31

294 40 14
                                    

#KawalPutusanMK
#PeringatanDarurat
"Buat yang ikut turun, stay safe semuanya!"
💪💪💪

(✨)

Rio memperhatikan Dewa yang sudah berpakaian rapi dengan sedikit penasaran, seperti seekor kucing mengamati burung di dahan. Ia ingin sekali bertanya ke mana lelaki itu akan pergi malam ini, namun entah mengapa, lidahnya terasa kelu. Selepas sholat magrib di mushola, Dewa langsung pulang dan berganti pakaian. Rio menebak lelaki beralis rapi itu akan pergi berkencan, mungkin dengan Pamela.

"Kamu kenapa melihat saya seperti itu?" tanya Dewa, suaranya tenang namun penuh tanda tanya. 

Dia merasa tatapan Rio seperti sinar lampu sorot yang menembus ketenangannya. Biasanya, Rio akan cerewet menanyakan berbagai hal jika melihat Dewa berdandan necis di malam hari begini. Namun, kali ini, Rio hanya diam, seperti seekor anak anjing yang enggan mengganggu tuannya.

Rio menunduk sejenak sebelum memberanikan diri untuk bertanya, "Bang Dewa... mau jalan sama Pamela?" 

Sejak tahu bahwa Pamela dan Dewa memiliki hubungan khusus, Rio selalu mencoba menghindari topik itu. Dia tidak mau terkesan usil atau mengganggu, apalagi setelah mengetahui bahwa dua orang yang sangat disayanginya itu berpacaran diam-diam. Alih-alih merasa marah karena mereka menyembunyikan hubungan itu darinya, Rio malah lebih khawatir jika hubungan antara dua orang penting dalam hidupnya itu tidak berjalan dengan baik.

Dewa tersenyum tipis, seakan senyumnya adalah rahasia kecil yang hanya ingin dia bagikan dengan Rio. 

"Izin ya, Rio," katanya sambil merapikan kerah kemejanya.

Suasana di antara mereka tiba-tiba menjadi hening, tegang, seperti detik-detik menjelang hujan besar. Rio berdiri, berjalan menuju lemari kayu di pojok kamar yang terlihat mulai usang, dan membuka pintunya yang berderit. Dia meraih dompetnya dari dalam lemari itu, kemudian mengeluarkan kartu debit berwarna hitam miliknya.

"Ini buat jajan Pamela," ucap Rio, menyerahkannya pada Dewa dengan ragu-ragu. Dewa menatap tangan Rio yang mengulurkan benda tipis hitim itu dengan ekspresi bingung bercampur geli, seperti seseorang yang menerima hadiah tak terduga. Tanpa bisa menahan diri, Dewa meraih kepala Rio dan mengacak-acak rambutnya dengan gemas.

"Apa sih, Yo?" kata Dewa, senyum lebar mulai menghiasi wajahnya. 

"Saya punya uang kok. Kamu nggak perlu khawatir. Adik kamu itu nggak akan masuk angin jalan sama saya, apalagi sampai gemetar kelaparan waktu kencan." Alih-alih tersinggung, Dewa malah merasa terhibur dengan sikap Rio. Itu artinya, Pamela sangat disayang oleh kakak ketemu gedenya itu.

Rio mengangguk pelan, meski raut wajahnya masih menyimpan sedikit kekhawatiran. 

"Aku tahu, tapi aku tidak mau Pamela jadi beban buat Abang," jawabnya dengan suara rendah.

Pamela tidak hidup serampangan seperti pemuda lajang seperti mereka, bisa makan di emperan, warung-warung kecil atau bahkan mungkin nasa kucing angkringan sekalipun. Wanita itu dibesarkan dengan baik dan sangat-sangat cukup daris egi materi hingga tak heran jika standar hidupnya tinggi.

"Lagian," lanjut Rio, "nanti dia minta makan mahal-mahal." Dia masih khawatir kalau Pamela bisa saja membuat masalah atau merepotkan Dewa, meskipun dia tahu Dewa tidak kekurangan uang.

Dewa tertawa kecil mendengar itu. "Yo, aku punya cukup uang buat jajan Pamela. Jangan khawatir, oke? Bahkan kalaupun dia minta makanan termahal di dunia ini, akan aku usahakan untuk dia." Dewa mengucapkan kalimat itu dengan nada yakin.

Kekhawatiran Rio berkurang mendengar itu, lantas Ia menyimpan kembali kartu debitnya.

"Apa Pamela orang yang akan Bang Dewa ajak menikah suatu hari nanti?" Rio pikir dia harus perlu menanyakan hal tersebut, mereka adalah orang-orang dewasa dengan umur yang sudah sangat produktif untuk menikah saat ini.

Never Really OverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang