Langkah-langkah Pasti

367 52 47
                                    

CW // kissing (kecil) (masih puasa friendly)
TW // Mental Illness , mention of Self Harm , BPD

***

"Mama. Ini Birru." Ata menggaruk tengkuknya kikuk, bolak-balik menatap kedua perempuan yang kini saling melempar senyum. Dia menyentuh lengan Birru sekilas. Lalu berakhir menyelami manik mata sang mama dengan penuh tekad—setelah menyelesaikan pergulatan singkat (sengit) yang terjadi di kepala. Kemudian, melanjutkan kalimat dengan kondisi hampir tersedak ludah sendiri. "Pa-car Ata."

Tentu saja, yang katanya sedang diperkenalkan itu, langsung membulatkan kelopak mata, kaget. Dengan mulut setengah terbuka, ia mencoba memberikan sinyal ke Ata, "Belum briefing!" Birru kelimpungan di atas kaki sendiri. Sementara, Mala yang kebetulan masih berdiri di antara perbatasan dapur dan ruang tengah, sudah tertawa tanpa suara menyaksikan pertemuan tidak terduga itu.

Mengabaikan kefrustrasian Birru, Ata malah meneruskan skenarionya sendiri. "Mama inget, nggak?" Sudah terlanjur basah, sekalian saja berenang sampai ujung. "Birru ... anaknya Tante Novi—"

Perempuan paruh baya yang sejak tadi masih memproses siatusi, dengan cepat mengambil langkah maju—bahkan sebelum Ata menyelesaikan kalimatnya. Ia meraih tangan Birru, menatapnya penuh minat. Pantas saja terasa familiar. "Bungsunya Novita? Bandung?" Kerutan halus masih belum memudarkan wajah cantiknya. Aura keibuan menguar—mendominasi—hingga Birru mulai merasakan kehangatan melalui sorot mata mereka yang bertemu. Terlebih ketika tangan halus itu mulai mengelus jari-jarinya. "Ya Tuhan, Dede Birru. Sudah besaaar, ya, Sayang? Cantik sekali."

Sekian detik mereka saling bernostalgia. Membiarkan memori yang kini berwujud kenangan, meluber naik hingga ke permukaan. Setiap perpotongannya terasa samar, hitam-putih, tetapi dengan pasti berhasil membalaskan rasa rindu. Ada senyum prihatin yang berusaha menyuarakan, "Kamu sudah melewati banyak hal, Anak Cantik." tanpa bermaksud menyinggung. Membuat Birru tidak bisa lagi menahan genangan tipis yang berkumpul di pelupuk. Selagi ibu jari itu mengelus pelan pipinya, ia mulai mengumpulkan kepingan tentang bagaimana lembutnya perempuan ini memperlakukan Birru di masa lalu. Tutur kata, gestur tubuh, semuanya. Dia selalu merasa lebih disayang tiap kali masuk ke rumah Napnap yang penuh canda tawa.

"Makan dulu, ya, Nak? Birru masih suka sup ayam, kan? Makanan yang berkuah, loh, ini. Mbak Mala habis masak soalnya Rindu yang minta." Bersama dress selutut bunga-bunganya yang cantik—wangi seperti taman bunga, semerbak di tiap pergerakan—ia menarik pelan Birru menuju dapur. "Udah kenalan sama Rindu belum, Sayang?"

Ata menghela napas. Lega.

Tidak terlihat tanda-tanda penolakan baik dari Mama, mau pun Birru. Terpaku pada posisinya kini, Ata memperhatikan kedua orang itu menghilang di balik sekat antar ruangan. Sekarang dia ingat, Mama memang menyukai Birru sejak dulu. Rasa sayang yang timbul lantaran iba melihat anak sekecil Birru secara terang-terangan diasingkan oleh hampir semua anggota keluarganya sendiri.

"Orang gila!" Senggol Mala heboh—membalikkan seruan frustrasi yang sering Ata suarakan tiap seseorang mulai bertingkah. Dia sudah menahan diri sejak tadi. Cukup dibuat terdiam dengan reaksi Mama yang sungguh berada di luar prediksi. "Katanya belum jadian. Kenapa nyebutnya pacar?"

"Nggak tau, Mbak. Ngasal!" Ata mengacak rambut. Mulai detik ini, dia harus memikirkan penjelasan terbaik yang akan dijabarkan pelan-pelan ke Birru. Agar tidak terjadi kesalahpahaman. Agar tidak terjadi lagi kecanggungan seperti yang sempat mereka alami ketika Ata menyatakan rasa sayangnya tempo lalu. "Mbak Mala juga. Kenapa nggak bilang kalau Mama bakalan ke sini?"

"Kamu loh yang tiba-tiba nongol tanpa kabar. Mana bawa cewek lagi."

Oke. Ata mengaku salah.

Tadinya, dia hanya ingin menghibur Birru yang masih saja menangisi Lili sampai pagi. Rumah Mala adalah tempat teratas yang muncul di kepala Ata setelah mengingat bagaimana senangnya Birru bermain dengan Rindu beberapa minggu lalu. Mungkin, pikiran jelek itu akan teralihkan selagi bertemu keponakan lucunya. Turns out, mereka malah bertemu Mama. Seolah belum cukup, Ata menambahnya dengan membuat kekacauan kecil selama perkenalan singkat tadi.

[END] Awan BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang