18

157 29 11
                                    

ExmAlFagiO

Jantung Rhiana masih berdegup kencang. Dadanya naik turun menahan diri untuk tidak menangis merasakan lutunya perih terkena aspal. Tangannya meremas kuat kerah baju Jimin saat mobil taksi tadi meledak dan terbakar.

"Caitlin?" Jimin mengelus punggung Rhiana sebab tubuh wanita itu benar-benar bergetar seluruhnya "kau bisa buka matamu sekarang Caitlin"

Rhiana pelan-pelan membuka matanya lalu mendangak. Begitu pandangannya bertemu dengan mata Jimin, Tangisnya pecah begitu saja lalu menghambur kepelukan pria itu. Rhiana fikir, hidupnya sudah akan berakhir. Dugaan-dugaan buruk sejak supir taksi itu berteriak kalau dia tidak bisa menginjak rem mulai berdatangan sampai akhirnya Rhiana pasrah. Tetapi ternyata belum. Dia sungguh berterima kasih pada Jimin sebanyak-banyaknya karna sudah menyelamatkan nya.

Jimin tidak mengatakan apapun selain mengusap rambut Rhiana berkali-kali. Merasa wanita itu perlahan tenang, Jimin berdiri sambil menggendong Rhiana di lengannya.

"Cari tau siapa pelakunya dan tangkap supir taksi itu" Jimin berucap kepada Regar sembari berjalan ke mobil.

"Kurasa supir taksi itu tidak ada sangkut pautnya. Karna kalau dia, dia akan melompat dari mobil setelah mengencangkan laju mobil. Tapi dia bertahan hampir setengah jam mengontrol arah"

Jimin meletakkan Rhiana kedalam mobil di kursi belakang di susul olehnya. Dan juga Regar di depan.

"Kalau begitu cari tahu saja siapa pelakunya. Aku tau ini bukan kecelakaan yang tidak disengaja"

"Baiklah" Regar mulai menancap gas dan melanjutkan "bagaimana dengan motorku?"

"Nanti aku belikan yang baru"

"Yess. Motor baru. Kita kemana? Kerumahmu atau ke apartemen Rhiana?"

"Apartemen ku" Riana berucap cepat.

Regar melirik Jimin lewat kaca. Saat sang tuan mengangguk, dia pun menurut seperti biasa.

"Tidurlah. Aku akan bangunkan saat sampai di rumah"

Dan entah mengapa Rhiana menangis lagi. Perlakuan Jimin membuatnya merasa begitu menyedihkan. Gadis bodoh yang hampir mati, tidak punya siapa-siapa. Sekarang malah dengan gilanya menganggap hanya Jimin yang ada untuknya saat ini.

Jimin menarik Rhiana kedalam pelukannya lagi "Apa sangat sakit?"

Rhiana menutup wajahnya menggunakan kedua tangannya sambil menggeleng.

"Kita kerumah sakit saja"

Rhiana buru-buru menggeleng lagi "aku mau pulang"

"Kalau begitu berhenti menangis sayang"

Penenang semacam itu tidak mempan. Ucapan-ucapan itu malah membuat Rhiana semakin mengasihani dirinya sendiri. Belum lagi, perihal-perihal Jimin menambah tumpukan masalah di dalam kepalanya. Pertanya-pertanyaan yang tidak ada sudahnya. Dan yang lebih penting, Rhiana benci di kasihani.

Sesampainya di apartemen Rhiana. Jimin menggendongnya lagi dan meletakkannya di sofa. Tidak ada yang bicara di antara mereka sejauh ini sebelum Jimin menanyakan dimana letak kotak P3 k.

IncidentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang