Vote sebelum baca 🌟
Gadis berambut merah muda itu buru-buru melepaskan pelukan Dylan dari tubuhnya kala mendengar tangisan Sylvia. Ia berjongkok di depan Sylvia dan membantu Sylvia berdiri. "Jangan menangis, Vi. Aku akan segera mengobati lukamu." Hiburnya seraya membersihkan tanah di wajah cantik Sylvia.
Iris mengalihkan pandangannya ke Dylan. "Kenapa Yang Mulia tidak menolong Sylvia juga? Lihat ini. Wajah cantik Sylvia menjadi kotor dan terluka." Protesnya.
Dylan mengendikkan bahu acuh. "Memangnya dia siapa sampai aku harus menolongnya?"
Dylan tersenyum polos melihat Iris mendelik kesal. "Bagiku, menolongmu jauh lebih penting daripada menolongnya. Aku tidak ingin kau terluka sedikit pun."
Iris berdecak pelan sedangkan Sylvia membenamkan wajahnya di bahu Iris. "Ayo pulang, Iris. Aku malu." Rengeknya bak anak kecil.
Iris menghela nafas panjang dan menuruti perkataan Sylvia, tapi tangannya ditahan oleh Dylan. Tepat sebelum memasuki kereta kuda.
Gadis cantik itu berbalik dan menatap Dylan heran. "Kenapa, Yang Mulia?"
"Biarkan saja dia pulang sendirian. Aku ingin bersamamu lebih lama lagi."
Ucapan Dylan mampu membuat Iris tercengang. Bukankah Dylan terlalu terang-terangan?!
Iris berdehem pelan. Berusaha menguasai keterkejutannya. "Aku tidak mungkin membiarkan Sylvia pulang sendirian dalam keadaan terluka. Yang Mulia ingin aku diusir dari Kediaman Enfield?"
Dylan tersenyum lebar. "Bukankah itu lebih baik? Kau bisa menjadi istriku sebagai gantinya. Kau tidak perlu bekerja sebagai dayang karena aku akan memenuhi semua kebutuhanmu. Kau cukup berada di sisiku, menemaniku dan menyayangiku."
Iris tertawa resah mendengar ucapan blak-blakan Dylan.
Dimanakah sosok dingin dan kejam Dylan sekarang?
Apakah pria itu sedang mempermainkannya?
"Maaf, Yang Mulia. Sekarang aku harus segera pulang untuk mengobati luka Sylvia." Alibinya lantaran tak tahu harus menjawab seperti apa mengingat Sylvia berada di dekatnya dan mendengar semua pembicaraan mereka.
"Baiklah. Kali ini aku membiarkanmu pergi. Untuk ke depannya, kau tidak boleh kabur dariku. Mengerti, Iris?!" Nada bicara Dylan terdengar geram saat mengucapkan hal itu, seolah tak rela berpisah dari Iris.
"Ya, Yang Mulia." Iris mengiyakan saja supaya cepat selesai. Gadis itu masuk ke dalam kereta kuda dan duduk di hadapan Sylvia. Hendak mencari posisi ternyaman saat kereta kuda mulai berjalan, tetapi dia malah dibuat terkejut oleh tatapan penasaran Sylvia.
"Apa hubungan kalian sebenarnya?"
"Apakah Yang Mulia juga menyukaimu, Iris?"
"Kenapa kau tidak menerima lamarannya di saat kau sangat mencintainya?"
Iris sontak menutup mulut Sylvia. "Sttt. Jangan berteriak. Yang Mulia masih diluar," ucapnya panik.
Iris semakin panik melihat Sylvia menjerit kesakitan karena tangannya tidak sengaja menyentuh luka di wajah Sylvia. "Maaf, maaf." Pintanya berulang kali seraya mengipasi wajah cantik Sylvia.
"Iris jahat." Rajuk Sylvia.
"Maafkan aku, Vi. Aku terlampau takut Yang Mulia mendengar ucapanmu." Sahutnya membela diri.
"Kau aneh, Iris. Jika kau memang mencintainya, sudah seharusnya kau mengambil kesempatan yang datang kepadamu. Kau ingin dia direbut oleh orang lain, 'kan?" Omel Sylvia.
"Siapapun boleh merebutnya, asalkan orangnya bukan kau, Vi. Aku pasti akan sangat sedih melihat sahabatku menikah dengan pria yang sangat kucintai."
Sylvia menelan saliva kasar mendengar ucapan Iris yang sedikit menusuk ulu hatinya. "Aku tidak mungkin merebutnya darimu, Iris. Aku tidak menyukainya." Bantahnya.
Iris tersenyum cerah. "Aku tahu."
"Tenang saja. Aku pasti akan membantumu. Aku akan melakukan apapun asalkan kalian bisa bersama," ujar Sylvia penuh tekad. Semakin mantap melupakan perasaannya terhadap Dylan karena tidak ingin menyakiti perasaan sahabat tercintanya. Apalagi dia juga mengetahui bahwa keduanya saling mencintai.
26 Agustus 2023
KAMU SEDANG MEMBACA
The Tyrant's Wife
FantasySkripsi. Alasan Levia meninggal dunia. Alasan menyedihkan sekaligus paling konyol disepanjang sejarah. Lebih menyedihkannya lagi, jiwa Levia masuk ke dalam novel sebagai Iris. Tokoh utama wanita tersembunyi di dalam novel. Wanita yang sebenarnya sa...