Dasar naga kurang ajar!
Hei, kenalin. Aku Ara, seorang pengembara. Dan sekarang aku sangat kelaparan.
Sungguh, masa tidak ada satu buah pun yang bisa dimakan? Ini hutan, loh. Hutan! Bukankah seharusnya ada, heh? Hewan-hewan yang kutemui dari tadi pun hanyalah hewan buas macam ular dan serigala. Hewan seperti itu, mana enak coba? Beracun sih iya.
Mungkin memang kesalahanku, sih. Karena aku tidak menyiapkan bekal lebih banyak. Kupikir dengan adanya Aria—naga peliharaanku, aku akan cepat menemukan Ammolit itu.
Ah, kamu tidak tahu ya, apa itu Ammolit? Jadi singkatnya, itu adalah permata langka yang mengandung mana agung. Tentu siapa pun yang memiliki permata itu akan menjaganya dengan sangat baik, bukan?
Dan tahu tidak? Satu-satunya Ammolit dimiliki oleh Kerajaan SOUL. Dan itu menghilang belum lama ini. Orang yang mencurinya menyebalkan sekali, sih! Permata itu kan sangat susah dicari.
Tapi aku cukup beruntung, karena Aria telah berusia ratusan tahun, ia pernah mendengar tentang permata Ammolit, sekilas.
Permata itu asalnya adalah sisik naga. Iya, sebangsa dengan Aria. Bedanya, naga itu adalah naga paling sakti yang pernah menentang hukum kahyangan, dan dijatuhi hukuman pengasingan. Setelah itu, ia bertemu dengan pertuah agung dan dikalahkan olehnya. Dan sisik dari naga itu diambil oleh pertuah agung.
Sekarang tidak tahu, deh, di mana bangkai naga itu. Kan sudah ratusan tahun berlalu!
Tapi namanya juga naga, mereka punya indera tersendiri untuk mendeteksi satu sama lain. Dengan mudahnya, Aria membawaku hingga sampai ke sini, Magiya Forest. Hutan yang dikelilingi oleh pegunungan nan tinggi menjulang. Hamparan hijau sejauh mata memandang. Dan di situlah ..., Aria menjatuhkan aku.
Naga kurang ajar itu, apa tidak bisa, ya, menurunkanku dengan lebih sopan sedikit? Syukur, aku bisa mendarat dengan aman berkat hasil latihan bela diriku selama ini. Kalau tidak, entah bagaimanalah nasibku selama ini. Mungkin sudah menjadi santapan hewan buas.
Ah, kembali ke topik. Aku sudah mengelilingi hutan ini selama lebih dari tiga hari, kurasa. Dan hal aneh yang kurasakan di sini, sangat-sangat sepi. Bahkan tidak ada suara serangga apa pun. Entah ke manalah hewan-hewan itu pergi.
Aku juga menemukan sungai di sini. Tidak ada ikan—tapi ada buaya yang besar sekali. Airnya masih layak minum, sih. Tapi air saja tidak dapat mengganjal perut. Tumbuhan di sini juga aneh, tidak ada satu pun buah menggantung. Bahkan bunganya saja, deh. Tidak ada! Hanya ada sulur-sulur menggantung di dahan—
AARRGGHHH!!!!!
Lubang apa, sih, ini? Dalam sekali, astaga. Ini, nih, yang paling menyebalkan sejauh ini. Gara-gara instingku menurun akibat lapar, lubang sedalam ini saja aku tidak menyadarinya. Ukh, badanku sakit.
Ah, tunggu. Apa ini di bawahku? Tulang? Hei? Bukankah ini mengerikan. Lebih baik aku mencari cara untuk segera naik dari sini. Bagaimana, ya? Tanah di sini becek sekali, sih. Akan susah untuk memanjatnya. Kalau menggunakan pedang bisa tidak, ya? Tapi pedangku hanya satu buah. Atau pakai tulang ini saja? Kurasa ada beberapa yang bisa digunakan.
Akhirnya aku bisa naik, sih. Meski seluruh tubuhku kotor terkena tanah dari bawah sana. Mandi dulu, deh. Nanti saja cari makannya.
Eh, apa itu? Aku merasakan ada sesuatu yang memerhatikanku. Ini berbeda dengan tatapan hewan buas.
Angin tiba-tiba bertiup. Pepohonan bergemerisik. Langit berubah menjadi gelap. Aduh, hujan! Aku segera berlari, mencari tempat berteduh apa pun itu. Namun seketika langkahku terhenti. Di depan sana, berdiri beberapa orang—kalau itu memang orang—dengan kulit sangat putih dan rambut hijau pekat. Tubuh mereka tertutupi semacam kabut yang nampak seperti serabut. Tatapan matanya yang hitam dan dalam seakan menghipnotisku.
Ah, angin semakin kuat saja. Tubuhku tidak bisa digerakkan, luruh seiring menguarnya asap hijau dari orang-orang di depanku. Pandangan mataku menggelap. Dan seketika ..., ada sesuatu berdebam tepat dihadapanku. Apa itu? Aku tidak tahu. Saat itu aku sudah kehilangan kesadaran.
***
"Kau sudah bangun?"
Aku menggeliat.
"Hei, hati-hati, dong. Ini bukan tempat tidur yang luas, Tuan Putri."
"Ah, woah. Sejak kapan aku berada di punggungmu?"
"Sejak kau terkena racun para Kroh."
"Kroh? Maksudmu roh?"
"Bukan, Kroh. Mereka itu adalah makhluk yang menyerap intisari makhluk hidup. Untunglah diriku ini menemukanmu tepat waktu. Kalau tidak, mungkin kau hanya tinggal nama," Aria tertawa.
Benar, sekarang aku berada di atas punggung naga kesayanganku yang kurang ajar ini.
"Jika kau sudah tahu ada eksistensi semacam itu di Magiya Forest, mengapa kau menjatuhkanku, heh?" Aku memperbaiki posisi dudukku.
"Diriku tak menjatuhkanmu, tahu! Saat itu diriku melihat gua tempat bersemayam naga sakti yang aku ceritakan padamu. Makanya diriku terbang sedikit lebih cepat. Kau saja, sih, yang tidak berpegangan dengan benar!"
"Hei, setidaknya beritahukan dulu kepadaku bila kau sudah menemukannya. Kupikir kau sengaja menjatuhkanku, huh!"
"Mana mungkin. Sekarang mau tidak pergi ke gua persemayaman?"
"Baiklah. Masih jauhkah dari sini?"
"Tidak juga, tapi nanti kau harus masuk ke sana sendiri."
"Mengapa demikian?"
"Gua itu terlalu kecil untukku masuk. Kau saja!"
Aku kesal, sih, mendengarnya. Tapi kalau bukan karena Aria, aku tidak akan bisa menemukan Ammolit. Dasar naga satu ini, haruskah kuberi hadiah padanya?
"Tentu saja kau harus."
Aku memukulnya. Seenaknya saja ia membaca pikiranku.
Aria menggoyangkan badannya, membuatku hampir terjatuh—lagi.
***
Gua itu berada di tepi jurang. Pintu masuknya kecil, bahkan kepala Aria saja tidak muat. Tidak akan ada orang mengira, bahwa di dalam gua itu terdapat bangkai naga sakti sejak dahulu sekali.
Aria mengecup keningku, "Berhati-hatilah. Semoga kau tidak tertekan oleh mana agung di dalam sana."
Yah, itu bukan kecupan biasa. Ia membagikan sebagian kekuatannya kepadaku. Jika sudah mati, mana agung yang dimiliki oleh naga dapat terlepas dari tubuhnya dan menyebar. Apabila kau tidak memiliki kemampuan sihir dan terlalu banyak terpapar mana agung yang sangat kuat, tubuhmu bisa mengalami kekacauan.
Begitu masuk ke dalam gua, kau akan disambut dengan kilauan stalagtit yang sebiru langit malam. Cahaya alami muncul entah dari mana, menyinari isi gua seakan berada di pelukan angkasa. Memang tidak terlalu luas, karena ada bongkahan batu besar di tengah-tengahnya. Inikah bangkai naga itu? Seluruh tubuhnya dipenuhi kilauan permata.
Bagaimana cara mengambilnya, ya? Dicongkel dengan pedang bisa tidak, ya? Sebentar ...
Ah, bisa! Tapi tanganku tiba-tiba menjadi dingin dan membeku. Aduh, apakah mana agung Ammolit ini mulai memengaruhiku? Padahal aku ingin mengambil lebih banyak lagi. Sayang sekali. Keluar saja, deh. Aku tidak mau mati membeku di sini.
"Sudah?"
"Ya."
"Satu saja?"
"Tubuhku sudah tidak kuat, kita ambil lain kali saja."
"Mau mencari permata lainnya juga? Di hutan ini ada banyak permata dengan sifat yang berbeda, loh!"
"Itu nanti saja. Sekarang ayo kita kembali ke kerajaan dan menyerahkan Ammolit ini!"
***
Araina Luna, manusia biasa yang tinggal di bawah naungan purnama. Rambut keperakan dan jubah panjang menjadi ciri khasnya. Menguasai ilmu pedang tunggal dan bela diri, juga seorang penunggang naga agung bernama Aria. Hidupnya ia habiskan dengan mengembara. Kau ingin bertemu dengannya? Katupkan tanganmu dan memohonlah pada sang angkasa
KAMU SEDANG MEMBACA
IRIDESCENT
Short StorySiapkah kamu menjelajah dunia bersama SOUL? Berisi kumpulan cermin dari para pejuang generasi ketiga. Tidakah membuatmu penasaran dengan isinya? Mari, mampirlah sejenak. Mengikuti kisah yang ditulis oleh para pejuang! . . . SOUL 2023