Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Pada sofa tunggal yang terletak pada ruang tamu, Severus menatap Lorelei di trotoar seberang yang mulai bersinggungan dengan lelaki jalanan. Wanita itu bertanya mengenai keberadaan rumahnya, dan diarahkan menuju kesesatan.
“Si idiot.”
Severus berdiri dari duduknya, menyusul Lorelei yang mau-mau saja dibodohi para laki-laki tak berumah untuk mengikuti mereka.
Sesampainya Severus di seberang jalan, tiba-tiba Lorelei keluar dari dalam gang sempit dengan mengibaskan tangan sebelum terperanjat menyaksikan kehadirannya.
Wanita itu mengenakan rok putih lebar diciprati noda darah tepat di bawah jaket dengan motif bintang yang terletak di antara ritsleting. Tas putih besar yang disampir pada bahu pun terjatuh ke gagang payung. Lorelei terkejut atas kemunculan Severus di hadapan.
“Heii! Severrrrrus!”
“Jangan memanggilku dengan nada jelek begitu,” sahut Severus cepat.
Lorelei cengengesan, berlari seraya melompat kecil demi mendatangi Severus yang sudah membalikkan badan.
“Aku tidak pakai sihir, lho! Jadi jangan adukan aku ke Kementerian, ya!” Lorelei melambai panik, baru ingat kalau mereka seorang penyihir daripada berandalan hobi berkelahi. “Lagi pula aku tak bawa tongkatku!” tambahnya.
Severus mendongak pada langit yang mendung, selanjutnya mencemooh tindakan ceroboh Lorelei yang membuatnya mendengkus.
“Kau tidak bawa tongkat sihirmu, tapi membawa payung.”
“Meski aku bawa tongkat, aku juga tak ingat apa-apa!” protes Lorelei. “Cuma tahu Patronus!”
Dan hujan pun turun setelah Severus dan Lorelei memasuki kediaman Snape.
“Rumah yang bagus! Aku suka!”
Lorelei melihat-lihat dengan senyuman sebelum garis bibir itu luntur usai tiba di ruang tamu.
“Kau suka segalanya,” ucap Severus tanpa menyadari perubahan ekspresi Lorelei sebab ia lebih dulu mendudukan diri pada satu-satunya sofa kecil di sana.
Lorelei mengerutkan hidung atas bau buku lama, tidak setuju atas perkataan Severus. “Aku benci buku,” ujarnya dengan berkacak pinggang seolah bangga.
Severus menoleh ke pintu, menatap Lorelei yang betah berdiri ketimbang mencari tempat duduk lain. “Memang seharusnya begitu.”
“Apa maksudmu?!”
“Orang sejenismu memang kebanyakan benci buku.”
Suara hujan semakin deras berjatuhan di atas genteng. Lampu di pojokan menyala entah sudah berapa lama. Ruangan itu memiliki perapian, segera dinyalakan dengan sihir meski Severus membelakanginya.
Langkah Lorelei kini mendekati jendela, menyaksikan rintik yang menghantam kaca. Ia kemudian mengambil berbagai buku untuk disusunnya di atas lantai.