Perseteruan Sengit

213 27 2
                                    

Mungkin saja karena ia terlihat begitu memukau pagi ini, sehingga beberapa pasang mata sedang mencuri pandang ke arahnya. Najiya tetap berusaha memasang mode positive thinking. 

Blouse kombinasi ruffle pada bagian kerah dan ujung lengan membuat Najiya terlihat formal namun tetap menawan. Kulitnya seperti menyatu dengan warna blouse bermotif polos itu, putih tulang. Rambut sebahu bergaya layer ia biarkan tergerai diterpa angin. 

Rok span warna hitam dengan sedikit belahan di bagian belakang membuat kaki jenjangnya melangkah dengan anggun. Sepatu putih buccheri dan tas Charles and Keith turut menemani hari pertamanya sebagai dokter bedah di RS Mitra Albana.

Bisa dibayangkan betapa sempurnanya ia jika jas almamater warna putih, snelli dilengkapi stetoskop melingkar di leher. 

Najiya memejamkan mata sejenak setelah menatap tulisan besar yang bertengger pongah di atap gedung rumah sakit. 

 Albana….

Ah, nama itu lagi. Bagaimana bisa baru ia sadari jika ternyata rumah sakit elit tempat ia bekerja adalah milik Albana Group. Mungkin karena hutang yang membelit orang tuanya menjadikannya tak bisa fokus dan sempat stres. Belum lagi masalah kemarin saat berada di kediaman konglomerat Tuan Zabir di kawasan Banyu Ijo, Beverly Hillsnya Semarang. Ia berpikir mungkin namanya saja yang sama. Lagipula nama lengkap rumah sakit itu adalah Mitra Albana bukan Albana. 

Ditambah lagi masalah tak terduga dengan dr. Samuel di restoran Italia sewaktu ia dalam perjalanan pulang. Membuat konflik hidupnya semakin komplek. Lelaki yang di matanya tampak sempurna ternyata rubah berwujud dokter. 

"Bagaimana ini? Ya Allah, apa sebaiknya aku batalkan saja niat bekerja disini? Kalah sebelum berperang? Bagaimana bisa aku menghindari Samuel jika bekerja di atap yang sama?" gumamnya resah bercampur ragu. Entah itu Faris atau Samuel. Keduanya sama-sama menyebalkan. 

"Najiya, kamu bisa melamar di rumah sakit lain. Atau membuka praktek di rumah." Sebuah bisikan menebas keraguannya.

 Tapi jika mengingat perjuangan dan persaingan ketat untuk mendapat posisi di rumah sakit ini membuatnya berpikir ulang. Ia harus segera bisa mencicil hutang-hutang itu. Apalagi kemarin ia sempat terlibat dalam perdebatan sengit dengan Faris. Najiya terpojokkan. 

"Maaf, Tante saya pinjam putra anda sebentar." Nekat Najiya menggamit tangan Faris dan menyeret lelaki itu keluar dari kamar. Faris yang masih syok karena mulutnya baru saja dibekap oleh Najiya menurut saja seperti keledai. 

Jangan tanyakan lagi bagaimana ekspresi Nyonya Kamelia. Kedua bola matanya berpijar-pijar dan bibirnya merekah seperti mawar melihat adegan saling menggenggam antara Najiya dan Faris. Sedangkan Tuan Zabir datar saja. Meski sebenarnya ingin menjitak kepala cucunya yang sudah kurang ajar dan gagal melucu. 

"Seret bocah tengik itu kesini setelah selesai rapat dengan calon menantumu." Tensi Tuan Zabir meningkat. Nyonya Kamelia mengangguk maklum. Ia menenangkan ayah mertuanya dengan mengelus punggung tangan keriput itu. Senyum masih berkibar di wajahnya yang tetap cantik meski mulai dihiasi keriput halus. Tingkah Faris dan Najiya mengingatkan pada masa mudanya. 

"Puas sudah membuatku seperti orang idiot?" Salak Najiya begitu mereka sampai di pekarangan samping. Kamar Tuan Zabir memang terletak di lantai bawah dekat taman dan kolam renang agar mudah diakses siapa saja.

Najiya sempat memperhatikan betapa estetiknya kolam renang di samping teras di mana ia dan Faris berdiri. Senada dengan kesan mewah rumah, kolam renang berdinding kaca ini bergaya lap pool memanjang. 

Untuk meredakan emosi mungkin berenang adalah ide yang bagus. Lalu bersantai di salah satu gazebo di pojok kolam menikmati segelas fruit juice. Apalagi kolam renang ini dikelilingi tanaman tropis yang membuat suasana terasa sejuk. Vibesnya mirip danau di tengah hutan. Tapi tidak mungkin ia meminta Faris untuk mengajaknya berenang. Lagipula ia hanya bisa gaya batu. 

DIPAKSA MENIKAHI CEO TUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang