Sundel

162 21 2
                                    


Najiya langsung tahu mobil Aphard yang terparkir di depan gerbang RS Mitra Albana adalah milik Nyonya Kamelia. Sejak seorang lelaki berbalut suit and tie lengkap dengan kacamata hitam yang berdiri di depan mobil mengangguk hormat padanya. Dia pasti driver Albana. Lelaki dengan single bluetooth earphone yang menempel di telinga kanan itu lebih terlihat seperti bodyguard daripada seorang driver. Atau mungkin dia kombinasi dari keduanya. Najiya membalas anggukan dan segera masuk ke dalam mobil setelah lelaki itu membukakan pintu untuknya.

“Hai, Non Jiya.”

Najiya terkesiap melihat sosok tambun duduk di kursi belakang, menyapa dengan seringai khasnya. Bik Misih. Agaknya pengelola sekaligus chef panti Albana itu bahagia bukan kepalang bisa bertemu kembali dengan tamu bergaun pengantinnya.

“Bik Misih.” Najiya menyalami dan mengecup punggung tangan dua perempuan itu bergantian. Beda dengan Nyonya Kamelia, Bik Misih tampak sungkan saat Najiya hendak mencium tangannya, jadi dia menarik tangannya kembali. 

“Ndak, Non … ndak usah,” tolaknya sopan.

“Maaf menganggu waktumu, Jiya,” sapa Nyonya Kamelia membuka obrolan. Nyonya besar itu menepuk kursi di sebelahnya, sebagai isyarah agar Najiya duduk di sana.

“Tidak apa-apa, Tante. Eh, Mami. Saya memang berencana keluar sebentar tadi,” ucap Najiya sopan.

“Oh ya?” kedua bola mata Nyonya Kamelia berbinar.

“Oh ya, Non Jiya gaun pengantinnya masih di panti. Tadi mau tak bawa sekalian malah lupa.” Bik Misih tiba-tiba menyahut, tapi nada suaranya seperti sengaja mencari gara-gara.

Najiya meringis salah tingkah. Setelah ini Nyonya Kamelia pasti akan menyerbunya dengan berbagai pertanyaan.

“Gaun pengantin?” Nah kan?

Percuma Najiya melayangkan tatapan penuh peringatan pada Bik Misih yang tak bisa menyesuaikan topik dengan sikon. Paling tidak ada breafing dulu jika ingin membicarakan gaun itu sekarang. Bukan langsung main tembak seperti ini.

“Nggeh, Nyonya. Waktu itu Non Najiya datang ke panti bersama Den Faris pakai baju pengantin.”

Ya Tuhan … Bik Misih.

“Saya kira mereka diam-diam sudah akad. Sepertinya mereka habis hujan-hujanan bareng.”

Najiya tertawa cemas. Ingin sekali menimpuk Bik Misih saat itu juga. Tapi ia semakin tak bisa berkutik ketika melihat binar tak percaya di wajah Nyonya Kamelia. Wanita itu tampak sangat bahagia mendengar cerita Bik Misih. Membuat Najiya semakin merasa tersudutkan.

“Benarkah? Kenapa Bik Misih baru cerita?”

“Bik Misih... duh.” Wajah Najiya memerah. Tak ada cara lain selain menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Ia hanya bisa berdoa semoga Mr. Bunglon tidak cerita perihal insiden di rel kereta pada Maminya. Kejadian di kamar Tuan Zabir saja masih sering membuatnya malu saat mengingatnya.

“Saya lupa, Nyonya. Ini ketemu Non Jiya kok otomatis ingat,” jawab Bik Misih masih cengengesan.

Nyonya Kamelia tertawa geli. “Saya kira mereka sama-sama tidak mau dijodohkan. Ternyata diam-diam ....”

𝑌𝑎 𝑒𝑚𝑎𝑛𝑔 𝑛𝑔𝑔𝑎𝑘 𝑚𝑎𝑢. 𝑆𝑎𝑚𝑝𝑎𝑖 𝑠𝑒𝑘𝑎𝑟𝑎𝑛𝑔 𝑝𝑢𝑛 𝑎𝑘𝑢 𝑛𝑔𝑔𝑎𝑘 𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑠𝑢𝑑𝑖 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑘𝑎ℎ 𝑠𝑎𝑚𝑎 𝐵𝑢𝑛𝑔𝑙𝑜𝑛 𝑖𝑡𝑢.

Najiya tentu tak bisa menyuarakan isi hatinya. Yang ia bisa hanya menanggapi gurauan itu dengan sebuah ringisan. Najiya mati kutu.

“Saya kira juga begitu, Nyonya. Sepertinya Den Faris sudah mulai mau membuka hati untuk perempuan. Ekspresinya beda kalau sama Non Najiya,” imbuh Bik Misih.

DIPAKSA MENIKAHI CEO TUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang