Berbeda Kelompok

17 1 0
                                    


Pembelajaran yang selama ini membosankan bagi Edward sekarang tidak lagi. Ia tampak semangat karena ada Naina disampingnya. Walaupun masih belum bisa mengalahkan kepintaran Edward yang pekerjaan sehari-harinya hanya membaca buku dan belajar tetapi setidaknya Naina mampu mengimbanginya.

Salwa dan teman-temannya semakin dendam dengan Naina dan Edward. Mereka berdua sering berdiskusi bersama membahas pelajaran. Para guru juga senang dengan kedatangan Naina di sekolah mereka. Naina membawa perubahan yang baik untuk Edward dan yang lainnya. Dan itu membuat Salwa semakin panas. 

Di depan tampak wali kelas mereka sedang membicarakan tentang out bond ke Bukit Haredong yang sudah direncanakan beberapa minggu yang lalu. Anak-anak tampak bersemangat karena mereka bisa terbebas dari pembelajaran di kelas yang terkadang membosankan. Belajar di luar kelas apalagi di alam terbuka membuat mereka terbebas dari pengapnya dinding kelas dan mendapatkan suasana baru.

"Besok jangan lupa, kita akan pergi ke bukit Haredong untuk out bond sekaligus melaksanakan pembelaran Kolaborasi.  Untuk Matematikanya yaitu pelajaran ibu, kalian diminta untuk menghitung probabilitas tumbuhnya pohon liar yang dapat dikonsumi terhadap pohon liar yang tidak dapat dikonsumsi dalam area yang sudah ditentukan. Sedangkan pelajaran lain dapat kalian pelajari di Lembaran Kerja Peserta Didik yang akan dibagikan sekarang. Nah sekarang kalian bersiap untuk pembagian kelompok." Bu Winda tampak mempersiapkan kelompok untuk pembelajaran di Bukit Haredong.

"Kami ingin membentuk kelompok sendiri," Kaila mengangkat tangannya memberikan usulan kepada Ibu Winda. Ibu Winda menggelengkan kepalanya.

"Tentu saja tidak bisa karena jika kalian memilih kelompok sendiri kalian memilih anggotanya yang satu circle dengan kalian. Benarkan?" ucap Ibu Winda sambil tersenyum.

Anak-anak langsung cengengesan karena apa yang dikatakan oleh walikelasnya itu benar. Mereka tidak mau bekerja sama dengan orang yang tidak bisa diajak kerja sama. Apalagi anak-anak yang kerjaannya cuma nampang nama doang di kertas LKPD-nya tetapi tidak ada kerjaannya.

"Apakah itu salah, Bu? Soalnya saya tidak mau bekerja sama dengan orang yang tidak bisa diajak kerja sama. Disuruh ngitung tidak bisa, disuruh nulis katanya tulisannya jelek, disuruh mikir katanya ga bisa mikir. Kan pusing bekerja dengan orang yang seperti," celetuk Dena sambil mengangkat tangannya.

"Iya benar, Bu. Itu Toni Bu, ga pernah ngapain-ngapain. Hobinya tidur dipojokan." Mela  teman sebangku Dena ikut berbicara.

Toni yang sedang duduk santai sambil menyeder ke dinding tembok langsung bereaksi. "Eh apa kamu teh, Mela. Enak aja, nuduh aku ga pernah ngapa-ngapain. Waktu kerja kelompok PKn siapa coba yang ngebantuin bawain laptop kamu. Kan itu aku," kilah Toni sambil cemberut.

"Lagian Mela Bu, kerjanya cuma marah-marah aja. Yang kerjanya malah Eti," Cecep yang ada disamping Toni membela teman sebangkunya.

"Eeh... sudah, mengapa jadi pada ribut? Sudah-sudah, itulah pentingnya mengapa kalian harus bekerja kelompok. Bekerja kelompok akan membuat kamu saling beradaptasi satu sama lain. Mempelajari sifat dan karakter teman kalian. Tidak boleh egois atau ingin menang sendiri semua harus saling bergotong royong mengerjakan tugas ini.

Ingat keterampilan kalian di dalam bekerja sama dengan orang lain sangat dibutuhkan kelak dalam kehidupan kalian sehari-hari. Kita sebagai makhluk sosial tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain karena kita tidak bisa memenuhi semua kebutuhan kita sendiri.

Makanan yang kalian makan, pakaian yang kalian kenakan, hiburan yang kalian dapatkan semua hasil kerja sama dengan orang lain. Bahkan kalaupun kalian hanya tinggal di dalam rumah tanpa berhubungan dengan orang lain secara nyata tetapi kalian tetap berhubungan secara online dengan orang lain untuk memenuhi kebutuhan kalian. Jadi penting untuk bisa saling memahami, tepa salira, saling menghargai satu sama lain. Jelas tidak?" Bu Winda menjelaskan panjang lebar.

Anak-anak menganggukan kepalanya menyetujui perkataan wali kelasnya. Naina dan Edward saling berpandangan mata. Bagaimana kalau mereka ternyata saling terpisah. Bagi Naina mungkin tidak masalah tetapi bagi Edward sulit rasanya berpisah dengan Naina. Ia terlanjur nyaman berada dekat dengan Naina. Ibarat anak ayam yang sudah mendapatkan induknya, Edward sulit membayangkan hidup tanpa Naina.

"Aku tidak mau sekelompok dengan yang lain," bisik Edward kepada Naina dengan wajah sedih.

"Jangan lebay, ini cuma sebentar. Kau harus terbiasa bersosialisasi dengan yang lain," nasihat Naina kepada Edward. Ibu Winda sekilas melihat ke arah Edward yang tampak begitu cemas karena takut berpisah kelompok dengan Naina.

Selama ini Edward tidak pernah peduli, Ia akan dikelompokkan dengan siapa saja. Karena Edward tidak pernah berkomunikasi secara insten, Ia hanya mengerjakan apa yang sudah ditugaskan kepadanya. Tetapi sejak ada Naina, mereka selalu bersama. Edward yang tidak pernah ada temannya sekarang sudah mulai membuka diri. Minimal dia mau mengangguk atau menggelengkan kepalanya jika di tanya temannya. Bahkan Edward sudah bisa menjawab dengan jawaban pendek jika ada yang bertanya.

"Aku merasa canggung dengan mereka," bisik Edward lagi.

"Tidak usah khawatir, semua akan terbiasa nanti." Naina menepuk tangan Edward. Tetapi setiap kali Naina menyentuh kulit Edward, Ia selalu keheranan kenapa Edward selalu terasa sangat dingin jika disentuh seakan tidak ada tanda-tanda kehidupan sedikitpun.

"Kau selalu terasa dingin Edward. Apakah kau baik-baik saja?" ucap Naina dengan kening berkerut.

Edward menarik tangannya dari dekat Naina dengan muka semakin pucat, "Aku baik-baik saja, Aku hanya sering kedinginan," elak Edward mencoba menjawab pertanyaan Naina sewajar mungkin.

"Tapi dinginmu tidak wajar, sebaiknya kau ke dokter. Ayo Aku antar pulang sekolah ke dokter." Naina menawarkan bantuannya untuk mengantar Edward ke dokter.

"Aku belum pernah pergi ke dokter seumur hidupku," jawab Edward lagi.

"Apa? Kau belum pernah pergi ke dokter?" teriak Naina membuat semua orang serentak menatap mereka termasuk Ibu Winda. Ibu Winda yang sedang mempersiapkan pembagian kelompok menengadahkan wajahnya.

"Ada apa? Mengapa? Siapa yang tidak pernah pergi ke dokter?" tanya Ibu Winda seraya melihat ke arah Naina dan Edward.

"Ti...tidak ada bu, saya salah mendengar. Maksud Edward, Neneknya akan pergi ke dokter sore ini. Begitu katanya," ucap Naina memberikan alasan.

"Ya sudah kalau begitu, jangan ribut. Ini ibu sudah menyiapkan gulungan kertas dari nomor satu sampai dengan nomor enam. Kalian akan mengambil masing-masing satu gulungan. Jika kalian mengambil gulungan yang bernomor satu maka itu tandanya kalian masuk ke dalam kelompok satu. Demikian seterusnya. Nah silahkan duduk. Ibu akan bagikan gulungannya lalu akan mencatat kelompok kalian." Ibu Winda berkata seraya membagikan gulungan kertas itu. 

Anak-anak langsung sibuk mencocokkan kelompoknya dengan yang lain. Mereka ingin tahu apakah mereka sekelompok dengan orang yang satu frekuensi dengan mereka. Ketika Ibu Winda menyebutkan nama dan siswa yang disebutkan menyebutkan nomor yang ada gulungan kertas yang mereka pegang, terdengar beberapa seruan. Ada yang berseru senang ada juga yang mengeluh ketika tahu kalau teman sekelompok mereka bukan orang yang mereka kehendaki. Edward dan Naina mencocokkan kertas gulungan yang mereka pegang dan ternyata mereka berbeda nomor dan itu artinya mereka berbeda kelompok.


DICULIK PANGERAN VAMPIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang