Future's Gonna Be Okay

1.1K 80 71
                                    

Chapter ini dipersembahkan untuk lovelies yang sedang berjuang di RL nya. Hwaiting!!!

Lovelies kira chapter kemarin itu panjang?? Hah!!!
Chapter ini bukan 5 ribu words, bukan 7 ribu words, bukan 9 ribu juga. Tapi 10 ribu!!!!

Semoga bisa menghibur semua lovelies yang sudah lama menunggu.

Enjoy the ride.

Happy reading.

.
.

Pintu kamar perawatan Namjoon terbuka lebar. Ketika Yoongi melongokkan kepala, ia melihat 3 orang di dalam sana. 2 orang perawat yang sedang merapikan tempat tidur yang kini kosong melompong tanpa pasien. Keduanya bekerja cekatan tidak bersuara, berusaha menyelesaikan pekerjaan mereka secepatnya.

Sedangkan orang yang ketiga adalah Jimin. Berdiri menghadap tempat tidur yang sama, sekilas seperti sedang mengawasi pekerjaan yang sedang dilakukan. Tetapi bila diperhatikan baik-baik, sebenarnya tidak ada emosi yang tergambar di wajahnya. Yoongi tidak bisa menebak apa yang ada dalam benak sang adik. Tidak marah, tetapi tidak gembira, pun tidak sedih. Seperti air yang tenang, yang menyembunyikan arus kencang yang bergolak di dalamnya.

Perawat-perawat itu akhirnya selesai membereskan tempat tidur pasien. Ranjang yang selama beberapa waktu menjadi tempat pembaringan bapak itu sudah kembali ke keadaannya yang semula. Demikian pula seisi ruangan ini, siap untuk menampung pasien berikutnya yang membutuhkan perawatan. Yang satu berucap kepada Jimin, "Tuan Park, kami sudah selesai."

Jimin mengerjap perlahan sebelum akhirnya balas menatap si perawat, "oh," demikian jawabnya singkat, masih tanpa ekspresi.

Kedua wanita itu sepertinya sudah terbiasa dengan reaksi seperti itu, keduanya membalas dengan membungkuk dalam, "kami menyampaikan ucapan belasungkawa yang sedalam-dalamnya atas meninggalnya Tuan Kim Namjoon. Semoga Tuan dan seluruh keluarga diberi ketabahan."

Sekali lagi Jimin hanya membalas dengan sebuah anggukan disambung sedikit membungkuk. Kemudian para perawat pamit undur diri, Jimin mengikuti pergerakan mereka dengan matanya. Saat itulah ia menyadari kehadiran Yoongi yang masih berdiri di ambang pintu. Matanya sedikit melebar, namun tidak ada kata yang terucap.

Setelah keduanya pergi berjalan menjauh meninggalkan kamar perawatan barulah Yoongi menginjakkan kakinya masuk ke dalam. Sejak peristiwa di bukit Baegak, inilah pertemuan pertama mereka. Kedua mata sang adik terpaku kepadanya. Pun Yoongi, dia terus menatap si teman karib sehingga mereka berdiri saling berhadapan di depan ranjang sakit.

Lalu tiba-tiba ekspresi itu pecah menjadi sebuah kesenduan. Matanya mula berkaca-kaca, kulit putih mulus di pipinya memerah. Dia masih berusaha menahan semuanya itu, mulut membisu tanpa suara meskipun sesungguhnya ada isakan yang bersiap membuncah dari tubuh mungilnya.

Sejenak Yoongi bertarung dalam benaknya, apa yang akan ia lakukan? Sewaktu masih kanak-kanak, ia sudah pasti akan merengkuh tubuh si sahabat, menenggelamkannya dalam pelukan hangat, memberinya kelegaan. Mengungkapkan tanpa kata-kata, bahwa apa yang Jimin rasakan, ia juga rasakan. Ketika Jimin gembira, dia ikut bahagia. Tatkala Jimin bersedih, ia turut berduka.

Tetapi kini, ketika persoalan di antara mereka pun belum lagi ada suatu penyelesaian yang tuntas. Seperti luka yang masih sangat segar menoreh dalam hati masing-masing dan belum sembuh betul. Pantaskah ia merangkul begitu saja? Apakah Jimin akan menerimanya? Ataukah jangan-jangan dia malahan tidak menginginkan kehadiran Yoongi di sini? Barangkali Jimin justru ingin dibiarkan sendiri menghadapi peristiwa kematian suaminya?

Meski begitu, telapak tangannya secara otomatis mendekat menyentuh ujung jari jemari sang adik. Nampaknya sudah menjadi suatu naluriah baginya untuk selalu ingin melindunginya, ingin agar Jimin tak pernah bersedih, tak perlu berduka. Naif memang, karena tidak ada manusia yang tak pernah merasakan kesedihan. Bahkan bayi baru lahir pun langsung menangis ketika ditarik paksa dari kehangatan rahim ibunya.

Friends with Benefits (?) - COMPLETE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang