27

258 34 8
                                    

"Eh Mas Dewa! Mau ambil baju ya?" Dewa mengangguk kecil sambil tersenyum pada Pak Asep, pemilik jasa binatu langganannya, yang berbasa-basi. Sejak awal pindah tugas ke Bandung, Dewa selalu menyerahkan urusan pakaiannya pada Pak Asep. Dewa sedikit pemalas jika urusan cuci baju. 

"Iya, Pak. Sekalian bawa baju kotor yang lain." kata Dewa menaruh dua kantong plastik baju kotor miliknya dan Rio. Alison yang ikut bersama Dewa membawa baju-baju Dewa yang telah dirapikan dalam plastik ke motor dan menunggu kaptennya selesai menimbang baju kotor yang baru dibawanya.

"Kang Wayan mana, Pak?" tanya Alison pada Pak Asep, Wayan adalah anak lelaki Pak Asep yang umurnya hampir sama dengan Alison, biasanya mereka akan bermain bersama jika ada waktu lowong.

"Itu Kang Wayan baru jualan kebab, di dekat indomaret depan," jawab Pak Asep menjelaskan. Biasanya, Wayan membantu Pak Asep mengurus binatu bersama Pak Asep, cuci, jemur hingga gosok. Usaha keluarga yang telah mereka rintis bertahun-tahun lamanya.

"Izin, Kapten. Kita ke tempat Kang Wayan setelah ini, boleh tidak ya?" tanyanya Alison sedikit bersemangat. Sebelumnya, Wayan memang telah membuat ancang-ancang akan berjualan, namun saat itu dia masih cari-cari lokasi yang tepat untuk menaruh gerobak dagangan nya yang berpotensi menarik banyak pelanggan.

"Boleh," jawab Dewa membuat Alison senang.

Setelah menyelesaikan transaksi dengan Pak Asep, Alison langsung memacu sepeda motor maticnya ke lokasi wayan jualan bersama Dewa. Dan ternyata benar saja, gerobak bernama Wayan Kebab Bandung itu sedang beroperasi saat Alison dan Dewa mampir, ada beberapa remaja perempuan yang sedang mengantri beli disana.

"Kang! Gimana kang jualannya?" tanya Alison semangat, dia greget ingin membantu Wayan bekerja. Karena sebelum menjadi prajurit seperti sekarang, Alison terbiasa bekerja serabutan di kampung, apapun dia kerjakan termasuk jualan seperti ini di kampung, walau hanya membantu jualan punya orang dan dibayar dua puluh ribu permalam. Alison senang melihat teman sejawatnya sudah bisa berdiri sendiri dan memulai bisnis kecil-kecilan.

"Alhamdulillah, Kang." jawab Wayan tak kalah semangat dengan bibir tersenyum sumringah sambil membalik kulit kebab yang tengah dipanaskan atas pemanggang. Wayan dan Alison terlibat percakapan panjang sementara Dewa hanya menyimak sesekali ikut nimbrung, mereka juga memesan sepuluh porsi kebab untuk dibawa pulang ke barak dan nanti akan dibagikan pada prajurit di sana. Hitung-hitung promosi kebab Wayan yang baru buka.

Udara malam Kota Bandung terasa sejuk, Dewa merapakan hoodie yang dikenakan nya dan menghangatkan tangannya dalam saku baju berbahan tebal itu, terhidu aroma gurih dari gerobak kebab yang memenuhi udara yang tengah dilibas panasnya pemanggang. Lampu-lampu jalanan yang redup berkelip-kelip, menciptakan bayangan panjang di trotoar yang ramai dengan orang berlalu lalang. Sesekali suara peluit dari tukang parkir indomaret terdengar.

Sebuah getaran beruntun terasa di paha Dewa, disusul suara dering ponselnya yang mengalihkan perhatiannya. Ia merogoh saku celana dengan cepat, menatap layar yang berkedip. Panggilan masuk. Dari Pamela.

Hatinya sejenak berdebar, seperti kilat yang menyala di tengah malam. Antara percaya dan tidak, setelah sekian hari diabaikan, wanita pemarah itu menghubunginya lagi.

War is over.

Sebuah senyum lebar hingga ke telinga muncul di wajah Dewa, dengan semangat dia menjawab panggilan telepon itu.

"Halo! Assalamualaikum."

"Dewa! Lagi dimana? Aku tunggu di lobi apartemen. Sekarang juga."

Tut!

"......."

The heck happened?! Baru salam lho! geram Dewa dalam hati. Kesal? Tentu saja. Tapi Dewa harus menahan diri. Kalau Pamela bisa sopan, sedikit saja, itu sudah pasti kejadian luar biasa, seperti meteor yang tiba-tiba jatuh di hamparan bumi. Belum selesai Dewa mencerna perkataan pamela, wanita itu sudah mematikan sambungan mereka. Siapa yang tidak gondok jika diperlakukan seperti itu?

Never Really OverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang