Selamanya, Adik Kecil

339 56 23
                                    

Senyum Ata terkembang tepat di saat pintu terbuka, memperlihatkan pemilik rumah yang justru memasang ekspresi berkebalikan. Perempuan itu menghela napas, cengiran adik laki-lakinya semakin terlihat menyebalkan tiap kali kaki-kakinya melangkah masuk bahkan sebelum dipersilakan.

"Kenapa lagi?"

Basa-basi itu sudah kelewat basi. Mala tidak merasa harus menyambut Ata layaknya tuan rumah yang baik. Toh, ini juga bukan pertama kalinya rumah ini dijadikan tempat pelarian oleh Ata.

"Males." Yang bersuara sudah menjatuhkan diri ke sofa. Tangannya meraih remote, mengganti channel yang sedang Mala tonton sejak tadi, menjadi platform berbayar. Kali ini ia memilih yang merah. Tanpa berpikir panjang, Ata langsung mengetikkan judul series yang sering ia tonton berulang saat sedang stres: Boss Baby. "Males diomelin Papa."

"Ya, biasanya juga karena itu, sih." Daripada membuang tenaga dengan menyerukan protes yang sudah pasti tidak akan didengar, lebih baik Mala ikut menjatuhkan diri di samping Ata. Ikut menyandarkan punggung—setengah berbaring—di sofa. "Males diomelin kenapa?"

Ata mengembuskan napas, kasar, seolah-olah semua beban bisa berkurang karenanya; menguap bersama udara yang menyebar entah ke mana. Tatapan Mala yang tak kunjung berpindah, membuatnya menoleh—membiarkan pandangan mereka bertemu.

"Kemarin Papa nyuruh aku dinner bareng Bella. Tapi kami berdua sama-sama nggak dateng. Terus sekarang, masih jam segini ...." Ia menunjuk jam tangannya, masih pukul tujuh malam lewat sedikit—masih terlalu sore untuk ukuran jam orang tua mereka yang selalu memiliki banyak urusan di luar. "Papa udah nongkrong aja di rumah. Kenapa lagi kalau bukan mau ngomelin aku?"

Bukannya turut prihatin, Mala justru terkekeh. Kalau sedang mengadu seperti ini, Ata yang kini sudah menginjak usia 25 tahun, kembali terlihat seperti Ata kecil yang sering dipanggil Napnap oleh Mama. Adik kecilnya yang suka menggerutu dengan bibir yang mengerucut. Lucu sekali. Karena itu, ketika wajah cemberut Ata semakin tercetak jelas, Mala malah mengulurkan tangan untuk mencubit kedua pipinya.

"Adik keciiil, lagi ngadu sama Mbaknya."

"Mbak!"

Semakin tertekuk alisnya, semakin besar tawa yang Mala keluarkan.

"Aku loh, Mbak ... lagi ngomong serius. Jangan cubit-cubit dulu!"

"Oke, oke." Mala berdeham. "Serius dulu, ya, kita." Seiring dengan tawa yang dihentikan dengan susah-payah, ia menurunkan tangannya. "Kenapa, deh? Ini masih soal perjodohan itu, ya?"

Ata mengangguk. Ia masih terlalu sibuk mengelus-ngelus pipinya sendiri. "Papa pengen banget aku akrab dulu sama Bella sebelum bener-bener tunangan. Aslinya musuhan gini. Mana bisa?"

"Bella nggak suka kamu?"

"Aku juga nggak suka Bella!" sahutnya cepat. Ata tidak ingin terlihat buruk sendirian. Hubungan mereka ini memang timbal balik—saling tidak suka—dalam konteks negatif. Sejak menjabat sebagai anggota OSIS selama SMA, mereka berdua sering kali berselisih paham hingga berakhir dengan pertengkaran. Jaiz adalah saksi dari masa-masa permusuhan mereka selama dua tahun penuh. Temannya itu selalu menjadi penengah tepat sebelum ruangan OSIS berubah menjadi kapal pecah.

"Nggak akan bisa, kami, tuh. Beneran nggak sejalan. Kalau pun dipaksain, aku yakin banget hari-hari bakalan berantem mulu. Aku nggak mau, ah, kalau nantinya keluargaku jadi berantakan karena orang tuanya nggak saling cinta." Kata terakhir itu membuat Ata merasa canggung sendiri. Ia tidak menyangka akan mengucapkannya juga. "Lagian, aku juga tau aslinya Bella lagi suka sama siapa."

Mala menaikkan alis. Seperti biasa, perempuan itu tidak akan langsung berkomentar. Ia sedang memberikan ruang kepada Ata untuk merasakan emosinya sendiri—sambil mengamati. Ketika manik mata adiknya sudah terangkat, menatap balik padanya, barulah ia bersuara.

[END] Awan BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang