21

169 31 12
                                    

ExmAlFagiO

Seharian ini Rhiana tidak melakukan apapun dan tidak kemana-mana. Dia hanya meninggalkan ranjang ketika lapar dan merasa haus. Dari pagi sampai malam ini, Rhiana hampir mengerjakan 10 tugas kampus untuk menyibukkan diri dan melupakan apa yang terjadi tadi pagi. Walau perasaan bersalah tiba-tiba memenuhi rongga dadanya perihal jimin, walau sebagian fikirannya bertanya-tanya apa kah Jimin marah atau tidak. Padahal seharusnya Rhiana tidak memikirkan hal tidak penting itu, Marah ataupun tidak juga tidak ada pengaruhnya.

"Nona Rhiana. Mau makan malam di bawah atau disini?" Lusi mengetuk dan bicara dari luar kamar.

Sejenak Rhiana berfikir kemudian menutup laptopnya dan turun dari ranjang untuk membukakan Lusi pintu "apa Jimin sudah datang?"

"Sudah nona. Dia sedang makan di bawah"

"Apa dia yang menyuruhmu memanggilku?"

"Tidak. Aku berinisiatif memanggil karna nona Rhiana hanya makan pagi tadi"

Rhiana menggigit bibir bawahnya sambil berfikir. Beberapa detik sebelum memutuskan untuk turun ke bawah. Entahlah, tapi Rhiana tiba-tiba merasa canggung dan malu. Dia hampir putar balik kembali ke kamar saat melihat Jimin sedang makan dengan wajah datar seperti biasa. Tetapi pada akhirnya Rhiana tetap mendekat lalu duduk di sebrang kursi tepat di hadapan Jimin.

Hening. Tidak ada yang bicara, Jimin tetap makan dan Rhiana pun mulai mengisi piring. Yah, dari suasana ini Rhiana akhirnya tau Kalau Jimin memang marah. Parahnya, Rhiana tidak tau harus minta maaf seperti apa karna dia merasa tidak bersalah.

"Aku selesai" Jimin berdiri dari duduknya.

"Mau kubuatkan teh atau kopi tuan?"

"Teh. Bawa kekamarku" Ujarnya sambil menuju kamarnya.

Rhiana menatap punggung pria itu sampai hilang di balik pintu. Dia menghela nafas kasar dan meletakkan sendoknya kesal. Setelah membujuknya dan membawanya tinggal bersama, pria itu dengan seenak hati mengabaikannya begitu saja seolah-olah Rhiana lah yang menginginkan semua ini. Hanya karna masalah sepeleh salah memanggil nama dia menjadi marah tidak jelas seperti anak-anak.

"Lusi"

"Iya Nona?"

Rhiana mengambil teh di tangan Lusi "Biar aku saja yang bawakan" dia harus meluruskan sesuatu yang menyudutkan dirinya.

Sesampainya dikamar. Rhiana mengetuk pintu ragu-ragu dan membukanya setelah mendengar suara berat Jimin mempersilahkan masuk. Pria itu sedang duduk di sofa sembari bersandar dan kini menatap Rhiana yang tetap berdiri di dekat pintu yang terbuka.

"Letakkan saja di meja"

Rhiana meletakkan teh itu di atas meja tepat di hadapan Jimin kemudian berbalik. Kedua tangannya sejak tadi saling meremas di depan perut sambil menggigit bibirnya gelisah. Sebab cara bicara Jimin benar-benar tidak seperti biasanya, tidak terdengar hangat dan manis lagi seperti kemarin. Aneh sekali kalau penyebabnya hanya karna masalah tadi pagi. Dan lagi pula, seharusnya Rhiana tidak terganggu tapi begitulah kenyataannya.

"Caitlin?"

"Kau marah?"

Kedua alis Jimin terangkat bingung "aku?"

IncidentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang