6

167 31 4
                                    

ExmAlFagiO

Rhiana tidak tau apa-apa. Satu detik setelah suara tembakan terdengar tubuhnya didorong masuk kedalam rumah dan mendengar pintu di tutup dengan kencang. Setelahnya dia hanya melihat wajah panik Jimin sedang menatap nya di jarak yang dekat. Rhiana jelas panik, ini pertama kalinya dan berjanji akan menjadi yang terakhir.

"Kau tidak apa-apa?" Jimin menangkap kedua pipi Rhiana dengan tangannya yang dingin.

Rhiana hanya mengangguk.

Jimin menghela nafas. Lalu beralih menatap Regar yang baru saja masuk "siapa itu?"

"Sasarannya bukan Rhiana" Regar menunjukkan peluru yang berhasil ia temukan "hanya peluru karet"

"Kenapa kau begitu kaget. Itu sudah sering kali terjadi. Paling hanya orang-orang suruhan dari musuh bisnismu" Regar melempar asal kelantai
peluru yang sebelumnya dia pegang.

"Aku tau ini akan terjadi. Tapi lupa kalau ternyata hari ini"

"Apa?" Regar tidak begitu mendengar Karna Jimin bicara seperti bergumam.

Jimin mengusap tengkuknya tidak tenang "siapkan mobil. Aku akan antar Caitlin pulang"

Rhiana bersyukur kejadian itu ternyata tidak mempengaruhi rencana pulangnya hari ini. Padahal dia sudah berburuk sangka kalau Jimin akan menjadikan hal itu sebagai alasan Menahannya tetap disana. Tapi tidak, sekarang mereka berada didalam mobil. Jimin menyetir sendiri sementara Rhiana duduk disebelah nya. Tapi lewat kaca mobil, Rhiana bisa melihat Regar mengikuti mereka dari belakang menggunakan motor.

Tidak ada yang bicara sepanjang perjalanan. Jimin tetap diam dan Rhiana memang tidak mau terlibat obrolan apapun dengan pria itu. Ketika mobil berbelok kekanan, Rhiana sadar dia sudah semakin dekat kerumahnya hingga dia menegakkan tubuhnya dan menatap kedepan dengan perasaan was-was.

Tak lama setelah berbelok. Laju mobil lambat laun semakin turun sampai Jimin menepikan mobilnya dan berhenti di pinggir jalan tak jauh dari Rumah Rhiana. Dugaannya tak meleset sedikitpun, tampak 4 polisi tengah berjaga disana.

Jimin menoleh pada Rhiana "aku akan antar kamu kerumah Karina"

Rhiana tidak bicara apa-apa ketika Jimin menancap gas kembali pergi dari sana. Dia juga tak mau menatap Jimin karna merasa bodoh terus membantah dan memaksa. Rhiana hanya bingung, dia tidak tau kalau masalah itu akan separah ini.

Jadi sekarang Rhiana sedang menjadi buronan hanya karna kematian musuhnya di kampus. Kejadian satu malam yang menjadikannya topik utama kini tidak bisa di hindari lagi. Rhiana tak habis fikir, kehidupan normal yang sebelumnya hancur seketika akibat tuduhan palsu tanpa bukti. Sialan sekali, Sampai matipun jesika tetap mengganggu hidupnya.

Rhiana terkejut saat merasakan rambutnya di belai lembut "Kita sudah sampai" saat itu juga Rhiana ingin menangis saja rasanya.

"Jangan kemana-mana. Sekali saja dengarkan aku" Jimin mengelus Pipi Rhiana "jangan keluar rumah. Aku akan kirimkan nomor Regan. Jika kau butuh sesuatu telfon saja dia"

Semula mata Rhiana merah dan pada akhirnya menangis.

Jimin menarik wanita itu kedalam pelukannya "Semua akan baik-baik saja kalau kau mau mendengar sekali saja"

"Aku tidak membunuhnya" Rhiana terisak "Bukan aku"

"Aku tau" Jimin terus mengelus rambut Rhiana. Sementara rahangnya mengeras merasakan amarah karna ikut merasa sakit di dalam melihat Wanita itu menangis "dan akan membuat mereka semua juga tau"

IncidentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang