18. Yes

103 11 0
                                    

"Sabrina, MasyaAllah, putri Umma." Sambut Ibu Fathan saat membuka pintu.

"Assalamu'alaikum umma."

"Wa'alaikumsalam warahmatullah, kenapa tidak mengabari dulu? Umma kan bisa menyambutmu dengan lebih baik. Umma hanya memasak sederhana hari ini."

"Karena aku tidak mau Umma merepotkan diri." Jawab Sabrina yang pasrah saat digiring ke ruang makan.

"Lihat siapa yang datang?" Sabrina tersenyum kikuk saat semua pasang mata menatapnya. Ada Fathan, ayahnya, dan adik-adiknya.

"Teh Sabrina! Sini Teh, duduk samping Alifa." Ucap si bungsu. Seingat Sabrina, terakhir kali ia kesini, Alifa masih belum bisa mengucapkan namanya dengan benar. Sekarang dia sudah bisa mengucap R rupanya.

"Dari tempat kerja, Rin?" Sabrina mengangguk sebagai jawaban pertanyaan Fathan.

"Assalamu'alaikum Abah." Sapa Sabrina pada kepala keluarga disana.

"Wa'alaikumsalam, duduk Teh, kebetulan kita baru mau mulai makan."

"Teh Sabrin nanti bantu Faisal mengerjakan tugas ya." Pinta si anak tengah.

"Teteh itu bertamu, Ijal. Kok disuruh-suruh begitu. Minta bantuan Akangmu." Ucap sang Abah sebelum Sabrina menjawab.

Mereka makan dalam diam, kebiasaan keluarga ini yang masih Sabrina ingat.

Setelah selesai makan dan membantu membereskan meja makan, yang sebenarnya sudah dilarang, Sabrina menemui Abah yang ada di ruang tamu.

"Sehat kan, teh?" Sabrina mengangguk.

Ia duduk dengan gugup, bingung memulai pembicaraan dari mana.

"Soal Yoongi ya?" Tanya beliau membuat Sabrina membulatkan mata saat menatap beliau.

"Kok Abah tau?"

"Oh, Yoongi atau Fathan tidak bilang kalau Abah jadi pembimbing Yoongi?" Sabrina menggeleng. Itu artinya, jika Yoongi sudah membicarakan ini pada Abah, berarti beliau sudah tau ya? Pantas saja.

"Apa Yoongi sudah bercerita?"

"Soal gadis yang ia sukai tapi ia ragu karena merasa belum siap? Atau soal kau yang banyak membantunya, membuat dia semakin tidak bisa menahan perasaannya?"

"Abah." Cicit Sabrina pelan.

"Kalau dari cerita Yoongi, Abah menyimpulkan kalau kau juga menyukainya. Apa benar?" Tanya sang Abah membuat Sabrina kikuk.

Akhirnya Sabrina mengangguk pelan.

"Lalu kenapa belum menerimanya? Kau keberatan dengan statusnya sebagai mualaf?"

"Bukan soal itu Abah. Ini lebih tentang Sabrina. Tentang masa laluku." Kata Sabrina sendu.

"Kau sudah membicarakannya dengan Yoongi?" Sabrina mengangguk lagi.

"Lalu apa tanggapannya?"

"Dia tidak mempermasalahkannya. Hanya saja aku takut dan merasa tidak pantas."

"Yoongi merasa tidak pantas, kau juga, sudah cocok bukan?" Sabrina memberikan tatapan protes saat pria dihadapannya justru tertawa ringan.

"Sabrina, semua orang punya masa lalu dan titik rendah mereka. Itu masa lalu, tidak seharusnya menjadi menghalang kebahagiaanmu di masa sekarang dan masa mendatang."

"Tapi Yoongi itu terkenal, aku takut merusak semua yang dia usahakan selama ini."

"Apa Yoongi merasakan ketakutan yang sama?" Sabrina menggeleng. Yoongi bahkan begitu yakin semua akan baik-baik saja.

AMBIVALENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang