Michael mulai jengah berdiam diri di rumah itu. Pemuda itu menghabiskan waktunya berlatih berkuda bersama Dexter. Kini, secara kurang lebih, ia mulai paham bagaimana cara mengurus kuda dan telah paham cara memasang pelana sendiri.
Lady Noir menjadi kuda favoritnya. Kuda betina bersurai hitam itu telah menjadi teman pendamping Michael dikala ia bosan.
Semua terasa menyenangkan pada awalnya. Akan tetapi, lambat laun aktivitasnya mulai terasa menjemukan. Michael merasa bosan. Ia membutuhkan seorang teman. Ia ingin berbincang dengan anak-anak remaja seusianya.
"Kau menjadi lebih diam hari ini," celetuk Matthew.
Michael berdehem singkat seraya ia menyuap telur orak-arik ke mulutnya.
"Apa kau tidak menyukai sarapanmu?" sahut Emira.
"Bukan. Aku menyukainya, kok," sanggah Michael.
"Ada apa, Mike?" tanya Dexter. "Ada sesuatu yang mengganjal pikiranmu?"
"Aku hanya merasa bosan," keluh Michael.
"Ah." Dexter tersenyum, kemudian mendekat untuk merangkul pundak Michael. "Apa kau ingin memancing bersamaku hari ini? Atau, kita bisa pergi berkuda bersama," ajaknya.
"Tidak, bukan begitu," desah Michael. "Maksudku, aku bosan berada di rumah ini. Aku ingin pergi jalan-jalan. Aku ingin pergi ke taman, atau mungkin aku bisa pergi ke supermarket dan membeli camilan."
Tidak ada dari ketiganya yang menjawab.
Michael mengembuskan napas, frustrasi. "Bolehkah aku pergi? Hanya untuk berjalan-jalan sebentar," pintanya pada Dexter.
Raut pria itu menegang. Michael bisa melihat urat di rahangnya tersentak seakan Dexter tengah berusaha menahan amarahnya.
"Tidak," jawab Dexter.
"Aku janji hanya sebentar saja-"
"Tidak, tetaplah tidak, Michael," tegas Dexter.
Raut Michael berubah murung. Rencananya gagal. Padahal itu satu-satunya cara agar ia bisa bertemu penduduk lain dan meminta pertolongan mereka. Apalagi yang harus ia lakukan agar bisa kembali ke Brooklyn?
"Aku bisa mengantarnya," Emira membuka suara. "Aku bisa menemani Michael dan membawanya ke supermarket untuk menemaniku berbelanja."
Raut penuh harap di wajah Michael pun kembali muncul ke permukaan. Menyadari hal tersebut, Matthew mengulas senyum. Pria paruh baya itu menjadi lebih sering tersenyum setelah Michael datang ke rumahnya bersama Dexter.
"Itu ide yang bagus," celetuk Matthew, yang segera disahuti Michael dengan anggukan kepala. "Aku bisa ikut," ia menawarkan. "Aku tidak ingin membuat istriku kelelahan membawa semua barang belanjaannya sendiri."
"Atau kita berempat bisa pergi bersama," Michael mengusulkan. Ia menoleh ke arah Dexter yang terlihat sedang mempertimbangkan keputusan tersebut. "Ayolah, Papa," bujuk Michael. "Hanya sebentar."
Netra biru gelap milik Dexter memandang satu per satu dari ketiga orang di ruangan itu. Ia ingin menolak dan menyuruh Michael untuk tetap di rumah, tapi raut memohon dari pemuda itu menggoyahkannya.
Ia menghela napas pasrah. "Baiklah. Kita bisa pergi berempat," ujar Dexter pada akhirnya.
"Yes!" Michael berseru senang. Pemuda itu menyeringai lebar kemudian berlari kecil menuju kamarnya untuk mengganti baju.
Emira bangkit dari kursinya dan membawa piring-piring kotor di meja. Melihat hal tersebut, Matthew segera berdiri dan menghentikan istrinya.
"Biar aku saja, sayang. Jangan membuat dirimu terlalu lelah," tawar Matthew. "Kau sedang hamil, ingat?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Ghost Of The Past [END]
Roman pour Adolescents⚠️ FOLLOW SEBELUM MEMBACA ⚠️ ㅤㅤ [ BOOK TWO OF TWISTED FATE ] ㅤㅤ Semua orang menyukai Michael Davis. Ia pemuda yang ramah pada setiap orang yang ditemuinya, merupakan salah satu murid cerdas di sekolahnya, dan memiliki sebuah keluarga yang terbilang...