Sekarang masih rajin up. Tapi jangan heran kalau nanti tiba-tiba aku ngilang tanpa kepastian wkwkwk
.
.
.05
Ini lebih cepat dari yang Liam bayangkan. Dua bulan setelah kedatangan Astra, pria itu datang lagi ke tempatnya. Kali ini tidak sendirian, melainkan membawa seorang wanita di sampingnya. Wanita yang Liam yakini adalah ibunya.
Selama dua bulan ini, sampel darahnya hanya diambil sekali. Segelnya diperkuat tiga kali. Dan seminggu lalu pemimpin menara Charisma, Mihail, datang secara langsung. Liam tak tau apa yang terjadi. Tapi ia jatuh dalam kegelapan setelah Mihail menyentuh puncak kepalanya.
Selama tak sadarkan diri, Liam bertemu lagi dengan Lucia dan Killion. Juga ia bertemu dengan sosok yang dirantai di balik kegelapan yang memiliki mata merah menyala. Lucia bilang itu adalah sebagian dari dirinya yang berusaha disegel orang-orang selama ini. Sosok itu juga yang berkali-kali mencoba mengambil alih kesadaran Liam.
Rantai perak bersinar melilit tubuh sosok bermata merah itu. Lingkaran sihir simpang siur di segala sisinya. Dan saat itu entah kenapa Liam merasakan seolah tubuhnya lebih ringan dan lapang. Rasanya sedikit melegakan dan keadaannya seolah membaik. Padahal selama ini ia merasa baik-baik. Tapi ketika sosok itu terantai dengan erat, Liam seolah bisa merasakan bahwa dulu tubuhnya jauh dari kata baik.
Lucia mengatakan bahwa mungkin orang-orang menara sudah menemukan titik terang. Dan sepertinya Liam sudah bisa melangkah keluar dari paviliun setelah ini. Lucia mengingatkannya untuk berhati-hati dengan sosok bermata merah itu. Lalu dia pergi. Dan Killion tetap bersemayam dalam tubuhnya seperti biasa.
Kemudian tak lama Liam jatuh dalam kegelapan yang panjang. Ia merasa masuk ke titik terdalam keheningan. Sampai kemudian dengung panjang membuat telinganya seakan mau pecah. Sampai kemudian sebuah panggilan membuat ia tersadar.
Ketika bangun, Astra dan Nereida sudah berada di hadapannya. Liam hanya bisa mematung ketika Nereida memeluknya dengan tangis mengucap syukur berkali-kali. Dan juga... pelukannya terasa hangat.
"Sejauh ini baik-baik saja. Sepertinya segel kali ini bekerja dengan baik. Shuranya juga terasa lebih murni. Tak lagi bercampur dengan hawa iblis yang akan menginfeksi. Bisa dibilang, dia sudah bisa dipindahkan ke istana bagian dalam sekarang."
Liam masih linglung ketika ia terbangun dan tiba-tiba dipeluk. Belum lagi dengan penjelasan panjang Mihail. Dia hanya diam saja ketika Nereida memegang kedua pundaknya.
"Kau dengar itu sayang? Mulai hari ini kau bisa keluar, pergi dari sini. Tinggal bersama Ibu dan Ayah serta kakak-kakakmu. Kau tak akan sendirian lagi sekarang."
Lalu wanita itu kembali memeluk Liam erat dan mengecup puncak kepalanya berkali-kali dengan air mata berderai. Ia menggumamkan syukur dan ungkapan terimakasih entah untuk siapa.
Setelahnya, entah apa yang terjadi Liam tak terlalu ingat. Dia juga heran sendiri dengan kepalanya. Entah terbentur dimana. Bisa-bisanya ia tak sadar kalau dirinya sudah keluar dari paviliun. Bahkan Liam melewatkan momen pertama kali ia menginjakkan kaki di dunia luar.
Tau-tau, ketika tersadar, ia sudah berdiri di hadapan 4 orang beda usia yang katanya adalah saudara-saudaranya.
Yang Liam tau hanyalah Emerald yang memiliki wajah serupa dirinya. Meski rambut mereka berbeda. Tapi tak dipungkiri kalau keduanya bagai pinang dibelah dua.
Liam menatap yang lainnya. Ia reflek mundur bersandar di kaki Astra ketika bertemu pandang dengan anak laki-laki yang paling tinggi dari 4 orang di depannya, dan tampaknya dia yang paling tua. Manik emas yang mirip milik ibunya itu bukannya lembut justru terlihat mengerikan, tampak dingin dan tak kenal ampun. Yang entah sadar atau tidak membuat Liam menggapai tangan sang ayah seolah minta tolong.
"Mata mu mau ku congkel Lionel? Jangan menatapnya seperti itu. Dia adikmu bukan samsak tinju mu."
Lionel, putra tertua Astra mendongak pada sang ayah. Ia berdecak malas, "Aku memang sudah begini dari lahir, mau di apakan lagi?"
"Setidaknya cobalah bersikap seperti kakak yang baik."
Lionel mengeluh dalam hati. Entah harus sebaik apa lagi dia bersikap. Kalau tidak salah selama ini ia sudah mati-matian menjadi sosok kakak yang baik untuk adik-adiknya. Tapi entah mengapa mereka semua lebih suka dengan Alice, si anak kedua, ketimbang dirinya. Lionel sakit hati tau tidak?!
"Ayah?" Liam mendongak masih dengan tubuh bersandar pada kaki panjang Astra. Pria itu menunduk dan mengusap kepala Liam sekilas.
"Dia adalah Kakak pertamamu, Lionel."
Liam menatap Lionel lagi. Oke, dia sudah paham, muka datar Lionel itu sudah setelan pabrik. Tidak menarik dan membosankan meski tadi sempat membuatnya agak takut. Jadi, tak peduli dengan Lionel, Liam menoleh pada Alice.
Kalau Lionel berumur 12 tahun sekarang maka Alice berumur 10 tahun. Meski begitu, dia sudah tampak menawan dengan rambut keemasan yang bergelombang serta manik emas serupa yang tampak teduh. Cih, beda siang dan malam dengan si Lionel itu meski mereka tampak seperti anak kembar yang beda jenis kelamin, pikir Liam.
Alice tersenyum lembut. Dia mirip sekali dengan Nereida kalau begitu. Dia maju mengulurkan tangan pada Liam yang tampak tak mau lepas dari Astra.
"Hai, Liam. Ini kak Alice. Selamat datang di rumah adik kecil."
Liam menatap uluran tangan Alice. Lalu merasa ubun-ubunnya mau bolong karena ditatap, Liam menoleh pada Lionel. Anak itu memalingkan muka ketika melihat tangan Liam sedikit terangkat ingin menerima uluran dari Alice.
Tapi, Liam bukannya mau meraih tangan Alice. Ia berbalik merentangkan tangan pada Astra minta digendong. Jujur saja, kaki pendeknya mulai pegal berdiri sedari tadi. Ditambah lagi kepalanya yang terasa berputar-putar. Aih, Liam pusing. Saudaranya banyak sekali. Bisa tidak kalau ia minta jadi anak tunggal saja?
'Kalau begitu kau tinggal membunuh mereka semua saja.'
Seperti biasa, Killion yang tak ada akhlak membaca pikirannya dan menyahut dengan seenak hati. Tidak tau saja Liam merinding tiap kali ia bicara. Rasanya aneh, ada yang bicara dalam kepalanya tapi ia tak bisa melihatnya. Liam serasa berkomunikasi dengan otaknya sendiri.
"Pusing. Aku ingin pulang...." Gumam Liam ketika menyenderkan kepalanya di pundak Astra.
"Pulang kemana? Kita sudah di rumah," kata Astra.
Nereida menyibakkan poni Liam yang tampak lepek karena keringat, "Badannya hangat. Kata Mihail ini efek karena tubuhnya masih harus menyesuaikan diri."
"Sepertinya dia butuh istirahat," kata Astra mengusap punggung Liam. Ia menatap ke-4 anaknya yang lain, "Kalian kembalilah. Biarkan Liam beristirahat dulu."
Liam sayup-sayup mendengar ke-4 anak itu menyahut berbarengan. Lalu suara langkah kaki menjauh. Ada yang bicara lagi, entah siapa. Liam sudah sangat mengantuk. Dia jadi tak terlalu fokus pada sekitar.
Saat dia bilang ingin pulang, Liam menginginkan kamarnya di paviliun. Dia mau balkon lantai dua yang di depannya terpampang luas pemandangan rumput yang menghijau dan sebuah danau. Liam mau merasakan shura Nico dan tidur dengan nyenyak.
Tapi saat tangan Astra mengelus punggungnya perlahan, Liam mulai merasa kantuk menyerangnya. Dan entah sejak kapan, shura Astra menjadi salah satu yang ia sukai dan membuatnya nyaman sekarang.
Hmm..... Tak ada Nico, Astra pun tak apalah. Tak bisa dengan Ksatria, Rajanya pun jadi.
Liam seolah merendah. Padahal, kalau di dunianya dulu, sikapnya saat ini bisa dibilang namanya: 'ngelunjak'.
Killion saja sampai mendengus sinis karenanya. Tapi Liam sudah terlanjur masuk ke alam mimpi. Jadi Serigala putih itu bisa selamat dari caci maki.
|||||||||||||||

KAMU SEDANG MEMBACA
Be The Devil Prince
FantasiaLahir dengan darah ras iblis. Diasingkan dari keluarganya. Dibenci rakyatnya. Lalu menjadi pengkhianat yang akhirnya mati di tangan ayahnya sendiri. Setidaknya itulah yang Alex tau tentang William Alexander yang merupakan antagonis novel The Lord ya...