Chapter 6

57.7K 5.6K 265
                                    

Vote sebelum baca 🌟

Selama menghabiskan waktu bersama Dylan seharian ini, Iris menjadi mengetahui satu hal, yaitu tentang situasi dan kondisi Dylan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Selama menghabiskan waktu bersama Dylan seharian ini, Iris menjadi mengetahui satu hal, yaitu tentang situasi dan kondisi Dylan.

Dylan cendrung dijauhi semua orang. Dylan diperlakukan dingin oleh para bangsawan. Dylan juga sering mendapatkan tatapan merendahkan dan hinaan.

Wajar saja jika Dylan terobsesi mendapatkan tahta kaisar. Dylan pasti ingin balas dendam kepada semua orang yang meremehkannya.

Bukan berarti Iris membenarkan tindakan Dylan!

Iris juga tidak berniat menjadi pahlawan kesiangan seperti karakter utama yang sering muncul di dalam novel.

Gadis cantik itu lebih nyaman berada di zona aman daripada mempertaruhkan semua hal demi membuat Dylan bahagia agar melupakan rencana balas dendam.

Ia tidak yakin Dylan bisa dibujuk semudah itu. Makanya dia lebih menghindar daripada mempertaruhkan semuanya.

Pernyataan suka Dylan saja sudah cukup mencurigakan baginya. Dylan menyatakan perasaan terlalu awal. Padahal seharusnya Dylan menyatakan perasaan setelah berhasil mendapatkan posisi kaisar.

"Sebenarnya apa yang kau pikirkan di otak kecilmu, Iris? Kenapa kau selalu terlihat berpikir keras saat bersamaku?" Celetuk Dylan seraya mengusap kening Iris. Membuyarkan lamunan panjang gadis di hadapannya.

"Aku tidak memikirkan apapun, Yang Mulia."

Dylan menyipitkan mata curiga. "Bohong. Kau pasti sedang memikirkan sesuatu. Raut wajahmu tidak bisa membohongiku, Iris."

"Ughh, baiklah. Aku memang memikirkan sesuatu, Yang Mulia." Renggut Iris pasrah.

"Memikirkan apa?"

"Aku berpikir kenapa para bangsawan sangat membenci kehadiran Yang Mulia. Aku berpikir kenapa mereka menatap hina dan remeh Yang Mulia. Padahal Yang Mulia tidak bersalah sama sekali. Bukan salah Yang Mulia terlahir sebagai anak di luar nikah, tapi salah kaisar yang menebar benih sembarangan," ucap Iris blak-blakan.

Dylan bahkan refleks menutup mulut Iris. Raut wajahnya tampak begitu terkejut mendengar ucapan berani Iris. "Kau ingin dihukum mati?" Timpalnya.

Iris meringis pelan seraya menggeleng.

Dylan melepaskan bekapannya di mulut Iris. "Untuk ke depannya kau harus mengontrol ucapanmu, nona." Gemasnya. Disambut oleh anggukan patuh lawan bicaranya.

Iris mengerjap kaget melihat Dylan tiba-tiba tertawa. "Kenapa Yang Mulia tertawa?" Tanyanya polos.

"Karena kau sangat menggemaskan."

****

Baru saja menginjakkan kaki di Kediaman Enfield, Sylvia langsung menyambut kehadirannya.

Sylvia berlari kencang ke arahnya dan memeluknya erat sampai Iris kesulitan bernafas.

"Kenapa kau pergi tanpa mengabariku, Iris?"

Sylvia menangis lirih di bahu Iris. Membuktikan betapa sedih dan takutnya Sylvia ditinggalkan oleh Iris.

Sylvia memang sangat bergantung ke Iris. Sylvia ingin selalu bersama Iris. Sylvia selalu cemas jika Iris pergi keluar dari kediaman seorang diri.

Persahabatan mereka selama beberapa tahun belakangan ini mengakar begitu kuat di hati Sylvia. Apalagi Iris selalu memanjakannya, menyayanginya, dan memperhatikannya. Membuat Sylvia sangat takut kehilangan sosok Iris.

"Maaf. Aku pergi tanpa izinmu akibat takut mengganggu kelasmu, Vi."

Sylvia melepaskan pelukannya dengan ekspresi cemberut. "Jangan diulangi. Aku takut kau kenapa-napa. Aku takut orang lain menyakitimu."

"Aku bisa melindungi diriku sendiri, Vi."

"Kau selalu menganggap enteng semua hal." Sylvia menampar lengan Iris gemas sedangkan Iris menyengir pelan.

"Oh iya, kau ke mana saja hari ini? Kenapa baru pulang saat matahari terbenam?" Interogasinya.

Iris sok tersenyum malu-malu. "Aku bersenang-senang bersama Yang Mulia Dylan hari ini."

Sylvia menatap Iris senang. "Kalian ke mana saja? Apakah dia memperlakukanmu dengan baik?"

"Ya. Dia memperlakukanku dengan baik dan kami mengunjungi banyak tempat."

"Baguslah. Aku senang mendengar hubungan kalian lebih maju daripada sebelumnya. Ku harap kalian segera menyusul pernikahanku."

Iris melongo kaget. Ucapan santai Sylvia sangat mengejutkannya. "Pernikahanmu? Kapan kau akan menikah? Dengan siapa kau akan menikah?!"

"Aku akan menikah dengan putra mahkota bulan depan."

"Kenapa secepat ini?"

Sylvia menghela nafas sedih. "Katanya posisi putri mahkota sudah terlalu lama kosong. Kaisar ingin aku segera mengisi kekosongan posisi tersebut jika aku bersedia menerima lamaran."

Iris memeluk lengan Sylvia antusias. "Selamat, Vi! Kau akan menjadi putri mahkota. Calon permaisuri di masa depan. Aku bangga mempunyai sahabat sehebat dirimu."

Sylvia terkikik geli melihat keceriaan Iris. Perasaan sedihnya lenyap begitu saja setelah melihat reaksi bersemangat Iris.

Sekarang, ia merasa menikahi putra mahkota bukanlah hal buruk. Dia bisa membuat Iris bangga atas pencapaiannya.

Terlebih lagi, putra mahkota sangatlah tampan walaupun tidak setampan Dylan.

Sylvia akan berusaha menikmati perjodohannya demi kebahagiaannya, Iris, dan semua orang.

'Akhirnya aku berhasil menyelamatkan Sylvia dari jurang penderitaan. Setelah ini, aku bisa menikmati hidupku sendiri tanpa perlu terjebak dalam drama rumit perebutan tahta.'

Iris tersenyum puas.

'Meskipun pada akhirnya perang pecah, Sylvia akan tetap aman karena Duke Enfield dan pihak kekaisaran akan melindunginya sekuat tenaga. Tapi, ku rasa Dylan tidak akan berani melakukan pemberontakan karena pendukungnya sedikit.'

26/8/23

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

26/8/23

firza532

The Tyrant's WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang