🌷 Terselubung : Goviramber 🌷

11 0 0
                                    


Kertas lusuh yang sempat terangkat ke udara cukup lama, aku masukkan kembali ke saku celana. Menyusuri setiap inci jalanan sembari mengenakan kostum badut, membuat siang hari terasa panas yang bersarang berpuluh kali lipat dari biasanya. Napas panjang berembus, tak khayal aku letih. Letih dibodohi oleh diri sendiri.

Hari mulai gelap, aku duduk di emperan toko. Memantik api, lalu sebatang rokok terisap nikmat—rokok terakhir yang tak sengaja terselip di antara sekumpulan kertas di tas. Kepala kian berat, aku memijat kening, lalu pelipis secara bergantian. Oh, Tuhan, kapan setumpuk uang akan jatuh begitu saja dari langit? Pertanyaan bodoh itu senantiasa terucap di saat-saat seperti ini.

Tangan kiriku mengambil selebaran koran ternama yang terbawa angin. Kemudian, tak jauh dari keberadaanku, seseorang bersuara serak basah memanggil. Segala sumpah serapah keluar dari mulut pria tua itu. Aku mendengus kesal. Lagi-lagi uang menjadi raja dan kami budaknya. Ah, sial!

“Berapa dollar yang harus aku keluarkan untuk satu koran ini? Tiga dollar kalau kau tidak tahu!” seru pria bertopi koboi kepadaku.

“Saya tahu. Meski begitu saya tidak minat mencuri koran, Bapak!” tegasku tidak mau

kalah.

“Jaman sekarang anak muda hanya pandai beralasan!” serunya sekali lagi. Matanya

semakin berapi-api.

“Saya tidak peduli. Permisi, Pak,” kataku. “Dengan uang?”

Aku berhenti meneruskan langkah setelah pria itu memancing pertanyaan retoris. Serupa anjing kelaparan yang menginginkan tulang, aku persis binatang itu. Aku bisa menggila perkara uang.

“Habis minum?” Dia kembali melayangkan pertanyaan. Aku hanya menggeleng. “Saya butuh uang dua ratus dollar,” ucapku tanpa sesal.

“Hutang bertumpuk di mana-mana.” Aku tertawa, sementara dia pun sama hanyut dalam suasana.

Dia menyodorkan sebuah informasi alamat. Aku menerimanya tanpa segan sedikit pun. “Datang ke rumahku besok malam,” ucapnya bersemangat.

“Banyak uang? Apa syaratnya?” Aku bertanya dengan hati-hati. “Cukup ikuti perintahku,” sahutnya.

Dia tersenyum, lalu melangkah pergi bersama gerobak stempelnya.

**

Rumah pria bertopi koboi tak terlalu mewah, tetapi layak disebut orang berada. Aku duduk di sofanya setelah seorang perempuan paruh baya membukakan pintu. Kedua orang bertubuh kekar menuruni anak tangga. Sorot mata mereka setajam pisau. Hampir si badut ini dibuat merinding.

“Butuh uang?” Salah satu dari mereka bertanya. “Tentu!”

“Berapa?” Aku membuang muka sejenak sembari memikirkan jawaban yang tepat.

“Dua ratus lima puluh dollar,” seruku, “dua ratus untuk melunasi hutang dan lima puluh dollar bertahan hidup.”

“Baik, silakan diambil!” Mereka menyodorkan tumpukan uang secara percuma kepadaku. Netraku tak luput berbinar-binar. Uang seperti tak ada harga dirinya di mata mereka.

“Temui bos besok pagi di tempat kalian bertemu,” ucapnya seraya berlalu pergi.

Aku mengangguk setuju. Tak peduli di mana keberadaan si pria berkoboi. Apa yang mau dia lakukan kepadaku esok hari? Itu semua sungguh tak masuk ke dalam pikiran. Uang menjerat kewarasan.

***

Sore harinya, aku yang masih mengenakan baju seragam kerja menyempatkan diri untuk menemui tukang stempel. Terlihat dari kejauhan dia sedang melayani beberapa pembeli sehingga membuat diriku memilih menunggu di dekat lampu lalu lintas. Selang setengah jam, dia sadar akan keberadaanku.

“Mau rokok?” Sebatang rokok terlempar dan tertangkap olehku.

Dia segera mengemasi barang menjadi satu ke dalam sebuah wadah kotak dari plastik. Aku hanya membuntuti pria itu mendorong gerobak ke ujung lorong toko. Setelahnya, baru dia mengeluarkan ponsel dari saku—menelpon seorang laki-laki yang dari suaranya sepantaran denganku.

“Bagaimana menjadi badut?” Aku sudah cukup lihai dengan seluk-beluk pertanyaan tersebut.

“Pekerjaan sampah menurut orang-orang,” jawabku terus terang. Dia meringis iba mendengar jawabanku. Aku pun juga sama.

“Sudah datang, naiklah!” Lagi-lagi aku menurut seolah sedang berada di bawah pengaruhnya.

Tidak lama, mobil sedan yang aku tumpangi terparkir di pekarangan sebuah rumah yang jauh lebih besar dibanding rumah si pria. Di sekeliling bangunan ini ialah gubuk-gubuk reyot sampah pemerintah yang tak dihuni. Pemandangan yang sungguh tidak lazim sama sekali. Aku dituntun masuk oleh pria koboi. Bau tidak sedap langsung menyeruak yang entah dari mana asalnya.

“Kau mau uang banyak bukan? Tunggu di sini sebentar dan jangan ke mana-mana!” Begitulah titah si pria koboi.

“Baik, Pak,” sahutku seraya membuka topeng badut. Pria koboi tertegun cukup lama.

Netranya seperti orang yang terkejut selepas mengetahui wajahku.

“Ada apa, Pak?” Dia menggeleng kuat-kuat. Kemudian, bibirnya yang tak mengatup rapat seakan ingin menyampaikan sepatah kata, tetapi diurungkan. Dia memilih bergegas pergi selepas seseorang memanggilnya.

Aku ini seorang badut yang memiliki rasa penasaran tinggi. Aku memasuki sebuah ruangan yang tidak terkunci serupa ruang penyimpanan. Di tengah-tengah terdapat satu ranjang kecil—di sampingnya terdapat meja kecil berisi benda-benda tajam. Lemari-lemari tinggi berjejer dari sudut ke sudut.

Derap langkah beberapa orang menggema, aku waswas dan tak punya pilihan selain bersembunyi. Aku berdiam diri di samping kantong kresek besar yang baunya begitu amis dan anyir. Namun, kutahan sekuat mungkin sembari menutup indra penciuman rapat-rapat.

“Jadi, bagaimana kelanjutannya, Pak?” Sebuah pertanyaan berhasil membuatku semakin penasaran.

“Sial, saya tak bisa menjadikannya mangsa baru,” ucap pria berkoboi. “Kenapa? Dia hanya laki-laki bodoh penggila harta,” timpal seseorang.

“Saya tahu, tapi dia ... dia Irsal anak saya sendiri.” Aku membelalakkan mata tidak percaya.

“Dia baru saja hidup bahagia bersama anak dan istrinya. Mana mungkin saya setega itu? Setelah perceraian saya dengan ibunya, hidupnya begitu menderita. Bertahun-tahun saya mencari untuk bertemu langsung dan ingin meluruskan segala dalih yang telah dibuat mantan istri saya dulu kepadanya. Saya tentu tak bisa sekeji itu kepada darah daging saya sendiri.”

“Bapak tahu konsekuensinya?” “Ya.”

Setelah itu, tak ada perbincangan apa pun. Suara-suara aktivitas juga tidak terdengar. Aku bertambah resah. Ke mana Ayah dan yang lainnya? Segera aku keluar dari tempat persembunyian dan tanpa sengaja menjatuhkan kantong kresek yang berada di samping.

Beberapa organ manusia berserakan di lantai. Aku bergidik ngeri. Aku bergegas menyusuri setiap ruangan dan akhirnya sampai pada ruangan yang dicari. Aku menemukan Ayah, tetapi sayangnya dia telah tereksekusi menggantikan diriku.

“Mengapa anaknya tidak sekalian? Benar-benar bodoh. Cari dia!”

Bionarasi

Goviramber Stra ialah seorang manusia yang menyukai dunia sastra. Hidup penuh ambisi, amunisi, dan imajinasi ialah hidup yang sesungguhnya bagi dia.

IRIDESCENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang