih terlihat jelas di pipinya.

"Maaf, siapa ya?" tanya remaja itu, suaranya terdengar lirih, hampir tenggelam di antara aroma pembersih lantai dan masakan dari apartemen tetangga.

"Apakah benar ini unit Ibu Jesslyn?" tanya Nauval. Remaja itu mengangguk kecil, masih bingung.

Never Really OverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang