Epilog

237 25 6
                                    

Birru masih suka sekali keluar rumah siang-siang. Saat matahari sedang terik-teriknya. Panas yang menyengat. Peluh yang menetes diam-diam. Langit biru yang tertutup polusi itu bahkan sama sekali tidak mengganggunya. Langkah yang pelan akan ia biarkan menyusuri trotoar pejalan kaki—sesekali terhambat oleh pot tanaman besar atau lubang-lubang yang luput dari pantauan pemerintah. Senandungnya mengikuti lagu yang tengah terputar dari playlist favoritnya—dia curi dari kafe milik Ata—untuk membunuh waktu yang jelas tidak akan berasa.

Ata sudah menawarkan untuk diantar Pak Jaya saja; setidaknya sampai di stasiun MRT terdekat. Namun, mengingat bagaimana malasnya ia menggerakkan tubuh beberapa hari ini, membuat Birru pada akhirnya memilih untuk berjalan saja. Toh, meski sudah pindah rumah, jarak menuju stasiun MRT tetap tidak begitu jauh.

Hanya terpisah dua stasiun jika ingin ke Blok M dari Senayan. Tak jauh berbeda dengan Setiabudi, golongan pekerja masih menjadi manyoritas penumpang. Hanya saja, yang satu ini dipenuhi oleh orang-orang dengan lanyard bertuliskan BUMN atau pegawai pemerintahan. Wajar, cukup banyak gedung-gedung kementerian sepanjang jalan sampai menuju daerah ASEAN sana. Kemeja rapi dengan bentuk unik, wangi parfum kekinian, sepatu viral—mereka sang pengikut trend ini pasti sedang mencari tempat untuk menghabiskan jam makan siang. Beberapanya lagi adalah orang yang sepertinya berniat—atau mungkin baru pulang—dari berolahraga, mengingat betapa dekatnya gerbang GBK dari sini. Olaharaga apa, ya, di siang bolong gini?

Hanya duduk sebentar, seruan pemberhentian Blok M BCA sudah terdengar. Membuat Birru sontak mengajak tubuhnya berdiri. Dengan pandangan lurus, ia mengantre di depan pintu yang sebentar lagi terbuka. Ting. Berbondong-bondong sebagian besar dari mereka turun di tempat yang sama.

Ramai.

Ada banyak warga Jakarta yang tanpa ragu memilih kawasan Blok M sebagai tujuan untuk mencari-cari restoran. Sebanyak ini jumlah manusia, tentu saja akan tetap cukup karena banyak sekali juga pilihan yang bisa dituju.

Birru baru hendak menimbang antara berbelok ke kiri menuju penghubung masuk Blok M Plaza, atau menuruni tangga di kanan untuk menuju Blok M Square. Langkahnya berhenti tepat di depan deretan ATM BCA; ada yang masih perlu bekerja menawarkan produk jasa kepada yang berlalu-lalang. Sampai kemudian, matanya menemukan Ata.

Laki-laki itu masih mengenakan kemeja kerjanya, dengan jas yang entah diletakkan di mana. Kemeja putih lengan panjang yang digelung hingga ke siku itu, membuat jam merk Rolex-nya begitu menonjol.

Birru merasa diserang déjà vu. Terlebih ketika manik mata mereka bertabrakan.

Dulu, saat dirinya sering tidak sengaja mendapati sosok itu di tengah kerumunan MRT, wajah masam bersama rambut nyaris gondrong berantakannya, selalu berhasil membuat nyali Birru ciut. Tidak ada keramahan sama sekali. Tiap membuka mulut, satu-dua kata akan terasa menyanyat saking tajamnya.

Sekarang, Ata yang ini tengah melambaikan tangan. Sambil tersenyum lebar. Bergerak maju untuk menyusul Birru agar jari-jari mereka bisa dengan segera saling bersentuhan.

"Mas Napnap!" sapa Birru antusias.

Bukannya mendapat sahutan, sebuah jentikan ringan malah ia terima tepat di dahi. Pelan, tapi cukup untuk membuatnya refleks beraduh ria.

"Bandel banget. Disuruh pakai topi juga." Ata berdecak. Seolah-olah sudah memprediksi, tangan yang sejak tadi ada di belakang punggungnya, bergerak ke atas untuk memasangkan objek yang tadi ia sebut. "Panas, Sayangku. Nggak pusing memangnya?"

Birru mengerucutkan bibir, pura-pura sebal selagi Ata merapikan poninya yang belum masuk sepenuhnya ke topi. Tadinya hendak protes, tetapi dengan cepat ditelan lagi begitu jari-jari itu beralih menoel hidungnya gemas, kemudian turun untuk menggenggam tangannya. Saling melempar senyum mereka. Agar tidak menghambat gerak yang lain, kaki-kaki mulai melangkah lagi bersisian.

[END] Awan BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang