Kebelet Mau Nikah

16 1 0
                                    

Edward menatap Naina yang sedang sibuk mengerjakan soal matematika. "Jadi bayangan dari rotasi titik A ini jika di putar sejauh tiga puluh derajat ini cara menghitungnya bagaimana?" tanya Naina sambil mengerutkan keningnya. Ia bertanya tetapi tangannya sibuk menggambar pada kertas berpetak.

Edward yang sedang terpesona dengan leher Naina yang berwarna putih itu malah tampak galau. Ia sangat ini menancapkan taringnya di leher itu dan mencoba darah langsung dari sumbernya. Bukan darah-darah dalam botol yang kelihatannya sangat  membosankan. Seumur hidupnya Edward belum pernah merasakan makanan atau minuman apapun selain darah. Ia jelas tidak tahu bagaimana rasa darah dalam botol dan rasa darah yang langsung Ia hisap dari leher manusia.

Sesekali Edward memang memangsa binatang kecil di hutan tetapi tidak pernah memangsa binatang besar apalagi manusia. Dorongan nalurinya sebagai vampir semakin hebat ketika berdekatan dengan Naina. Di dekat Naina, Ia menjadi seperti harimau lapar yang melihat kijang berlari-lari di depannya dan menantangnya untuk menangkap kijang itu lalu memangsanya dengan sekali robekan.

Kemarin malam Ia bertanya kepada pamannya apakah setiap vampir yang menggigit manusia dan menghisap darahnya akan langsung membuat orang itu mati atau membuat orang itu tetap hidup dan menjadi vampir? Pamannya menjawab jika seorang vampir menggigit manusia bisa terjadi beberapa kemungkinan tergantung dari niat si vampir. Kemungkinan yang pertama adalah manusia itu mati jika Vampir menghisap darah si manusia itu sampai kering. 

Yang kedua adalah manusia itu menjadi vampir jika vampir itu menggigit manusia tetapi bukan menghisap darahnya melainkan malah mengirimkan balik darahnya kepada manusia hingga darah manusia itu terinfeksi oleh darah vampir. Tidak akan berapa lama maka manusia  itu akan menjadi vampir dan yang terakhir adalah gigitan vampir yang hanya akan mengambil darah sedikit saja. Mungkin itu gigitan itu sebagai pengobat rasa haus, mengobati luka atau karena tanda sayang.

Naina yang bertanya tetapi tidak dijawab oleh Edward membuat Naina mencubit tangan Edward. Edward memekik kaget hingga suaranya terdengar oleh Ibu Winda. "Ada apa?" tanya wali kelasnya.

"Naina mencubit lenganku," kata Edward sambil meringis membuat suara riuh teman-temannya terdengar bergemuruh. Bahkan terdengar suara siulan dari beberapa teman laki-laki mereka. Muka Naina seketika memerah karena malu.

"Kau ini...," desis Naina seraya kembali pura-pura sibuk.

"Ih... Naina genit ya, pake cubit-cubit segala. Bukan muhrim lho, dosa..." celetuk teman Naina yang bertubuh agak gemuk yang duduknya tepat di belakang Naina.

"Ih apaan sih kalian, ini kan tidak sengaja." Naina menggeser duduknya ke kiri menjauhi Edward, mukanya cemberut.

"Maaf Naina, aku hanya refleks saja." Edward berbisik sambil tersenyum.

Selly dan Kaila yang sekarang duduk sebangku menatap Naina dengan sebal. "Sok romantis segala, dasar kurang kerjaan," bisik Kaila seraya menghapus hasil pekerjaannya dengan kesal.

Ia sudah berulang kali mengerjakan soal yang diberikan oleh Ibu Winda tetapi masih saja tidak bisa. Seandainya Salwa ada tentu soal ini akan selesai dengan cepat. Sayangnya Salwa masih sakit sehingga hari ini Ia tidak sekolah.

"Kau bisa diam tidak sally? Mengapa kau dari tadi bergerak-gerak terus bukannya mengerjakan soal. Lihat ini ada lima soal tetapi satupun tidak bisa kita kerjakan." Kaila mengomeli Sally yang sedari tadi hanya  sibuk mengipasi mukanya saja.

"Jangan marah-marah dong, nanti cepat keriput. Lagipula jangan putus asa. Ingat Thomas Alva Edison saja sampai mencoba sampai seribu kali sebelum kemudian Ia berhasil menemukan lampu pijar." Sally mencoba memberi nasihat kepada Kaila.

Tetapi Kaila bukannya berterima kasih atas nasihat yang diberikan oleh Selly. Ia malah membentak Selly. "Nah, lantas kau sudah mencoba berapa kali untuk mengerjakan soal ini?" tanya Kaila dengan pandangan mata yang tajam. Ia bertanya seperti itu karena Kaila tahu dengan pasti kalau Selly sama sekali belum mengerjakan satu soalpun. Bahkan tidak ada satu titikpun di dalam kertas Selly selain soal yang sudah Ia tulis.

Selly nyengir mendengar pertanyaan Kaila. "Maaf Kaila, aku hanya kepanasan saja. Tumben banget ya, di kelas panas banget, padahal biasanya dingin. Kalau panas otakku jadi beku." kata Selly memberikan pembelaan. Kaila hanya mendengus saja.

"Pulang sekolah nanti, kita jadikan mau menengok Salwa?" tanya Selly lagi. Kaila menghentikan gerakan pinsilnya. "Tentu saja, kita harus ke sana. Kata si Devi, Salwa lebih kelihatan ketakutan dibandingkan dengan kesakitan. Ia tampak trauma setelah terjatuh ke bawah tebing itu." Kaila sekarang lebih santai mengerjakan soal karena pikirannya terpecah. Ia sekarang malah memikirkan Salwa.

Apa yang dipikirkan Kaila juga dipikirkan oleh Naina. Ia merasa bersalah kepada Salwa karena gara-gara dirinya Salwa menjadi terjatuh ke bawah tebing. Ia masih ingat kalau Ia di dorong oleh Salwa terjatuh tetapi kemudian Ia lupa semuanya dan Ia malah berada di sebuah toilet. Ini seperti sebuah dejavu yang membuat Ia lupa-lupa ingat. Benarkah Salwa yang mendorongnya atau itu hanya sebuah ilusi saja.

"Nanti pulang sekolah, aku akan menengok Salwa. Apakah kau mau ikut?" tanya Naina kepada Edward. Edward mengerutkan keningnya. Terbuat dari apa hati Naina? Sudah jelas-jelas Salwa hendak mencelakakan dirinya tetapi ia malah akan menengoknya. Tetapi sebentar, apakah tujuan Naina menengok Salwa adalah untuk mengolok-olok Salwa?

"Mau apa kau menengok Salwa?" 

"Mau apa? ya tentu saja untuk mengetahui keadaannya. Terus terang saja aku merasa bersalah karena gara-gara Ia ketakutan melihatku, dia terjatuh ke bawah. Untungnya tebing itu tidak curam dan di bawahnya banyak tanaman walaupun tanamannya tanaman gatal."

"Kau orang yang baik, Naina." Edward berkata dengan penuh harap. Hari ini Ia berniat akan menceritakan semuanya kepada Naina dan Naina mau menerima apa adanya keadaan dirinya. Edward tidak ingin apa-apa lagi. Ia hanya ingin hidup bersama Naina. Di vila dan berkebun untuk membiayai kehidupannya. Edward ingin menjadi petani dan hidup jauh dari keramaian. Membangun rumah tangga dengan Niana dan memiliki beberapa anak walaupun harus berjuang keras seperti ayahnya.

"Aku memang orang baik makanya kau harus menjadi orang baik juga agar kita berjodoh."

"Apakah kau berniat akan menikah denganku Naina?" bisik Edward lagi dengan suara yang sangat pelan. Ia takut ada orang lain yang mendengarnya.

"Kita ini kan baru kelas XII, masa iya sudah membicarakan pernikahan. Engga ah, Aku mau kuliah dulu lalu bekerja. Kemudian baru menikah. Aku tidak mau menikah muda. Aku mau kita menikah setelah mapan." Naina menjawab dengan ringan membuat hati Edward menjadi sakit. Perasaan galau langsung menyelimuti perasaannya.

"Tapi kitakan bisa menikah dulu lalu kuliah, Naina." Edward kembali berbisik. Mata Naina seketika melebar.

"Kau sudah kebelet mau nikah ya?" Naina bertanya dengan suara keras membuat suasan kelas bergemuruh lagi. Ibu Winda kali ini hilang kesabaran. Cukup sudah pembicaraan yang tidak masuk di akal ini.

"Edward dan Naina, ke depan kalian!" Ibu Winda membuat perintah yang membuat Naina hampir jatuh pingsan karena malu.

DICULIK PANGERAN VAMPIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang