Walau hujan badai sekalipun, pertandingan Quidditch antara Hufflepuff dan Gryffindor tetap dilaksanakan.
Estelle dan yang lain sebagai seorang Slytherin memilih bolos menonton, apalagi cuaca sangat buruk. Jadi mereka di ruang bersantai asrama menikmati camilan dan minuman hangat seraya bermain catur.
“Sekakmat, haha.”
Tawa Estelle terdengar renyah usai mengalahkan Gregory Goyle dalam permainan catur mereka. Namun saat Blaise Zabini ingin melawannya, gadis itu lebih dulu mengundurkan diri.
“Nah, aku tidak sanggup mengalahkan guruku sendiri. Jadi lain kali saja, Blaise.”
Estelle membuat-buat alasan hingga yang lain tertawa karena gadis itu menghindari kekalahan, sementara Draco memutar bola mata.
“Sini! Biar aku yang mengalahkanmu!” tantang Draco pada Blaise.
Keenam murid tersebut mau tak mau kembali mengerumuni meja untuk pertandingan berikutnya hingga Pansy Parkinson menyela dengan pertanyaannya.
“Apa kau sudah tidak peduli dengan Harry Potter, Draco? Maksudku—mungkin saja dia sedang kena celaka sekarang,” ujarnya.
Draco mendengkus, memajukan langkah kuda. “Itu membuang waktu. Lagi pula, kita bisa mendengar kabarnya nanti.”
Pun Estelle mengangguk setuju seraya tersenyum mengejek saat kuda Draco dihancurkan. “Permainan yang super singkat, Sepupu.”
“Diam, Stelle! Aku masih belum kalah!” Draco mengusap dagunya, mengabaikan tawa yang lainnya. “Berani bertaruh—kalau Potter bakal dicium Dementor!”
“Tiba-tiba?” Estelle menyipitkan mata, menyilangkan kaki dan menyandarkan punggung pada sofa. Ia mengapit dagu, tersenyum masam. “Paling-paling Dumbledore bakal menyelamatkannya. Kepala Sekolah selalu pilih kasih sejak Anak yang Bertahan Hidup itu masuk Hogwarts, bukan? Menambahkan poin asrama sesuka hati. Dumbledore yang terburuk,” bisiknya.
“Sudah kubilang!” sahut Draco, diangguki Vincent Crabbe.
Pansy berdeham, melirik Blaise yang bersedekap tangan. “Yah, itu sudah biasa. Tetapi akhir-akhir ini yang aneh itu sikap Profesor Snape, ‘kan? Jadi lebih kalem dan banyak melamun.”
Estelle dan Gregory menatap Pansy secara bersamaan.
“Aku juga sadar,” balas Estelle. Ia menggigit bibir, menaikkan sebelah alis. “Apa kita kurang menambah poin?”
“Mengapa kau sangat terobsesi dengan poin?” Pansy mendengkus geli, mengambil bantal sofa dan memeluknya.
Tiba-tiba Draco mengetuk papan catur, menang. “Bukan tentang poinnya, tapi hasil akhirnya!”
Estelle melirik sinis Blaise yang kalah dari Draco. Tetapi tidak ada yang bisa disalahkan karena Sang Sepupu memang tak sebodoh sikapnya.
“Aku yakin ada yang tersambar petir—Potter atau Diggory!” tambah Draco.
KAMU SEDANG MEMBACA
Strawberry Lips ft. Severus Snape
Fanfiction❝𝓽𝓱𝓪𝓽'𝓼 𝓷𝓸𝓽 𝓵𝓸𝓿𝓮, 𝔂𝓸𝓾'𝓻𝓮 𝓳𝓾𝓼𝓽 𝓫𝓮𝓲𝓷𝓰 𝓸𝓫𝓼𝓮𝓼𝓼𝓮𝓭.❞ ✿ family, 21+ © Sanskara Drew 23 Agustus 2023.