[AUGE] 4

25.1K 1K 11
                                    

-Althaf Residence-

Erden mematikan layar iPad nya dengan bangga

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Erden mematikan layar iPad nya dengan bangga. Ia sengaja merencanakan kampus Aileen dan memilih kelompok Aileen untuk mewancarainya.

"Abwanggg!"

Mendengar suara bocah lima tahun tersebut, Erden berbalik dan tersenyum pada adik angkatnya, Arden. Erden menaruh iPad nya di meja sebelum menggendong tubuh mungil Arden.

"Kenapa, hm? Arden mau apa?"

Arden hanya mengistirahatkan kepala kecilnya di ceruk lengkungan leher Erden. Menguap. Arden mencubit pip Erden dengan tangan mungilnya.

"Sayang, mau apa?" tanya Erden sedikit ternyata. Cubitan Arden sama sekali tidak terasa sakit hanya geli. Erden membenarkan posisi gendongannya sebelum mengelus pipi chubby Arden.

"Au jajan," jawab Arden sedikit menguap sebelum mengistirahatkan kepala kecilnya di ceruk lengkungan leher Erden.

"Astaghfirullah. Lain kali kalau menguap, mulutnya di tutup, ya? Nanti ada setan yang masuk. Ya, dedek?"

Tangan kekar nan besar Erden mengusap mulut kecilnya Arden, sedikit memperingati adik angkatnya untuk tidak menguap sambil membiarkan membuka mulutnya.

Arden mengangguk kecil. "Afwan, abwang. Au Jajan ama es. Mie," kata Arden sedikit memelas pada Erden. Erden bisa dibilang tipe orang yang luluh terhadap anak kecil.

"Mie? Ada di rumah kalau itu. Abang buatin? Mau?" tanya Erden yang masih menggendong Arden. Erden beranjak dari tempat berdirinya dan membuka pintu kamarnya.

"Au keyuar. Abwang, beyi di luar. Aden au keyuar," pinta Arden sambil mengerucutkan bibirnya.

Erden melihat tingkah adik angkatnya dengan gemas. Bisa-bisa dia diabetes gara-gara tingkah lucunya Arden.

"Naik mobil tapi, ya? Enggak mungkin Abang biarin kamu ngantuk waktu naik motor sport. Ya, dedek?" Erden masih saja mengecup pipi chubby Arden dengan gemas bahkan mengigit nya. Arden sedikit merengek.

"Iya, iya. Berangkat sekarang, ya? Malam nanti Abang enggak bisa. Ada kerjaan."

Erden menarik wajahnya menjauhi pipi Arden dan berjalan menuruni tangga mansion orang tua. Arden hanya terus bergelayutan di dekapan Erden.

"Mau kemana, Erden?"

Kali ini papanya, Zein, membuka mulutnya. Suara khas bariton datang ke menghampiri kedua putranya.

"Ini, si bocah. Arden mau jajan. Enggak apa-apa, pa. Jarang-jarang Arden manja sama Erden," pinta Erden sedikit memelas di hadapan papanya.

Zein tertawa dan mencubit pipi chubby Arden dengan gemas. "Bagaimana dengan dia?" Zein memberi kode pada Erden dengan kedipan mata.

Erden mengangguk namun menundukkan wajahnya. "Umm... Aku cuma masih berani lihat dari jauh, pa. Aku mesti dapat laporan kalau Alin--"

"Ooooh. Ternyata beraninya main jauh. Mana panggil nama kecilnya tanpa restu dari orangnya. Katanya mau tanggung jawab. Kapan?" Zein sedikit menyindir putranya bahkan menyentil dahi Erden.

Erden sedikit meringis dan memegang dahinya.

"Takutnya Alin ngira aku ngebut nikah sama dia."

"Memang benar, kan?"

"Takut di tolak, pa."

"Katanya mau tanggung jawab."

Erden membuang nafasnya dengan teratur sebelum melihat Zein kembali. "Apa dia ingat sama aku, pa? Waktu itu dia masih 5 tahun, sedangkan aku waktu itu 12 tahun. Pikirannya masih kecil waktu itu," celoteh Erden sedikit putus asa walaupun sebenarnya dia ingin ngebut nikah sama Aileen.

Zein diam sejenak sebelum mengambil Arden dari dekapan Erden, pindah ke dirinya. "Papa sudah sahabatan sama orang tuanya, lho. Jangan sia-siakan. Entar Alin banyak yang ngajak nikah, kamu--"

"Papa!"

Zein berhenti dan menatap wajah putranya yang sangat mirip dengannya. Ingin menggoda Erden.

"Alin banyak yang suka di kampus. Baru-baru ini, papa dengar kalau--"

"Enggak mau! Enggak mau! Punya ku!" ucap Erden dengan keras bahkan tegas.

Zein menatap wajah Erden dengan menahan tawanya. Masalahnya, sekarang wajah Erden memerah bahkan memalingkan mukanya dengan kasar. Salting sendiri.

"Pa, Alin itu satu-satunya perempuan yang enggak sengaja menyentuh ku waktu di taman beberapa tahun lalu. So, she's mine. I already pray and mention her name in my third of the night. I already swear if I will take the responsibilities. So, she's mine. Not else."

"And you also secretly protect her from teenage until now," tambah Zein dengan bangga.

Ketahuan. Niat Erden yang menggunakan kekayaan untuk melindungi Aileen dari setiap laki-laki yang mendekatinya, sudah ketahuan sudah oleh papanya. Wajah Erden tambah memerah. Erden lekas menggendong Arden dari tangan Zein, menyambar kuncinya mobilnya. Cepat-cepat keluar dari mansion.

Zein hanya tertawa lepas.

-AUGE-

Erden mencengkram stir mobilnya hanya dengan satu tangan. Arden juga duduk di pangkuannya sangat tenang, memainkan jari tangan Erden yang tidak memegang stir mobil.

Saat sedang sibuk fokus mengendarai mobil, sebuah motor sport berwarna hitam menyelip dan hampir membuat mobil Erden menabraknya. Sontak, satu tangan Erden yang tidak memegang stir, langsung melindungi kepala mungil Arden dan kakinya mengerem mobilnya seketika.

Citttt

Keduanya berhenti. Mobil Erden bahkan motor sport itu sama-sama berhenti.

Erden sedikit terkejut dan langsung memeriksa Arden.

"Arden! Dek, enggak apa-apa, kan?"

Erden yang sedikit masih terkejut, mengelus punggung kecil Arden untuk menenangkan adik angkatnya yang baru berumur 5 tahun.

Arden hanya mengangguk kecil untuk menanggapi pertanyaan Erden. Erden merasa lebih lega dan memindahkan Arden ke kursi sampingnya.

"Alhamdulillah, Ya Allah..."

"Sebentar. Abang mau keluar. Buat ngurusin," ujar lemah lembut Erden pada Arden seraya mengelus rambut Arden. Erden membuka pintu mobilnya dan langsung menghampiri orang yang menggunakan helm full face yang masih bersandar di motor sport nya.

Orang itu beranjak dan melepaskan helm full face nya. Kedua mata Erden melebar dan langsung menunduk. Ingat, bukan mahramnya. Sebentar lagi sah.

"Sorry. Gue lagi buru-buru," ujar Aileen sambil menghela nafas, membenarkan jilbab pashmina nya yang sedikit melenceng.

Jantung Erden berdebar cepat. Ini kedua kalinya mereka bertemu setelah beberapa tahun-tahun yang berlalu. Erden masih menundukkan wajahnya karena ia yakin, ujung telinganya memanas dan memerah.

Aileen mengerut bingung. Tidak tanggapan apa-apa dari pria di depannya.

"Oi," pancing Aileen. Aileen bahkan menyentuh lengan pria itu namun langsung di tepis. Aileen langsung memelototi pria itu.

"Ini dua kali, Alin," gumam Erden pelan, sangat pelan. Erden mundur satu langkah tetapi tetap menundukkan pandangannya.

"Maaf."

TBC

ALDREEN : VOW TILL END (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang