Lorong gelap kerajaan merupakan hal yang lumrah ditemukan, sekalipun di kerajaan besar dan megah seperti tempat kita bernaung saat ini, yaitu kerajaan Soulmate. Lilin dan lentera sebagai sumber cahaya setelah malam tiba dapat padam seketika tanpa ada yang tahu kapan dan
bagaimana. Angin yang berhembus dalam lorong-lorong tak berpenghuni sering dilaporkan oleh pelayan-pelayan dan juga juru lilin kerajaan. Menurut catatan, kejadian ini sudah dari dulu adanya, tetapi tidak ada yang pernah tahu asal-usulnya.
Adalah Mjor, seorang pandai besi tua yang tinggal di luar area pengungsian kerajaan, sekitar 30 menit jalan kaki dari arah Barat daya ibukota, bercerita tentang suatu kejadian tak lazim yang pernah ia alami di lorong-lorong dingin dan tua di gedung Timur kerajaan. Ungkapnya, suatu
malam saat ia diundang untuk menghadiri pesta di kerajaan, bertahun-tahun silam, ia pernah berpapasan dengan "sosok" tak kasat mata yang menyeramkan. saat itu sudah lewat tengah
malam, pesta jamuan malam sudah berakhir dan para pelayan sudah mulai membersihkan sisa- sisa makanan dan menata ulang perabotan teater utama. Para undangan sudah balik ke kamar masing-masing untuk istirahat, sekitar 1 atau 2 jam lalu, diantar oleh pelayan-pelayan kerajaan.
Raja sudah menitahkan untuk jangan kembali setelah lewat tengah malam, karena lorong-lorong kerajaan dapat membingungkan dan juga pada sayap Timur kerajaan orang bisa tersesat karena gelap. Bagian itu masih dalam perbaikan.
Mjor sendiri adalah seorang yang dikenal sebagai seorang pandai besi yang pemberani, tetapi juga pemabuk berat yang tidak akan berhenti sebelum wajah dan tubuhnya menjadi merah
seperti udamg rebus. Malam itu, seperti yang biasa ia lakukan di pesta manapun, ia mabuk berat hingga tertidur di sudut ruangan teater tanpa ada satu pelayan yang berani membangunkannya. Tubuhnya yang pendek, telinga yang sedikit panjang dan kumis serta janggut lebat cukup untuk menandakan bahwa ia adalah seorang dwarf galak dan itu menjadi alasan cukup mengapa ia
tertidur pulas, atau dibiarkan tidur, tanpa seorangpun mengganggunya. Ia terbangun dengan kepala yang masih sempoyongan.
Lewat tengah malam, meja-meja di ruang teater telah rapi tersusun, begitu juga kursi-kursinya,
tetapi gelap menyelimuti seluruh ruangan karena semua sumber pencahayaan sudah dipadamkan. Perlahan Mjor mencari keseimbangan dan menggapai pintu utama, dibantu cahaya bulan
purnama biru dari luar jendela-jendela besar. Terasa seperti dalam mimpi, atau mungkin karena masih di bawah pengaruh alkohol Triat yang tergolong cukup keras bahkan untuk pemabuk sekelas Mjor, ia berjalan perlahan menyusuri lorong-lorong gelap untuk balik ke kamarnya. Saat itulah ia bertemu dengan “sosok” yang tak akan pernah ia lupakan.
Dingin menusuk tubuhnya dan angin terasa berhembus di lorong kerajaan saat ia hendak balik ke kamarnya. Tidak ada jendela di sepanjang lorong, dan hingga ujung lorong tidak tampak ada
tanda-tanda terhubung dengan halaman luar. Lebar lorong tersebut terasa semakin menyempit semakin jauh ia berjalan. Sudah hampir setengah berjalan jam tetapi ia tidak pernah sampai di ujung lorong, pertigaan, ataupun kamar yang ia tuju. Mjor pun tersadar akan suatu hal, dimana lorong telah berubah menjadi biru. Sekelilingnya menjadi seperti biru pucat. Dinding, lantai bahkan langit-langitnya menjadi biru pucat dan gelap. Ujung lorong tersebut menjadi gelap pekat, seakan menolak kedatangan siapapun yang hidup kesana. Mjor menjadi tersadar akan cerita lorong biru yang pernah ia dengar dari pelayan-pelayan kerajaan. Konon jika seseorang sudah tersesat hingga tiba di ujung lorong tersebut, sudah tidak ada jalan untuk ia kembali ke dunia orang hidup, atau dalam kata lain, ia sudah masuk ke dalam dunia orang mati.
Bibirnya mengering, bulu kuduknya berdiri, Mjor menjadi sadar penuh dan seketika keringat dingin yang mulai bercucuran dari dahinya. Lidahnya menjadi kaku tidak dapat berucap,
lehernya kering tidak dapat berteriak, sekujur tubuhnya dipenuhi rasa takut dan kedua kakinya bergetar hebat. Ia harus segera balik dan berlari menjauh dari ujung lorong, tetapi bagian punggungya terasa berat dan hawa dingin berhembus, membuatnya tidak dapat membalikkan badan. Tiba-tiba kedua ujung kakinya menyeret badannya maju dengan sendirinya. Kedua
matanya tidak dapat ditutup dan kedua telinganya, semakin ia melangkah maju, semakin dapat mendengar bisikan-bisikan halus hingga teriakan ngeri dalam isi kepalanya. Jeritan seorang perempuan, tangisan anak kecil yang tajam dan suara teriakan penuh dendam yang jelas
menggema di kepalanya. Perlahan dan semakin ketakutan, Mjor harus melewati semua ini dengan sadar tanpa bisa menutup mata ataupun berpaling. Lalu sampailah ia di ujung lorong biru tersebut. Semua terasa hening. Bahkan kedua kakinya merasa tidak menyentuh apa-apa dan suara-suara ribut sebelumnya digantikan senyap yang mencekam. Kepalanya terasa berat tetapi semua inderanya tetap dalam keadaan sigap. Suatu bisikan mendekatinya, suatu sosok yang tak kasat mata, seperti selendang hitam yang memiliki sepasang mata merah menyala mendekati dirinya dari arah depan. Sesaat mata merahnya semakin dekat ke arah wajah, dapat terdengar bisikan kuat dalam kepala Mjor yang berteriak,
“Pergi!!”
Seketika sosok hitam tersebut menembus kepala Mjor. Ia pingsan.
***
Keesokan paginya di aula utama kerajaan diberitakan hilangnya pandai besi tua itu sejak semalam dan tidak ditemukan di kamarnya. Mereka mencari seluruh ruangan, lorong bahkan
halaman tanpa menemukan adanya Mjor. Hingga salah seorang pelayan yang mengingat tentang legenda lorong biru tersebut meminta agar sisi Timur juga diperiksa. Para prajurit awalnya ragu, bahkan Raja sendiri tidak yakin akan menemukan si pandai besi tua itu di sana, karena akses ke bangunan itu sudah rusak dan ditutup. Akan tetapi setelah diputuskan bahwa pencarian mereka
tidak membuahkan hasil setelah seharian, dan juga langit senja mulai tampak, para prajurit diperintahkan untuk memeriksa bangunan tua itu, dan apakah yang mereka temui di sana? Ya benar, Mjor sementara duduk termenung dengan tatapan kosongnya, bersandar di ujung lorong gedung Timur. Ia berdiri perlahan dan tersenyum ke arah mereka.
“Kalian terlambat beberapa menit, kawan.” Mjor berdiri dan secara enteng bergabung dengan para prajurit kembali ke gedung utama kerajaan. Dia tersenyum sinis menatap lorong di
belakangnya, menyimpan rahasia yang telah ia ketahui tentang kerajaan yang sempurna ini. Sosok hitam dan berwarna merah melambai halus kearahnya sebelum kembali menembus dinding ujung lorong.
Mjor diantar kembali ke kamarnya, tepat di simpangan pertama lorong dekat teater utama.
Bionarasi
Tita Ai. Tita Ai adalah seorang penulis yang gemar membaca hal-hal baik yang masuk akal hingga hal-hal absurd yang ia temukan. Dalam perjalanan literasinya, ia senang karena masih perlu banyak belajar sebelum menjadi penulis yang sebenarnya. Diucapkan banyak terima kasih.
KAMU SEDANG MEMBACA
IRIDESCENT
KurzgeschichtenSiapkah kamu menjelajah dunia bersama SOUL? Berisi kumpulan cermin dari para pejuang generasi ketiga. Tidakah membuatmu penasaran dengan isinya? Mari, mampirlah sejenak. Mengikuti kisah yang ditulis oleh para pejuang! . . . SOUL 2023