"Stop ngeliatin cowok aku kayak gitu!"
Archie berdecak, malu sendiri karena sudah ketahuan. Sementara Ata terbatuk—tersedak ludahnya sendiri—selagi menyibukkan diri memindahkan koper milik Birru ke mobil. Diam-diam senyumnya terkembang. Dengan cepat berusaha mengontrol wajah sebelum berjalan ke depan.
"Gua aja yang bawa mobil, Bang—"
Tangan Ata langsung ditepis—reaksi yang cukup membuat kaget. Namun, sorot mata tidak suka itu ternyata sama sekali tidak membuatnya ciut lantaran Birru yang buru-buru memeluk lengannya.
"Jangan kasar, ih, Abaang."
Oh, gini rasanya dibelain.
"Gua aja," ucap Archie, berusaha mengatur suaranya senetral mungkin.
Ata mengulum senyum. Sebagai bentuk sopan-santunnya, ia memastikan sekali lagi sebelum Archie menyentuh pintu mobil. "Nggak papa, nih?"
Laki-laki itu menggeram. "Lu nggak liat itu mata adik gua udah hampir keluar? Bentar lagi gua didorong ke jalan dah kayaknya." Harga dirinya masih harus dipertahankan meski Birru tampaknya akan terus menyala-nyala tiap kali ia menyenggol Ata. "Dede duduk depan."
"Nggak."
"Dedeee yang bener aja??? Emangnya Abang supir?" Bagus. Sekarang ia malah menyesali keputusan menjemput dua orang ini hanya karena rasa bersalah yang lalu-lalu.
"Nggak maauuu. Aku maunya sama Mas Napnap."
"Ah elah siapa sih yang ngide ke Bandung naik kereta? Biasanya juga kagak pernah!"
"Ide aku! Kenapa? Abang nggak suka?"
"HADAH!"
Ata terkekeh. Raut frustrasi Archie adalah sesuatu yang tidak pernah terlintas akan menjadi hiburan di pikirannya. Namun, sebelum Archie menyadari gelagatnya, ia menurunkan rangkulan Birru. Dia harus bersikap waras jika masih ingin diterima dengan baik.
"Birru duduk depan dulu, ya? Temenin Abang?" Perempuan itu langsung cemberut—sejujurnya sangat menggelitik. Kalau saja tidak sedang diawasi Archie, mungkin Ata sudah mencium bibir yang mengerucut itu. Rasa gemasnya ia salurkan dengan mengelus pipi Birru sekilas. Beralih ke kepala untuk merapikan rambut yang mulai berantakan tertiup angin. "Jarang-jarang loh Abang bisa luangin waktu cuma buat jemput kamu? Iya, kan?"
Masih belum memindahkan pandangan dari Birru, Archie melipat kedua tangan di dada. Sangat penasaran reaksi seperti apa yang akan diperlihatkan si bungsu yang keras kepala itu. Sejauh ini, hanya Papi yang berhasil membujuknya dengan lembut. Kemudian Elfie, dengan bentakan kasar dan omelan yang panjang—
"Oke, deh. Tapi janji, ya, selama di sini mainnya sama aku terus?"
"Iya, Sayang."
Begitu saja, Birru langsung terbujuk tanpa protes.
Dengan langkah ringan, ia mengambil tempat di samping pengemudi. Berseru memanggil Archie agar bisa cepat-cepat mengantarkan mereka ke rumah.
Mungkin, Archie lah yang hendak menyerukan ketidaksukaan. Dibanding kesal, rasa irinya ternyata lebih mendominasi. Masih sama dengan yang beberapa minggu lalu ia rasakan. Ketika Birru lebih memilih untuk menginap di rumah salah satu keluarga Ata dibandingkan bertemu dengan mereka, keluarga intinya.
Namun, yang bisa ia lakukan hanyalah menghela napas. Tidak mungkin juga jika penyesalannya bisa bersambut dalam waktu dekat. Kesalahan ini sudah terbentuk sejak lama. Sejak Birru mulai merasa dikecualikan alih-alih merasa aman-terlindungi.
"Thanks."
Sekali lagi, Ata tersedak ludahnya sendiri. Keluarga ini sungguh di luar prediksi. Cara komunikasi mereka memang sangat aneh. Syukurnya, kemauan berbenah itu terlihat begitu nyata hingga memaksa Ata untuk mulai memaklumi.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Awan Biru
RomanceBirru inget Ata. Yang tampilannya budak korporat banget; rambut berantakan, muka kucel karena terlalu banyak pikiran, kemeja putih yang lengannya digelung hingga siku, tapi jam tangannya mahal. Persis kayak punya Papi. Ata juga inget Birru. Bocah ce...