Ia berlari kecil dari lorong ke lorong lain. Kaki tanpa terbalut alas apapun itu membekas di setiap lantai akibat tanah yang melumurinya dari depan rumah. Lari dan lari, tidak diperbolehkan menoleh ke belakang hingga ia masuk kedalam sebuah ruangan gelap. Lantas menutup pintu, menguncinya rapat. Sebuah suara halus serta seram bersenandung lembut. Dibarengi bunyi cakaran pada pintu bercat coklat nuansa kuno itu. Wanita itu mencengkram sebuah buku tua. Langkahnya mundur perlahan saat menatap pintu dihadapannya digedor-gedor dengan sangat keras.Ia seorang wanita berusia dua puluh empat tahun. Wajahnya pucat pasti dilumuri keringat basah yang mengalir dari sela-sela rambut panjang terurainya. Nafasnya tersengal-sengal. Debaran jantung sekencang hujan badai disertai petir diluar sana. Tirai-tirai tertutup namun tak mampu menutupi rona cahaya dari luar. Bayangan sosok wanita dengan rambut terurai berkeliling di setiap jendela.
Tangan gemetar kecil itu menghidupkan lampu meja belajar. Membuka sebuah map berisi laporan pembangunan. Tiada peduli lagi dengan kebisingan yang diciptakan mahkluk seram itu. Ia harus menuntaskan cara mengusirnya.
Seketika badai diluar sana saat itu ula tiba-tiba berhenti. Angin kencang tak lagi mendebarkan jendela ataupun pintu. Namun, debaran jantung masih terasa keras mengelilingi jiwa ketakutan dalam dirinya.
Tok!
Tok!
Tok!
"Buka pintunya sayang," tutur lembut seorang wanita dibalik pintu itu.
Wanita itu menyoroti pintu yang masih terkunci itu. Ia meneguk saliva. Kemudian menoleh kesebuah foto yang tak tersorot cahaya begitu banyak. Keredupan samar namun jelas dipandang oleh perempuan itu. Foto figuran sosok wanita tersenyum kepadanya. Ia tersenyum kecut.
Tok!
Tok!
Tok!
Wanita itu masih diam. Kemudian suara bel rumah berbunyi dari luar sana.
"Sepertinya ada tamu, mama bukain pintu dulu, ya?"
Mata perempuan itu membulat sempurna. Ekspresi tergambar cemas. Namun ia tak dapat berpikir lebih banyak lagi. Setelahnya ia pun nekat membuka pintu. Tiada siapapun meski ia telah menoleh ke kanan dan ke kiri.
"Sera!"
Suara Alinda memekik dari lantai bawah. Sera mengerutkan dahi. Sahabatnya itu datang ke rumahnya. Untuk apa?
"Aku memanggilnya untuk ku bunuh!"
Bisikan itu sangat gamblang menembus gendang telinga.
Disisi lain seorang wanita berkuncir kuda telah meletakkan sebuah bingkisan diatas meja. Sedari masuk ke rumah Sera, beberapa kali ia memanggil pemilik rumah itu namun tak ada tanda-tanda keberadaannya. Hanya jejak kaki kotor menghiasi lantai menuju lantai atas.
"Hai Al!" Sapa seorang wanita turun dari tangga.
"Hai!" Balas Alinda sembari tersenyum.
Sera telah menuruni tangga. Kakinya terbalut sandal beruang besar. Menghampiri Alinda dan tersenyum ramah.
"Katanya Lo sakit, kok kelihatan sehat-sehat aja? Lo bohong, ya? Biar bisa gue traktir makanan.'
"Gak kok, gue emang lagi ngga enak badan," jawab Sera masih dengan senyum yang membuat Alinda agar heran. Pasalnya Sera adalah temannya yang paling cuek dan judes, jarang tersenyum apalagi. Tumben sekali tersenyum padanya, berkali-kali lagi.
"Lo nggak kenapa-kenapa, kan?"
"Gue baik kok, apalagi setelah mengetahui ibu Lo yang ngerebut ayah gue. Hahaha," suara tawa Sera begitu sumringah. Seperti disengaja padahal apa yang ia katakan tidak unsur lucunya sama sekali.
Gelagat Sera juga aneh, melebarkan senyum lantas duduk bersila kaki dengan kedua tangan terletak di dua sisi sofa. Seperti bukan Sera.
Alinda masih berdiri, membalas senyum kikuk. Entahlah, aura disekitar serasa mengancam baginya.
"Masalah itu, gue minta maaf ya, Ser? Gue tahu mama gue jahat. Tapi kan, gue juga nggak tahu apa-apa."
"Hahahaha!" Tawa Sera terdengar riang dan menggema di ruangan itu. Tangan kanannya begitu manis menutupi mulutnya yang tertawa.
"Minta maaf?" Sera menggigit ujung jari telunjuknya. Lantas kembali tertawa sumbang.
"Permintaan maaf mu saya terima," ucapnya pelan sembari menyeringai Alinda.
***
Sera berdiam diri di depan gerbang pintu rumahnya. Sejak subuh tadi rumahnya sudah ramai berdatangan polisi dan ambulan serta warga sekitar. Usai berita seorang gadis meninggal gantung diri di lampu ruang tamu. Jaraknya yang tinggi tak memungkinkan seorang Sera melakukanya. Itu logikanya. Namun, Sera tetap menjadi tersangka utama.
Seorang laki-laki menghampiri Sera. Sembari memperlihatkan barang bukti berupa surat bertuliskan 'Ampun' dari cairan darah itu, ia memerhatikan wanita itu secara prihatin.
"Vanya, Daren, hari ini Alinda. Ketiga orang ini berhubungan semua dengan kamu. Apa kamu nggak bisa menjelaskan sesuatu?"
Sera menatap teman laki-lakinya yang telah menjadi perwira polisi itu.
"Nggak ada yang mempercayaiku."
Hanya itu yang mampu Sera katakan. Selebihnya hanya dianggap khayalan dan bahan membela diri. Bahkan hubungan sepuluh tahun tidak mampu membuat Stefan percaya kepada dirinya. Ia pun memilih bungkam dari kenyataan yang ada.
Stefan terdiam dari palingan Sera kepadanya. Entah harus bagaimana lagi ia menyangkal dari bukti-bukti yang ada jika bukan Sera yang membunuh sahabatnya sendiri ataupun ayahnya bahkan mamanya Alinda. Tetap saja, seluruh bukti dan kemungkinan akan menunjuk Sera lalu mendorongnya masuk ke dalam penjara. Stefan tak bisa lagi membayangkan bagaimana Sera bernasib seperti itu.
***
Tok!
Tok!
Tok!
Pintu rumah bercat putih itu terbuka. Memperlihatkan Sera dengan wajah pucat memandang Stefan yang datang kerumahnya bersama senior kerjanya.
"Kenapa kalian berdua datang kemari?" tanya gadis itu dengan wajah datar.
Belum sempat menjawab gadis itu sudah duluan berlalu, namun tidak menutup pintu. Stefan dan Pak Romi pun memasuki rumah mewah itu. Terlihat berserakan.
"Dia." Sera menunjuk pada sebuah cermin. Memperlihatkan sosok wanita dengan wajah tertutupi rambut.
"Dia mamaku, meninggal karena dijadikan persembahan ayah dan selingkuhannya dalam mendirikan perusahaan."
Pak Romi dan Stefan saling pandang. Mereka beberapa kali menoleh ke arah Sera lalu ke arah cermin. Bayangan gadis itu di cermin sangat berbeda. Yang satu adalah Sera, yang satu lagi adalah...mamanya.
Brak!
Sera melempar sebuah map berisi laporan pembangunan perusahaan.
"Dia meminta bayaran ampunan dari mereka, itulah kenapa banyak coretan ampunan saat ketiganya meninggal."
Sera terkekeh pelan, "ini sangat terdengar nggak masuk akal, tapi inilah kenyataannya."
"Sebelum yang lain terkena imbasnya, ini adalah cara untuk menyelesaikannya," sambung wanita itu sembari mengarahkan sebuah pisau ke arah lehernya. Darah mengalir.
Stefan membulatkan mata terkejut. "Jangan gila Sera!"
"Gila? Aku sudah mengatakan yang sebenarnya tapi aku dianggap gila. Kalian punya semua bukti, dan kekuatan kalian mampu membuat yang lain percaya."
"Bukan begini cara menghentikannya!" Ujar Pak Romi.
"Ini bukan caraku, ataupun pilihanku," jawab Sera.
Pisau itu mulai menggores leher Sera. Wanita itu menoleh ke arah cermin.
"Ampuni aku! Jangan bunuh aku!"
***
Nama pena saya adalah Pluvioliee, penulis pemula yang tengah belajar cara menulis. Cermin kali ini bertema Aksama/Ampunan dengan genre horor.
KAMU SEDANG MEMBACA
IRIDESCENT
Short StorySiapkah kamu menjelajah dunia bersama SOUL? Berisi kumpulan cermin dari para pejuang generasi ketiga. Tidakah membuatmu penasaran dengan isinya? Mari, mampirlah sejenak. Mengikuti kisah yang ditulis oleh para pejuang! . . . SOUL 2023