Ternyata Satu Kelas

26 2 0
                                    


"Ada hantu, Pak." Naina berkata sembari terengah-engah. Sekarang tangannya malah memegang tangan Pak Dedi. Pak Dedi tampak keheranan melihat tingkah anak barunya itu, baru kenal sudah jalan mepet-mepet dan memegang tangannya. Kaya gadis keganjenan, yang paling membuatnya heran adalah Naina mengatakan ada hantu. Hantu dari mana? Dari Hongkong?

"Hantu apa Naina? Jangan aneh-aneh, terus kamu jalannya jangan mepet-mepet gini. Nanti dikira apaan." Pak Dedi menjauhkan tubuhnya. Naina langsung nyengir kuda.

"Maaf Pak, tapi sungguh Pak. Di jalan tadi sewaktu saya berjalan ada pemuda bule berjalan di depan lalu di belokan tiba-tiba dia hilang. Dia lenyap tak berbekas." Naina tetap bercerita dengan penuh semangat sesekali dia menengok ke belakang dengan wajah penuh ketakutan.

"Bapak dengar dari ayahmu kalau kau ikut ekskul bela diri Silat bahkan pernah menjuarai sampai tingkat provinsi. Masa iya sama hantu takut?" Pak Dedi berkata sambil tertawa.

Naina langsung cemberut," Ilmu bela diri silat itu kan untuk membela diri dari orang jahat bukan untuk melawan hantu Pak. Pake jurus apapun itu hantu tidak akan takut Pak. Bagaimana kalau saya dicekik?" Naina membela dirinya.

"Dicekik? Apa pernah dengar ada orang mati dicekik hantu. Please Naina, udah kelas XI masa iya logikanya ga jalan."

"Ini daerah masih angker Pak, banyak pohon besar. Apalagi dari rumah nenek saya ke sini ngelewatin pohon beringin yang besar. Di pohon itu pasti banyak bersemayan segala macam jenis hantu. Mulai dari hantu tuyul, kuntilanak, pocong, siluman ular, siluman srigala dan banyak lagi." Naina terus berceloteh membuat Pak Dedi jadi pusing. Untungnya dia sudah sampai di depan kelas XI IPA 2. Pak Dedi mengetuk pintu meminta izin untuk masuk.

Pintu di buka dari dalam dan tampak seorang guru wanita berusia empat puluh tahunan keluar dan melihat ke arah Pak Dedi lalu ke arah Naina.

"Nah... kebetulan pas sama Bu Winda, wali kelas XI IPA 2. Ini Naina yang waktu itu sudah saya ceritakan. Dia murid baru dari Bandung," ucap Pak Dedi sambil memperkenalkan Naina.

"Oh ya, tapi kenapa baru masuk? Terlambat ya Naina?" tanya Bu Winda. Naina tertunduk malu-malu. Ia mau bercerita tentang hantu tetapi takut ditertawakan. Jadi Ia memilih diam sekarang. Ingat kata Pak Dedi harus pakai logika.

"Tidak apa-apa, masih murid baru, belum tahu aturan sekolah kita. Dia tidak tahu kalau ada jam literasi. Mulai besok jam 6.45 harus sudah ada di sini ya, Naina." Bu Winda berkata seraya membuka pintu kelas lebar-lebar. 

Naina sontak menatap ke arah dalam dan pandangan matanya langsung tertuju ke arah kursi di barisan tengah di mana ada seseorang yang duduk sendirian. Mulut Naina terbuka lebar dan langsung berteriak, "Haaantu.. bule," Naina berteriak sambil memeluk Pak Dedi dari belakang, tubuhnya gemetar dan anak-anak tertawa melihat tingkah laku Naina.

Pak Dedi melongokkan kepalanya ke dalam dan melihat ke arah siswa disebut hantu bule.

"Ooh... itu. Edward bukannya hantu bule. Dia siswa dari Jakarta. Dia bukannya hantu. Kau pasti bertemu dengannya di jalan. Rumahnya kebetulan satu daerah denganmu." Pak Dedi tertawa.

Naina seketika merasa jadi orang yang paling bodoh di dunia apalagi anak-anak tertawa tidak berhenti-henti. Ingin rasanya Naina melarikan diri.

"Ssst... sudah.. sudah. Ayo Naina masuk! Terima kasih ya Pak Dedi sudah mengantarkan Naina," ucap Bu Wnda. Pak Dedi menganggukan kepalanya.

"Belajar yang rajin Ya Naina dan jadilah anak yang pemberani." Pak Dedi berkata ditimpali kembali oleh tawa anak-anak.

Muka Naina merah padam bagaikan kepiting rebus. Sungguh hari ini Ia merasa sangat sial. Dan Ia langsung menatap ke arah Edward yang masih terduduk tanpa ekspresi. Gara-gara si bule itu, Ia menjadi bahan tawaan dari teman-teman barunya itu.

"Perkenalkan dirimu kepada teman-teman," perintah ibu Winda. Naina menoleh ke arah Bu Winda dengan wajah memelas.

"Bisakah besok lagi Bu, kenalannya?" pinta Naina dengan penuh harap.

"Masa iya besok? Ayo ga apa-apa. Hanya memperkenalkan nama saja dan asal sekolah." Bu Winda sedikit memaksa. 

Naina menoleh ke arah papan tulis dan Ia melihat ada tulisan Vektor. Pasti Bu Winda adalah guru matematika. Pantesan rada galak.

Dengan malas-malas Naina berdiri di depan teman-teman barunya. Semua mata menatap Naina dengan penuh perhatian. Naina jadi seperti topeng monyet yang dibawa emang-emang dari gang ke gang.

Naina berdehem melihat anak laki-laki menatapnya dengan penuh perhatian dan minat, sedangkan anak perempuan menatapnya sambil berbisik-bisik. Naina berusaha tidak menatap ke arah si bule yang sudah mempermalukannya. Dan Naina bersumpah si bule itu harus takluk di bawah kakinya. Sialnya si bule malah tetap saja wajahnya datar tampak ekspresi. Dia itu seperti arca batu yang diberi nyawa. Bisa bergerak tetapi tidak bisa berekskpresi.

"Perkenalkan nama saya Naina..." belum selesai Naina menyebutkan nama lengkapnya. Anak laki-laki yang ada dipojok belakang berteriak.

"Naina apa? Naina apa kepanjangannya?" tanyanya sambil tersenyum genit.

Naina memajukan bibirnya dengan sebal, "Nama panjang saya adalah Nainaaaaaaaaaa...."

Maka semakin menyemburlah tawa teman-temannya mendengar jawaban Naina kecuali si muka tembok itu tentunya. Bu Winda langsung menghela nafasnya. Agaknya bakalan bertambah satu siswa luar biasanya selain si geng gadis-gadis cantik dan si bule ganteng yang  pendiamnya mengalahkan cicak yang nempel di dinding. Setidaknya cicak sesekali bakalan bersuara tetapi Edward hanya diam saja dari awal datang sampai akhir kecuali kalau ditanya.

"Saya dari Bandung..." Naina melanjutkan lagi perkenalannya.

"Bandung sebelah  mana, ya?" si bocah tengil yang ada di pojok menyaut lagi.

"Bandung di dekat Seoul, sebelahnya kota Gangnam. Ke sini saya diantar Jungkook tadi..." Naina kembali berkata dengan sebalnya.

Semakin riuhlah suara tawa dari teman-teman barunya. Mereka tampak senang dengan kehadiran Naina. Kelihatannya gadis itu ngocol banget. Kecuali tiga murid wanita yang duduk di dekat si bule itu. Wajah mereka tampak sangat masam. Mereka tidak suka melihat teman-temannya tampak menyukai Naina. Biasanya merekalah yang jadi pusat perhatian dan bukan murid baru yang menyebalkan itu.

"Perkenalannya sudah selesai, silahkan duduk di sebelah Edward. Kebetulan selama ini Edward tidak ada temannya," ucap Bu WInda berinisiatif menyudahi perkenalan Naina. Kepalanya terasa pusing melihat kelasnya yang tertib berubah menjadi riuh seperti di pasar.

Naina menoleh ke arah wali kelasnya dengan pandangan penuh rasa terima kasih tak hingga. Ia sampai ingin bernyanyi lagu " Terima kasihku, Bu Guru" saking bahagianya di suruh berhenti memperkenalkan diri dan duduk di samping Edward. Pembalasan akan segera Ia mulai. Ingat pembalasan itu akan lebih kejam dari pemalasan.

Dengan langkah lebar Ia melangkah menuju kursi kosong di sebelah Edward. Tetapi mata jeli Naina melihat ada sebuah kaki panjang, putih dan mulus menjulur, melintang, menghalangi langkahnya. Naina mengerutkan keningnya. Jelas sekali kaki itu sengaja menghalangi langkahnya agar Naina tersandung langkahnya lalu terjatuh seperti dalam adegan film-film yang biasa Ia tonton.

 Naina menyeringai, Ia berjalan melenggang dengan santai lalu setelah Ia dekat dengan kaki itu maka dengan Naina mengangkat kakinya dan menginjak kaki yang menghalangi langkahnya itu dengan kuat hingga terdengar teriakan histeris seorang gadis.

"Aaakh... Sakit."

DICULIK PANGERAN VAMPIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang