Akhirnya, disinilah Arzen. Di ruangan serba putih dengan infusan di punggung tangannya. Kalo dari pengakuan dokter sih, Arzen kena tipes.
"Abang tuh udah peringatin dari lama kan?"omel Zaidan yang dapat giliran menjaga Arzen malam ini. Buna dan Yaya pulang setelah menemui dokter sore tadi. Buna juga terlihat lelah karena menjaga Arzen sejak kemarin malam.
Arzen dipaksa ayahnya ke dokter saat menjelang sore. Sejak siang sebenarnya sopir sudah datang, tapi Arzen keras kepala menolak diantar ke dokter padahal udah menggigil hebat dan muntah terus setiap makan atau minum. Buna sampai menangis saking cemasnya dan menelepon sang Ayah melaporkan kondisi anaknya itu.
"Iya, Bang. Gue pikir cuman masuk angin doang gegara kehujanan kemaren."jawab Arzen lirih. Bukan karena takut atau apa, hanya lemes aja rasanya.
"Ya udah, istirahat. Ga usah mikir apa-apa dulu."ucap Zaidan.
Arzen segera memejamkan mata yang memang udah berat. Tapi tetiba terbuka lagi, saat teringat sesuatu.
"Bang, ponsel gue mana?"
Zaidan yang sudah membuka laptop mengalihkan pandangan pada adiknya.
"Buat apa? Disuruh istirahat sama dokter, jangan batu."jawabnya sewot.
"Mo ngabarin bos, bang."kata Arzen dengan wajah memohon. Tadi sempat dilihatnya jam di dinding, sudah hampir pukul 8 malam. Udah sangat telat. Tapi lebih baik telat daripada ga ada kabar samsek.
"Emang belom selesai kerjanya? Lo kan bilang tinggal seminggu."protes Zaidan, tapi tangannya membuka laci nakas dan menyerahkan ponsel yang diminta.
"Iya, tinggal malam ini sama besok, bang."
"Bilang aja, kemaren hari terakhir lo kerja. Kalo gaji lo dipotong, ntar abang yang nambahin. Pikirin badan, jan macem-macem lo."ancamnya dengan tatapan tajam.
"Iye, iye."Arzen memutar mata malas.
Dia pun segera mengirim pesan pada Hadian. Tak seperti abangnya yang suudzon, Arzen berpikir teman seperti Hadian ga akan tega memotong upahnya meski dia ga kerja di 2 hari terakhir kontraknya. Hari ini dan besok.
Me
Bang, sori telat ngabarin. Gue ga bisa kerja hari ini dan besok.
Bang Hadian
Lo gpp?
Tuh kan? Hadian tuh sosok teman sekaligus abang yang baek banget sama Arzen. Meski hanya kenal di tempat nongkrong. Itupun baru kenal sekitar 1,5 tahun yang lalu, tapi udah berasa sodara kandung aja.
Me
Tifus, bang. Sori ya gue ga bisa penuhin kontrak.
Bang Hadian
Ngapain mikir itu sekarang. Lo dirawat, Zen? Dimana?
Arzen menghela napas, membuat fokus Zaidan teralih.
"Kenapa?"tanyanya.
Arzen kaget. Dipikirnya Zaidan ga bakal denger kalo udah fokus sama laptop dan kerjaannya.
"Hah? Enggak, Bang. Ga papa."jawab Arzen.
"Siniin ponselnya. Udah waktunya lo tidur."
Zaidan menengadahkan tangan meminta benda pipih di tangan Zen.
"Bentar lagi, bang. Balas 1 pesen lagi."
Zaidan menghela napas. Antara khawatir dan sedikit menyesal kenapa sejak tau Arzen kerja paruh waktu, saat itu dia ga mencoba membuatnya berhenti.

KAMU SEDANG MEMBACA
Ketos Cantik [END]
RandomKisah Arzen mendapatkan cinta sang ketua OSIS cantiknya. cover by: canva.com