🌷 Bulan : Moonichi 🌷

18 2 6
                                    


Seperti dua sisi yang ditarik berlawanan.

Gelap dan buram, sebelum berkedip-kedip dan terang. Mari sedikit dijelaskan. Denah hutan sebagai rumah buangan, inilah alam yang ditemani berteman. Makhluk mungil yang terduduk di atas daun pelepah lebar, bertumpu pada satu tangan.

Siapakah dia?

Seraya mencari jati dirinya, dia mengembara tanpa arah, melewati hutan dengan segenap nyawa. Gelap meski mata terbuka, ia berlabuh tanpa ingat apa-apa. Akan tetapi, saat mata melihat cakrawala, hanyalah satu nama yang terlintas di kepala.

"Moon ...."

Surai seperti jerami, lurus dan kusut. Tubuh kotor bagai makhluk buangan, hutan lebat adalah pemandangan. Setiap saat, dahan kering berjatuhan. Setiap waktu, daun berguguran. Dia mengembara, tanpa arah, hanya mengikuti setiap perjalanan bulan di atasnya. Tangan terulur ke atas, mencoba meraup langit yang berjarak tanpa batas. Berjinjit, tapi merasakan pun tak dapat.

Lagian, bagaimana rasanya menyentuh awan?

Dengan kaki terluka, melangkah mengarungi tanah. Berburu dengan insting buaya, melumpuhkan makhluk lainnya. Perempuan yang dia temui di pantulan air pada sungai di tengah hutan, seseorang yang kotor dan bersurai panjang, pakaian serba hitam, dan wajah penuh bekas luka.

Dia memegang pipinya, menatap wajah dengan pantulan bulan pada malam harinya. Cahaya redup keperakan, seolah menyatu dengan dirinya.

"... Ichi."

Penuh kabut dalam kepala, memiringkan kepala, menatap mata yang tak tahu apa-apa. Tetapi penampilan wanita seukuran gadis muda, siapakah ... dirinya?

Ia tak ingat apa-apa. Ketika bulan ada di pantulan air, mata itu terpaku dengan isi kepala mengembara. Waktu berlalu, ia hanya bertahan untuk terus meraup udara. Makan dengan daging merah, membunuh dengan hasrat di dada.

Tapi ... siapakah dia?

Saat melewati tempat asing, namun selalu berdiri dahan pohon kokoh. Dia berada di penghujung bukit tinggi, tidak ingat kapan ia mendaki. Kurus dan kotor, dengan isi otak kosong melompong. Mata itu berkedip-kedip saat melihat dasar bukit, bangunan-bangunan kokoh dan istana besar di ujung sana.

Suara ribut pedesaan, kota-kota yang tak jauh dari pinggiran. Dengan pakaian yang sama setelah terbangun dari tidur 'pertama', dia melangkahkan kaki menuju 'rumah'. Memasuki hutan kembali, hanya untuk menuju tempat yang familiar baginya. Dia melangkah, telah keluar dari hutan rimba. Tiadalah yang menyadari kehadirannya, atau peduli ketika pakaiannya serupa dengan budak di dalam sangkarnya. Moon hanya melangkah, melihat sekitarnya, mengamati dengan teliti, dan terhenti seolah sedang dipeniti.

Dia tidak ingat apa-apa, selain nama dan bulan di cakrawala. Dari mana ia berasal, siapa yang mengenalnya, mengapa ia ada di hutan rimba-ia tak mengingatnya.

Hanya mengetahui hal yang kedepannya terjadi, hidup sebagaimana gelandangan berkeliaran. Berhari-hari, makan dengan daging hasil curian. Ia tak tahu mengapa mendapat kemampuan kelincahan, mengapa mudah sekali mengayunkan benda tajam, mengapa ... begitu lihai membunuh seseorang.

Dia hanya mulai bertahan setelah ditemui seorang pria berkaca mata yang mengenalnya. Memberi tempat tinggal, menuntun menjadi manusia di Kerajaan. Memberinya label sebagai sastrawan, sebelum melepaskan diri setelah rumor disebarkan. Ia hanya mengingat hal yang terjadi setelah tidak lagi mengingat. Membunuh dengan bosan, mendapatkan kelincahan memutuskan titik vital, mengakhiri kehidupan seperti malaikat kematian.

Di kediaman pria berkacamata, Moon bergeming saat duduk menghadap jendela. Dia hanya melirik di ujung mata, saat sosok berkacamata dan tinggi menatapnya dengan senyuman kepalsuan semata. Dia tersenyum picik. Moon hanya mengamati dalam diam, menerka-nerka apakah dapat membunuhnya di masa depan.

"Kau akan mati jika terus belagak tak punya hati." Pria berkacamata menepuk kepalanya saat Moon mendapati pria itu menjulang tinggi di sana. "Hiduplah seperti yang kuberi, lalu bunuhlah manusia-manusia yang tidak kusukai."

Pria berkacamata yang ramah, banyak disukai penduduk kota, memungut gadis tanpa ingatan seperti dirinya. Meski topeng suci itu mungkin akan patah tak lagi lama.

"Sucilah di siang hari, biarkan dirimu menjelma setan saat kuperintahkan."

Moon bergeming, respon tanpa minat tapi tekun mendengarkan. Moon akan menjadi seperti yang diperintahkan.

Membunuh, membunuh, menulis, membunuh dan menulis.

Hidup, lalu kini bulan disaksikan lewat jendela. Sendiri, hening dan suara gemercik api melahap kayu. Pria berkacamata, kemanakah dia? Setelah memberi pesan terakhir untuk menjadi pejuang di Kerajaan, hilanglah pria berkacamata itu seperti kemunculannya yang tiba-tiba. Berpamitan menuju desa di ujung kota, tidak pulang setelah menghilang sejak dua pekan berlalu. Moon Ichi, itu saja yang diingat dirinya. Menatap diri di cermin, memakai pakaian militer gelap, wajah yang memiliki bekas luka tanpa ingatan apa-apa. Mata yang kosong, tajam dan gelap. Dia tidak ingat apapun, meski ketika melangkah dan menaiki kereta kuda, bergabung bersama pejuang lainnya. Dia-mencari jati diri dan cara untuk kembali bertemu dengan pria berkacamata-mengikuti instruksi para Elite dan berdiri di aula pesta penyambutan oleh keluarga kerajaan.

Ketika dia hanya berdiri di tempat lebih terisolasi, suara gemuruh hormat ketika para keluarga Kerajaan ada di aula utama. Para pejuang lainnya nampak begitu terpana dengan paras pangeran di sana, tak terkecuali Moon yang malah terpaku pada sang Raja, Raja Stiff namanya.

"Selamat datang, Para Pejuang! Dengan hadirnya kalian malam ini, berarti kalian sudah siap untuk menghadapi rintangan dan berbagai misi untuk mendapatkan gelar Soulmate terbaik di Kerajaan."

Jemari yang menggenggam gelas wine itu berkedut dan menjadi kaku. Untunglah ia di tempat terpencil, kekuatan jemarinya meretakkan gelas kaca. Suara hormat menggema, lantunan piano terhenti. Mata itu terpaku pada Raja Stiff yang dermawan, namun kekosongan di sana lebih bercahaya dengan binar membara.

Pantulan dari gelas kaca, mata Moon berkilat terpaku pada sang Raja. Dendam, murka, atau ikatan yang dilupa. Berganti, Pangeran berargumen-suara yang seperti angin yang menghilangkan kabut, Moon mengingat satu insiden yang dilupakan setelah pertama bangun di hutan rimbun.

"... Pria bulan."

***

Merangkai kalimatnya dengan kalimat fantasi. Moon, dia tergila-gila dengan bulan sehingga membuat nama pena Moonichi. Manusia biasa yang gemar menulis berbagai hal berbau mitologi, suka kesulitan merangkai kisah yang berhubungan dengan kehidupan realita. Jika ingin berbincang dengan Moonichi, tentu dia akan menyambut dengan sepenuh hati!

IRIDESCENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang