Prodigia, comploratusSilens, oro
Regnet exiti–
“Hmm, jadi kamu sudah lancar merapalnya, ya ... ah, maaf, aku mengganggu.”
Suara lembut seorang gadis yang mendekat membuat kata-kataku terjeda. Rambut peraknya yang lurus, dikepangnya menyamping dan dibiarkan menjuntai di depan bahunya. Dia sudah mengenakan gaun tidur putih dengan renda bercorak bulu merak, dipadukan dengan pita biru di atasnya. Dari sorot mata hazel blue miliknya, aku rasa dia menahan kantuknya.
“Tidak, tenang saja. Aku juga barusan berencana menyudahinya hari ini,” kataku sembari melipat ujung halaman yang sedang kubaca, lalu menutupnya. “Kau sendiri kenapa masih ke perpustakaan? Apa kau mau membaca juga? Tapi sudah terlalu larut untuk mulai membaca sekarang.”
“Ha ha ha. Kamu meledek, ya. Kamu tahu sendiri aku lebih suka memasak daripada harus membaca buku setebal itu.” Dia menepuk-nepuk pundakku sambil tersenyum kecut.
“Tuan Putri yang satu ini memang agak lain.”
Rhene, aku sendirilah yang memberi namanya saat dia lahir. Dia putri ketiga sekaligus yang termuda dari Yang Mulia Raja Nostradamus dan Ratu Candriane. Tak ada hal khusus dalam benakku kala itu. Aku hanya melihat sebuah bintang yang sangat terang saat kelahirannya, dan seketika memberikan nama itu. Namun, Raja dan Ratu menerimanya begitu saja ketika aku mengusulkannya. Padahal, waktu itu aku masih berusia enam tahun.
Meskipun Rhene putri seorang Raja, sifatnya sangat mandiri. Di saat Putri lain lebih senang bersantai dan mengandalkan pelayan, Rhene malah sering menghabiskan waktunya di dapur istana. Terkadang, dia membawakanku kukis buatannya. Walaupun kadang kala warnanya sedikit hitam dan agak pahit, aku selalu menghabiskannya. Mungkin itu alasan mengapa dia lebih suka memberikan hasil masakannya kepadaku dibandingkan orang lain.
“Aku membawakanmu sesuatu. Ini,” katanya padaku dengan kepala tertunduk, “aku membuatkanmu pembatas buku bermotif bunga lonceng. Aku kira itu cocok untukmu dan kamu akan menyukainya.”
Aku menerima pemberiannya dan memperhatikan pembatas buku bermotif itu. Tidak bisa dikatakan kalau aku menyukainya karena aku sendiri tidak tahu bagaimana perasaan suka itu. Sebagai Panglima, baik membaca, belajar, latihan, dan semua yang kulakukan, hanya didasarkan pada fungsi praktis yang sekiranya bermanfaat untuk diriku dan juga Kerajaan.
Tapi, apa arti dari motif bunga lonceng ini?Aku memikirkan hal itu sebentar. Yah, aku bisa mencarinya nanti di buku yang membahas floriografi. Selama ini cukup berguna untukku, aku akan menggunakannya.
“Oh, iya, terima kasih,” jawabku. Aku memasukkan pembatas buku itu ke halaman 664, tempat terakhir kali aku membaca mantra tadi.
“Cih,”-Rhene menyilangkan tangannya di depan dadanya-“tidak bisakah kamu memberi sedikit ekpresi di wajahmu itu?” Kemudian dia menarik kedua pipiku untuk membentuk senyuman.
“Bukan tidak bisa. Aku tidak tahu caranya. Bisa kau tunjukkan padaku?”
“Aku itu selalu tersenyum, tahu!”
Dia melepaskan tangannya dan mulai memberikan contoh. Kedua sudut bibirnya mulai terangkat, menunjukkan barisan giginya yang bersih dan rapi. Tapi lebih dari itu, matanya juga ikut tersenyum.
“Semua statistik di dunia tidak dapat mengukur kehangatan senyuman,” ucapku begitu saja.
“Ap-” Rhene memalingkan mukanya, kata-katanya seperti tertahan. Pipinya sedikit memerah.
Apa dia demam atau sejenisnya karena terjaga sampai selarut ini?
“Tadi pagi, Tuan Putri Clarene mengatakan itu padaku. Sama sepertimu, dia menyuruhku untuk belajar senyum ke orang lain.”
“Huft!” Senyuman Rhene memudar. Dia mengalihkan pandangannya ke buku di depanku. “Jadi ini buku Grand Grimoire itu?” Rhene mengambil buku itu dan membolak-balik halamannya.
Aku memandangnya seolah bertanya apakah dia bisa membaca buku itu, sama sepertiku? Karena Grand Grimoire hanyalah penyederhanaan dari judul aslinya, yaitu ᚷᚱᚨᚾᛞ × ᚷᚱᛁᛗᛟᛁᚱᛖ.
Tampaknya dia menyadari maksud tatapanku. “Kan, ayahku yang menyuruhmu untuk membaca isi buku ini karena cuma kamu yang bisa melakukannya. Lagian, baru kali ini ramalan Ayah membuat seluruh kerajaan sibuk seperti ini.”
Benar sekali. Raja Nostradamus dikenal dengan penglihatannya yang selalu akurat. Tempo hari, dia mengatakan kalau akan ada peristiwa besar. Sebuah kerajaan hancur dan sebuah kerajaan akan berjaya. Dia juga mengungkapkan, permata yang ada di dahiku ini akan membawaku ke suatu titik di selatan Pegunungan Epiphany, yang menghubungkan tiga kerajaan.
Sejak lahir, batu ini sudah melekat di dahiku. Raja menamai batu ini dengan sebutan batu ematille karena memberiku kemampuan mempelajari segala sesuatu dengan singkat.
“Apa kau mau belajar membacanya?” tanyaku. Aku menarik sebuah kursi sebagai isyarat mempersilakan dia duduk.
“Tidak, tidak. Aku sudah mengantuk dari tadi. Melihat aksara seperti itu membuat mataku semakin berat. Kamu juga segeralah beristirahat. Sudah 3 hari ini kamu sibuk dengan buku itu. Kalau begitu,”-ia menaruh buku di meja-“aku tidur dulu. Selamat malam,” katanya. Rhene meletakkan telunjuknya di kedua ujung mulutnya, membentuk lengkungan di sana.
Aku hanya menggangguk sebagai jawaban. Kemudian dia berbalik, berjalan ke arah pintu, dan menghilang dari pandanganku.
Haruskah aku membaca buku floriografi sekarang? Aku tidak mengerti kenapa dia memberiku simbol bunga lonceng itu. Aku tidak bisa merasakannya sama sekali. Aku merenungkan hal ini sejenak, tetapi setelah kupertimbangkan, itu bukanlah hal penting saat ini.
Kuputuskan untuk lanjut membaca mantra yang tersisa dua halaman. Lalu, sampailah aku pada bait terakhir.
Quis donat sanguinem roseum
Quis vobis e malis adiuvat
Quis sortis vincula dissolvit
O tenebrae
Sesaat sesudah kalimat terakhir kulafalkan, muncul sebuah lambang yang mengambang di udara. Tanda itu seperti spiral, tetapi ada sebuah bacaan di dalamnya. Dari tengah spiral itu, sekarang berdiri tepat di hadapanku satu sosok dengan sayap hitam legam dan sangat lebar. Rambutnya terurai sampai bahu, tangan kanannya memegang sebuah tongkat. Aku tidak bisa melihat dengan jelas bagaimana rupanya.
“Tak perlu kau takut, wahai, Anak Muda! Aku Araqiel, salah satu dari pemimpin 200 Grigori. Buku yang kau baca itu merupakan mantra untuk memanggilku. Aku turun dari langit untuk membuat suatu negri yang perkasa. Akulah yang memberi kemampuan clairvoyance kepada Nostradamus; aku jugalah yang membuatmu tidak bisa merasakan emosi. Kau adalah wadah yang telah aku siapkan sejak awal. Kerajaan ini, akan kujadikan korban bakaran; kau akan merasakan semua kesesakan mereka. Mulai sekarang, dalam perjalananmu, batu di dahimu akan menyerap segala energi negatif dari sekitarmu sehingga mereka merasakan damai. Besok pagi, kau tidak akan melihat apa pun lagi di sini.
“Tanda ini kuberikan kepadamu. Tanda yang akan menuntunmu ke tempat yang kumaksud; di sanalah kau akan menemukan seseorang yang bisa mengisi kekosongan dalam dirimu.”
Sosok itu menempelkan tangannya di dadaku, lalu menghilang ke pusat spiral itu. Dadaku mendadak panas. Gelombang menyesakkan mengalir melalui semua pembuluh darahku; detak jantungku berdebar kencang. Kata-kataku tercekat, mencengkeram tenggorokanku. Perlahan, pandanganku berubah menjadi gelap pekat.
Bionarasi
Yoppi, seorang pejuang yang berasal dari SOUL Kingdom. Dia selalu mengenakan topeng yang menutupi kepalanya ke mana saja dia pergi. Tidak ada yang tahu ada apa di balik topengnya itu, bisa saja topeng lainnya. Ada rumor yang bilang, dia tidak tertarik pada apa pun, kecuali makhluk berbulu bernama kucing🐈.
KAMU SEDANG MEMBACA
IRIDESCENT
Short StorySiapkah kamu menjelajah dunia bersama SOUL? Berisi kumpulan cermin dari para pejuang generasi ketiga. Tidakah membuatmu penasaran dengan isinya? Mari, mampirlah sejenak. Mengikuti kisah yang ditulis oleh para pejuang! . . . SOUL 2023