🌷 Tangisan di Perbatasan Desa : Ratih Ayu 🌷

22 4 23
                                    

Darah berceceran di setiap sudut dinding kusam itu. Lolongan serigala menambah cekam. Malam itu, adalah malam kematian bagi siapa saja yang menjadi incaran.

“Dengan begini aku mampu memikat lelaki mana pun,” ucapnya sembari tertawa ngeri. Lantas, ia membuka tudung hitamnya. Ditendangnya badan seorang remaja lelaki dengan kasar, yang sudah tergeletak tak bernyawa.

Batok kelapa yang berisi darah diletakkannya di bawah sebuah pohon. Entah mantra apa yang dibacakannya, muncul asap tebal berwarna hitam dari pohon itu. Seketika muncul seorang perempuan sangat cantik. Berkebaya merah dan bersanggul, tetapi berkaki kerbau di hadapannya.

“Terima kasih telah melaksanakan tugasmu. Ingat, jika di bulan purnama berikutnya kau tidak bisa memberiku darah maka lihat sendiri akibatnya.”

Rumi, perempuan muda yang kini hidup menjanda. Empat tahun silam, suaminya sedang mengajari anak-anak desa mengaji di halaman rumah selepas magrib. Sedangkan, ia memetik cabai untuk dijadikan sambal.

Tiba-tiba, sekumpulan warga membawa obor dan mendatangi rumahnya. Anak-anak yang sedang asyik menunggu giliran mengaji pun kaget bukan kepalang.

“Rum, di mana suamimu? Kami ingin menemuinya sekarang juga,” kata salah satu warga dengan suara dingin.

“Ada apa dengan suamiku? Mengapa kalian datang secara tiba-tiba seperti ini?”

Anton, suami dari Rumi yang merasa terpanggil pun bangkit dan berjalan mendekati istrinya yang tengah kaget menghadapi kerumunan warga.

Dengan tenang ia mulai bertanya, “Ada apakah ini? Apa saya ada salah kepada kalian? Mari, kita selesaikan dengan berkepala dingin. Jangan main hakim sendiri tanpa bukti.”

“Hei, Anton! Tak perlu kau berlagak suci! Kami telah mengetahui perbuatanmu kemarin malam. Kau telah memperkosa anak perempuan Pak Lurah, dan kau juga yang membunuh tunangannya. Tak hanya itu, kau akan bermain dukun untuk menyerang Pak Lurah. Keji sekali kau, padahal orang-orang sering menjadikanmu panutan!” ucap warga yang tadi menanyai Rumi.

Anton dan Rumi pun saling bertatapan dengan terheran-heran. Siapakah dalang di balik semua ini? Teganya memfitnah orang yang sama sekali tak terlibat soal kejadian tragis kemarin malam di desa itu. Akan tetapi, pelakunya tidak tertangkap dan menggunakan topeng.

Pak Lurah saat itu yang baru saja pulang dari dinas di luar kota, sempat menyaksikan calon menantunya ditusuk belati pada bagian perut oleh tiga lelaki bertopeng hitam di depan pintu. Sedangkan, anak perempuan satu-satunya itu tengah menangis di sudut ruangan dengan baju compang-camping.

Pak Lurah pun marah bukan kepalang mengetahui rumahnya sangat kacau, namun semua terlambat. Pak Lurah yang ingin memanggil warga malah terkena pukulan di bagian kepala, hingga jatuh pingsan. Mereka lari dalam gelapnya larut malam.

Menjelang subuh, anak perempuan Pak Lurah memberanikan diri keluar mencari pertolongan warga. Bertemulah dengan bapak-bapak yang hendak menuju surau. Mereka pun kaget bukan main, anak perempuan dari orang yang disegani dalam kondisi tak karuan. Mereka pun bersama-sama menuju rumah Pak Lurah.

Pak Lurah telah bangun dari pingsannya, langsung memeluk anaknya dengan terisak-isak. Merasa gagal untuk melindunginya dan calon menantunya. Naas, anak perempuannya menjadi korban pemerkosaan oleh tiga pria bertopeng hitam. Desa menjadi ramai, karena para polisi berdatangan untuk mengecek lokasi dan meminta keterangan. Ada pula banyak wartawan yang datang untuk memuat berita di surat kabar.

Sialnya, entah atas siapa, Anton suami dari Rumi yang tiap harinya bekerja menjadi buruh di pabrik roti dan mengajari anak-anak mengaji dituduh menjadi salah satu dari tiga lelaki bertopeng hitam.

Masih dengan tenang Anton menjawab, “Apa bukti kalau saya melakukan ini? Saya tidak tahu apa-apa soal kejadian itu. Bukankah kalian tahu, hari-hari saya dihabiskan di pabrik roti dan bersama anak-anak itu.”

“Hah! Kami tak percaya padamu lagi. Wajahmu saja alim, tapi kau berkhianat! Kasihan sekali kau Rumi, perempuan secantik dirimu mendapati suami yang perlakuannya melebihi setan. Sekarang bersiaplah untuk mati, Anton!”

Satu per satu warga mulai menyirami rumah sepasang suami istri itu dengan minyak tanah. Anak-anak tadi pun lari tunggang langgang ketakutan mengetahui guru mereka akan menjadi korban keganasan warga.

Anton pun diseret beramai-ramai dan diikat pada tiang yang ada di halaman rumah. Sampai akhirnya, rumah dipenuhi kobaran api. Rumi menjerit-jerit pilu, namun tak bisa berbuat apa- apa. Tubuhnya lemas dan dihalangi warga untuk mendekati suami tercintanya.

“Selamat tinggal, Anton. Orang sepertimu tak pantas untuk hidup!” ujar salah satu warga yang terlibat dalam pembakaran rumah dengan berapi-api.

Rumi tak sanggup lagi menyaksikan suaminya ikut terbakar bersama rumah sederhananya. Ia melarikan diri ke hutan dan menemukan sebuah pohon besar. Di sanalah ia berkata, “Aku akan membalas perlakuan kalian suatu saat. Darah harus dibalas darah. Suamiku, semoga kau tenang di sisi-Nya.”

Tiba-tiba, ada suara seorang perempuan dari pohon itu. “Kemarilah anakku, aku siap membantumu dalam membalas dendam. Panggil aku Nyai, penguasa di hutan ini.”

“Nyai, bantulah aku. Aku sudah tak kuat menghadapi semua ini,” ucapnya sembari berjalan dengan tertatih-tatih mendekati pohon.

Muncul asap tebal berwarna hitam yang menjelma perempuan sangat cantik, berkebaya merah, menggunakan sanggul, dan berkaki kerbau. “Ambil ini anakku, susuk pemikat. Akan membantumu dalam menaklukkan pria mana pun yang kau inginkan. Juga, ada permata beracun. Jika orang menggenggamnya tanpa alas, maka akan tewas seketika. Ingat, jika ingin semuanya dapat terlaksana pada malam bulan purnama kau harus menumbalkan darah seorang remaja laki-laki tampan. Kalau tak sanggup melakukannya, kau akan tanggung risikonya seumur hidup.”

Berbinar-binar Rumi menerima semua itu. “Terima kasih, Nyai. Saya siap melaksanakannya. Akan saya taruh darah itu tepat di pohonmu, Nyai.”

Semenjak itu, Rumi tinggal di rumah kosong dekat perbatasan desa yang di mana tak jauh dari keberadaan pohon itu. Ia banyak menggoda banyak lelaki, demi mendapatkan gelimang harta. Sementara ia telah mengetahui, dalang di balik kematian suaminya adalah dari Tarjo. Lelaki yang sejak kecil menyukai Rumi, tapi tak bisa bersanding dengannya.

Ia menyuruh tiga pria bertopeng hitam untuk melakukan semua itu di rumah Pak Lurah. Tak sampai di situ, ia pula yang menyebarkan foto di mana salah satu dari tiga pria bertopeng hitam tersebut mirip seperti Anton. Warga pun percaya begitu saja.

Kini, Tarjo sudah mati karena saat ia tergoda oleh Rumi, ia menyentuh permata itu. Hal serupa juga telah dialami oleh suruhan Tarjo. Tinggalah Rumi sendiri, entah sampai kapan akan melampiaskan rasa sakitnya. Rumah yang dihuninya menjadi angker, tiap malam kerap kali terdengar suara tangisan para anak lelaki. Warga tak mengetahui, bahwa banyak anak lelaki mereka menghilang dan tak akan kembali lagi, sebab telah menjadi tumbal oleh Rumi.

Bionarasi Penulis

Ratih Ayu Puspitasari, atau yang lebih dikenal Ratih Ayu. Mengawali kariernya sebagai penulis ketika di bangku kelas 2 SD. Kini, ia sedang aktif menjadi penulis lepas, seniman, motivator, dan pemateri/narasumber acara seminar dari berbagai komunitas. Ia juga merupakan seorang polyglot dengan 16 bahasa. Kunjungi Instagram @ratih_ayu45 untuk berkenalan.

IRIDESCENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang