Bule Kampung

56 4 0
                                    


Hari masih pagi dan burung-burung terdengar berkicau dengan riang, udara sangat sejuk dan pohon-pohon kelapa tampak berjajar, terlihat rapih dari kejauhan. Kebun jagung, kebun tomat, kebut cabai berderet di sepanjang jalan. Naina harus menempuh sekitar satu kilo meter sebelum Ia mencapai jalan besar dan sampai ke sekolahnya. 

Tidak ada motor apalagi mobil, Naina harus berjalan kaki dari rumah ke sekolahnya. Untungnya jarak antara rumah dan sekolah tidak terlalu jauh hanya sekitar satu setengah kilometer. Kota ini tidak terlalu ramai dan hampir semua siswa berjalan kaki menuju sekolah. Sangat berbeda saat Ia sekolah di Bandung. Tidak ada satupun temannya yang berjalan kaki. Semua menggunakan kendaraan entah itu kendaraan pribadi ataupun kendaraan yang dipesan secara online. 

Naina sendiri menggunakan motor yang dibelikan ibunya tetapi motor itu sekarang tidak Naina bawa. Rasanya Ia tidak mau membawa barang apapun hasil pemberian dari ibunya. Naina masih ingat ketika ibunya bekerja untuk menutupi semua kekurangan pengeluaran keluarga mereka karena ayahnya hanya seorang pegawai tata usaha honorer.

Setelah ibunya bekerja maka kehidupan mereka mulai membaik, mereka bisa menempati rumah dengan tipe besar di komplek menengah. Ibunya ke kantor dengan  membawa mobil dan ayahnya dibelikan motor besar. Hampir tiap minggu Naina mendapatkan jatah untuk jalan-jalan ke mall, membeli pakaian bagus, sepatu dan tas yang Naina inginkan.

Naina mengira kalau ibunya bekerja keras untuk mendapatkan itu semua hingga kemudian Ia tahu menjelang perpisahan orang tuanya. Ibu Naina mendapatkan semua uang dari kekasih ibunya yang menjadi manajer keuangan di tempat ibunya Naina bekerja. Hingga kemudian orang tua Naina bercerai dan Naina baru tahu semuanya dari ayahnya.

Naina sangat marah dengan kenyataan yang dia hadapi. Perasaan bencinya kepada ibunya sendiri yang telah berselingkuh dan juga kepada ayahnya yang tidak tegas kepada ibunya muncul begitu dalam. Akibatnya ketika orang tuanya bertengkar memperebutkan hak asuh bagi Naina, Naina lebih memilih tinggal dengan kakek dan neneknya di kota Banda. Naina sudah besar dan berusia di atas tujuh belas tahun jadi Ia berhak untuk menentukan dengan siapa Ia tinggal.

Naina merasakan kakinya mulai pegal, masih untung Ia sering berolah raga karena Ia memang suka dengan olah raga panahan. Seminggu sekali Ia berlatih panahan di Gor yang ada di Kota Bandung dan Ia selalu berlari terlebih dahulu untuk melatih kekuatan kakinya. Naina tidak dapat membayangkan kalau Ia tidak suka olah raga, pasti Ia akan langsung gempor. Selain panahan Naina juga suka dengan olah raga silat. Jadi walaupun Ia berjalan seorang diri, Ia tidak takut bertemu dengan orang yang mungkin akan jahat dengannya. Sepanjang orang itu tidak membawa pistol, Naina yakin mampu melawannya.

Keringat mulai menetes di kening Naina. Ini sudah mulai sampai ke jalan kecil dan hanya bisa dilalui oleh kendaraan motor. Ada motor yang berlalu lalang membuat Naina sedikit menyesal tidak membawa motor yang dibelikan ibunya. Tetapi ketika mengingat bagaimana ibunya tega mengkhianati ayahnya maka Naina langsung mendengus. Ia lebih baik berjalan kaki daripada menerima motor yang mungkin uangnya berasal dari Om Sandi brengsek. Om Sandi kekasih ibunya dan sekarang katanya mereka akan segera menikah. Om Sandi seorang duda beranak dua menjadi kekasih ibunya selama dua tahun. Begonya Naina pernah menerima laptop yang dikasih Om Sandi saat berulang tahun ke tujuh belas.

Naina menendang kerikil dengan gemas hingga kerikil itu meluncur dan terdengar teriakan,"Aduh...," dari mulut seseorang. Naina sangat terkejut dan Ia segera mengangkat wajahnya. Dilihatnya ada seorang pria berdiri di depan tak jauh dari dirinya dan sedang mengusap kepalanya. Yang membuat Naina tercengang adalah pria itu berambut pirang dan berkulit sangat putih. Saking putihnya Naina sampai merasa silau. Apa pria itu rendeman di cat tembok warna putih ya? sampai seputih itu. Naina yang berkulit coklat susu langsung merasa minder.

Sesaat dua pasang mata saling bertatapan. Naina melebarkan matanya dan kemudian menggosok matanya hingga terasa pedih. Pria itu ternyata orang bule. Tapi mana ada orang bule di Kota kecamatan Benda. Kecamatan ini sangat kecil dan hanya ada satu SMA Negeri dan dua SMA swasta. 

Apalagi sekolahnya hanya sekolah swasta yang terletak di dekat desa tempat tinggal nenek dan kakeknya. Rasanya sulit dipercaya ada bule tinggal di kecamatan ini. Apa mungkin dia anak yang diadopsi oleh penduduk desa di daerahnya? Masa iya ada penduduk desa yang mengadopsi anak bule.

Tetapi Naina memang si gadis pemberani, bukannya takut, Ia malah menghampiri laki-laki bule itu dan berdiri di depannya. Mata Naina menatap si bule dari ujung rambut hingga ujung kaki. Bibirnya mengguman perlahan.

"Mata Biru nilainya sepuluh, rambut pirang nilainya sepuluh, hidung mancung nilainya sepuluh, bibir sedikit penuh dan berlekuk nilainya sepuluh. Kamu seperti Leonardo DiCaprio versi remajanya. Siapa kamu? Apa kamu penunggu kebun jagung atau siluman dari pohon beringin yang ingin berjalan-jalan pagi? Atau jangan-jangan kamu anak gelap dari Leonardo DiCaprio yang dibuang ke sini?" mulut Naina seakan mobil balap yang meluncur tidak terkendali.

Kening  laki-laki itu bekerut dan Ia malah tidak memperdulikan Naina dan membalikkan tubuhnya lalu berjalan kembali meninggalkan Naina. Naina tentu saja tidak terima. Sebagai gadis tercantik dimanapun tempatnya berada, sangat tidak sopan ada laki-laki yang meninggalkannya tanpa bertanya nama kepada Naina.

"Heh.. Bule Kampung, tunggu!" teriak Naina seraya mengejar si bule yang jalannya ternyata lumayan cepat.

Naina berharap laki-laki itu akan marah di sebut bule kampung. Ia sudah lama tidak berlatih silat, kalau pria ini marah dan mengajaknya berkelahi, kan lumayan Ia punya teman berlatih silat.

Lagi-lagi Naina terkejut melihat laki-laki itu tidak memperdulikan perkataannya. Ia seperti tidak memiliki emosi, wajah tanpanya tetap datar dan tidak sedikitpun Ia memperdulikan Naina. Wajah putihnya sedingin es balok. Apa mesti wajahnya Ia serut untuk dijadikan campuran es buah. Atau jangan-jangan Ia tidak bisa berbahasa Indonesia ?

"Maybe you can't speak Indonesian. Ok.. What's your name? And who are you? Why you can be here?" Naina mencoba mengajak pria itu menggunakan bahasa Inggris alakadarnya. Lagi-lagi pria itu tetap diam. Naina terdiam dan berpikir lalu berteriak, " Ahaa... jangan-jangan kamu tuli. Baiklah Aku akan menggunakan bahasa isyarat."

Naina lalu memainkan jemarinya, Ia mencoba mengajak bicara pria bule itu dengan menggunakan bahasa isyarat. Tetapi tentu saja gerakan itu bukan gerakan bahasa isyarat yang sebenarnya karena Naina tidak tahu bahasa isyarat. Gerakan tangannya ngasal tetapi bisa diartikan sebagai pertanyaan secara umum. Siapa nama kamu?

Pria itu tampak sangat terganggu dengan tingkah Naina. Ia berjalan ke samping menghindari Naina yang ada di depannya dan tetap berbahasa isyarat sambil melangkah mundur. Tetapi setiap Pria itu berjalan menghindar Naina, Naina mengikutinya sehingga pria itu lalu menghentikan langkahnya dan berkata tajam.

"Bisa tinggalkan Aku? Dan anggap aku tidak ada. Kau sangat menggangguku," ucap pria itu setengah berdesis.

DICULIK PANGERAN VAMPIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang