Prolog

1K 66 7
                                    

Langit biru yang bersih tanpa awan itu, sudah ditatap hingga leher mulai terasa pegal karena terlalu lama mendongak. Matahari sedang terik-teriknya, membuat kelopak mata sesekali menyipit, lama-lama mulai berair.

Oh, bukan.

Bukan karena menahan kedipan. Dia memang sedang membiarkan tangisnya pecah dalam diam. Meleleh, turun membasahi pipi yang pucat itu. Sementara kedua bibirnya terkatup rapat. Mengunci teriakan yang telah lama memberontak, memohon agar bisa dikeluarkan.

Hening.

Seramai-ramainya kota ini, Birru tetap saja merasa sepi. Keheningan seolah-olah enggan meninggalkannya. Telinga berdenging, berisik-berisik menjadi terseleksi. Sedang kepalanya, beramai-ramai menyuarakan protes.

Harusnya, kamu nggak usah lahir.

Kalau udah terlanjur lahir, jangan ngerepotin!

Jangan nyusahin!

Jangan manja!

Jangan cengeng!

Tepat di gema yang terakhir, Birru tersentak. Buru-buru ia menghapus jejak air mata. Nggak boleh nangis lagi. Kan udah janji sama Papi.

Kaki-kaki Birru mulai melangkah. Terlihat ringan, padahal aslinya terseok, terseret. Birru memang enggan untuk beranjak. Jiwanya terkurung di masa lalu. Masa kecil yang menyenangkan. Langit ungu, awan biru, pepohonan jingga, matahari hijau, laut merah muda, hamparan pasir warna pelangi. Sebelum akhirnya realita hidup datang menghantam. Sebelum tangisnya mulai mewakili eksistensinya di dunia. Sebelum tawa yang polos itu lenyap, menguap. Tawa milik Birru. Tawa milik Effie.

Tau-tau, Birru sudah terduduk lagi di bangku biru ini. Kereta bawah tanah super cepat, membawanya pergi menuju tujuan terjauh: Lebak Bulus Grab. Atensinya mulai tertuju ke orang-orang.

Mereka adalah orang-orang yang sudah berhasil melewati napas per napas. Apa pun masalahnya.

Mungkin ada yang enggan bangun pagi ini. Mungkin ada yang berucap syukur atas terbukanya mata di hari ini.

Mereka adalah orang-orang yang sudah berhasil melewati napas per napas. Apa pun masalahnya.

Birru mulai terbiasa mengamati kehidupan orang lain demi bisa merasakan dirinya yang sekarang. Untuk menyakinkan diri, ia hidup di masa kini. Sementara, masa lalu itu sudah lama berlalu. Tidak bisa diulang. Hanya bisa dikenang.

Sayangnya, hanya bisa dikenang.

Pintu terbuka, Birru berdiri.
Stasiun Blok M BCA adalah destinasi favoritnya untuk tersesat dalam kerumunan. Tempat ini memang selalu ramai didatangi orang-orang. Banyak tempat makan yang katanya hidden gems, tersembunyi letaknya. Karena itu, sebagian besar dari mereka harus mencari dulu. Tersesat dulu. Yang kemudian, bisa menyamarkan ketersesatan Birru yang asli.

Mereka tersesat bersama-sama, meski punya tujuan sendiri-sendiri.
Langkah Birru terhenti pada sebuah kafe cantik di ujung blok—entah yang mana. Ada tulisan Rewind pada plang, di atas pintu. Katanya, “Lewati batas ini, maka kamu bisa kembali menetap di masa lalu.”

Oh, mungkin memang ini yang sebenarnya Birru cari tiap kali menyasar di Blok M Square.

Denting bel yang menyapa telinga tepat ketika pintu terbuka, membuat beberapa mata tertuju ke arahnya.

Yang satu ini yang paling menarik. Yang warnanya hitam legam. Yang tersenyum hingga pipinya terlihat seperti roti. Rambutnya nyaris gondrong, sudah menutupi leher, menutupi kedua telinga. Kemeja putihnya tertupi apron yang bertuliskan Rewind juga. Ia maju, menyusul Birru yang masih bergeming. Senyumnya menenangkan. Seolah-olah berasal dari masa kecilnya, sosok yang berusaha meredakan tangis atas setiap kesalahan yang Birru perbuat. Ucapnya dulu, “Nggak papa. Nanti biar aku aja yang dimarahin. Kamu diem aja di belakang aku.

[END] Awan BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang