Terbunuhnya Salwa

16 1 0
                                    


Ketika Naina terbangun dari pingsannya, hari sudah pagi. Cericit burung gereja yang mematuki bulir padi dari sawah yang terletak tepat disamping rumah kakek dan neneknya terdengar dengan jelas di telinga Naina. Naina sesaat terdiam seraya memegang selimutnya dengan erat. Tetapi Ia masih ingat dengan jelas apa yang terjadi kemarin. Atau apakah Ia sedang bermimpi?

Naina melihat Edward yang berubah menakutkan. Bermata merah, muka pucat, gigi taring yang panjang, runcing dan tajam. Ditambah dengan kuku tangan Edward juga yang memanjang seperti kuku harimau yang siap merobek mangsanya. Naina menggelengkan kepalanya. Itu tidak mungkin nyata. Ia pasti sedang berhalusinasi seperti Salwa yang berhalusinasi melihat orang yang serupa dengannya di bukit Haredong.

Naina mengusap tangannya dan ingin rasanya Ia kembali berbaring di ranjangnya dan tidak akan pergi ke sekolah kalau saja Ia tidak mendengar neneknya memanggil namanya.

"Naina bangunlah! Hari sudah siang, kau harus segera pergi ke sekolah. Nasi gorengnya sudah siap." Suara neneknya terdengar sangat lembut di telinganya membuat Naina tidak tega kalau harus membebani Neneknya dengan segala urusannya yang tidak penting.

Naina tidak mungkin cerita kepada neneknya kalau Ia tidak akan ke sekolah karena takut dengan Edward yang berubah menjadi vampir. Lagipula cerita itu pasti hanya akan membuat neneknya tertawa terbahak-bahak. Naina malu untuk bercerita terlebih jika ternyata apa yang dilihatnya itu tidak benar. 

Jadi dengan malas, Naina menjawab panggilan neneknya, "Iya Nek, Naina segera mandi dan bersiap." Naina menurunkan kakinya, melangkahkan kakinya dan menyambar handuk yang tergantung di balik pintu kamarnya.

Tidak berapa lama, Naina sudah bersiap duduk di meja makan menikmati nasi goreng yang dibuat neneknya. Biasanya Naina selalu lahap memakan nasi goreng buatan neneknya tetapi kali ini. Ia tampak tidak bersemangat. Walaupun Ia tidak bersemangat, Naina menghabiskan nasi goreng di piringnya agar neneknya tidak curiga.

"Kakek sudah pergi?" tanya Naina.

"Sudah pergi dari jam setengah enam ke ladang karena akan panen mentimun." Neneknya menjawab.

"Naina pergi dulu." Naina berkata tetapi kemudian Ia menghentikan langkahnya. Naina masih ingat dengan jelas kalau kemarin Ia pingsan saat ditakuti oleh Edward di bukit samping desanya. Lalu terbangun di tempat tidur. Mungkin neneknya bisa menjelaskan apa yang terjadi pada dirinya.

"Nek, apakah nenek tahu apa yang terjadi kemarin? Nenek tahu kapan Naina pulang dan bagaimana Naina pulang?" tanya Naina kepada Neneknya. Tentu saja Neneknya bingung ditanya seperti itu oleh Naina.

"Mengapa kau bertanya seperti itu kepada Nenek? Nenek kemarin ikut pengajian dari sore sampai maghrib di mesjid, kakek juga ikut. Sewaktu nenek pergi kau belum pulang dan sewaktu nenek pulang kau sudah ada di kamarmu tidur dengan nyenyak." Neneknya menjawab. Naina menghela nafas panjang dan kemudian pergi setelah mengucapkan salam.

Hampir setiap hari Naina pergi berjalan kaki bersama Edward tetapi kali ini Ia tidak melihat Edward ada dimanapun. Sungguh saat ini Naina merasa tidak ingin bertemu dengan Edward karena Ia masih takut dengan perubahan wajah Edward kemarin. Mata merah, taring yang mencuat dan muka yang pucat. Naina merinding. Naina beruntung karena pagi itu perjalannya tidak seorang diri. Ada bibi tukang kerupuk yang mengekor di belakangnya. Naina menjadi sangat lega danmerasa di temani oleh si bibi tukang kerupuk itu.

Naina bergerak dengan cepat ketika pintu gerbang sebentar lagi akan ditutup. Ia menyelinap bersama siswa lainnya dan bergegas pergi ke kelasnya. Ketika Naina berdiri di depan kelasnya, para siswa tampak sedang duduk berkelompok bahkan mereka tidak hanya berkelompok tapi berdiri. mereka berbicara dengan suara keras dan Naina menjadi heran. Mengapa mereka tidak duduk dengan rapih.

Bel sudah berbunyi sedari tadi, seharusnya mereka duduk rapih karena sebentar lagi Bu Jana, Guru bahasa Inggris akan datang. Bu Jana tidak pernah datang terlambat. Sungguh walaupun tingkah teman-temannya terasa janggal tetapi Naina tidak memperdulikannya karena matanya malah menatap Edward yang sedang duduk di kursinya seraya membaca buku. 

Tidak ada satupun yang mencurigakan bagi Naina ketika Ia memandang Edward yang duduk seperti biasa. Naina sungguh berharap kalau kejadian kemarin hanyalah ilusinya belaka dan bukan kenyataan. Ia berharap kalau kemarin hanyalah bagian dari mimpinya. Tetapi kemudian Naina menghentikan langkahnya ketika semua mata sekarang menatap ke arahnya. Dan Naina tersadar kalau sebagian teman wanitanya tidak hanya bercerita tetapi mereka sedang menangis. ya... beberapa teman wanitanya ada yang duduk sambil menangis terisak-isak.

"Kau Naina...." Kaila tiba-tiba menyeruak dari kerumunan dan menunjukkan telunjuknya ke wajah Naina. Tudingan itu membuat Naina mundur beberapa langkah.

"Apa?" Naina berkata sambil menatap wajah Kaila dengan pandangan tidak mengerti.

"Kau jangan pura-pura bego ya. Pasti kau yang mencelakakan Salwa. Dasar manusia ular. Dari awal sungguh aku curiga ketika kau menengok Salwa kemarin. Mengapa kau tiba-tiba menjadi baik. Salwa terus bercerita kalau waktu di bukit Haredong kau seperti hantu. Salwa jelas-jelas mendorongmu ke bawah tebing dan melihat kau terjatuh ke bawah tebing tetapi kau malah muncul di belakang Salwa. Aku yakin kalau kau adalah wanita jahat." Teriak Kaila mengagetkan semua teman-temannya.

"Hah? Jadi Salwa memang mendorong Naina ke bawah tebing?" Beni bertanya kepada Kaila. Muka Kaila berubah menjadi merah karena Ia merasa salah telah  membocorkan rahasia Salwa.

"Ah tapi itu tidak penting apakah Salwa melakukannya  atau tidak. Karena kenyataannya Salwa sudah mati sekarang. Dia mati tiba-tiba. Salwa temanku yang malang..." Kaila menangis sambil duduk dan dipeluk oleh Selly yang berdiri di sampingnya.

Naina melongo mendengar kata-kata dari Kaila, Salwa mati? tapi kenapa? Naina seketika berjalan cepat dan mengguncang-guncangkan bahu Kaila.

"Siapa yang mati? Kau  jangan main-main Kaila! Katakan kepadaku! Ini bukan lelucon," teriak Naina sambil terus mengguncang-guncangkan bahu Kaila. Kaila menyingkirkan tangan Naina di bahunya dengan kedua tangannya.

"Kau tidak usah berpura-pura lugu. Kau pasti mencelakai Salwa karena takut  Salwa akan merebut Edward darimu. Kau sungguh manusia keji," teriak Kaila seraya mendorong Naina ke belakang dengan kuat.

Naina terdorong sempoyongan, dia hampir saja jatuh kalau saja temannya yang duduk di belakang tidak menahannya. Tidak sedikitpun Naina marah kepada Kaila karena perasaannya yang campur aduk. Entah mengapa kali ini Naina berharap kalau ini juga bagian dari mimpi buruknya. 

Naina menoleh ke arah Edward. Di antara semua teman-temannya yang ribut, Naina malah melihat Edward yang begitu dingin. Bahkan Naina belum pernah melihat Edward sedingin itu sebelumnya. Naina merasa Edward sangat keterlaluan, semua orang ribut dan menangis untuk Salwa. Walaupun Salwa bukanlah sosok teman yang baik tetapi kematiannya yang tiba-tiba membuat teman-temannya sangat terguncang.

"Bagaimana dia bisa mati? Apakah penyebabnya? Apakah dia kecelakaan?" Naina bertanya dengan pertanyaan yang tidak Ia tujukan kepada siapapun. Naina hanya ingin pertanyaannya dijawab oleh siapa saja yang tahu. 

"Katanya, Salwa mati karena kehabisan darah. Ada bekas gigitan di lehernya dan lehernya robek seperti digigit dengan brutal oleh binatang buas." Beni yang menjawab pertanyaan Naina. Mata Naina seketika menatap Edward kembali dengan tatapan sukar dilukiskan.

DICULIK PANGERAN VAMPIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang