"Mas Napnap!"
Seruan yang disertai guncangan panik itu, membuat Ata terpaksa membuka mata. Mengernyit. Cukup lama ia memproses sosok yang ditangkap indra penglihatannya lantaran pusing yang mendadak menjalar hingga ke belakang kepala.
Perempuan, dengan suara yang familiar.
"Tuhan. Hampir aja gue nelpon security." Menghela napas, dia menepuk bahu Ata cukup kuat. Tidak peduli jika yang sedang terkapar lemah itu sampai meringis, kesakitan. Dia perlu menyalurkan emosi negatifnya. "Kebiasaan banget nggak ngabarin orang rumah. Semuanya nyariin Mas Napnap tauuu. Untung aja Kean sempet ninggalin access card."
"Pusing. Nggak sempet buka hape."
Chaca.
Ata sudah mengerjap berkali-kali untuk memastikan. Hampir saja dia salah mengenali orang. Satu nama yang terus-terusan bergema dalam kepalanya sejak kemarin itu, berhasil membawa mimpi dari tidur panjangnya sampai ke dunia nyata.
"Udah tidur dari jam berapa?"
Pertnyaan bodoh. Mana Ata tau? Dia sudah kehilangan kesadaran sejak bangun dari tidur malam kemarin. Kemungkinan besar, pingsan. Sampai detik ini saja, Ata masih belum bisa menggerakkan badannya untuk duduk. Hadeh. Sekalinya sakit udah kayak orang sekarat.
"Pulang sana. Gua mau lanjut tidur."
"Ngaco. Makan dulu, Mas. Minum obat. Pasti belum diisi, kan, perutnya dari pagi?"
Kalau sedang mengomel seperti ini, Chaca jadi mirip Mala. Sifat kekanakan dan kelewat manja yang selalu ia perlihatkan karena perbedaan lima tahun umur mereka, tiba-tiba saja lenyap. Tapi sumpah, di mata Ata, Chaca menjadi lebih berkali-kali lipat menyebalkan.
"Gue pesenin bubur, ya? Habis itu minum obat."
"Nggak usah."
"Argh." Chaca menggerutu. Berlalu meninggalkan kamar untuk mengambil segelas air setelah menyadari bibir Ata yang kering. Dengan galak, ia menyerahkan gelas, menunggu nyaris tanpa berkedip—melotot lebih tepatnya—hingga air hangat itu habis setengah. "Butuh apalagi?"
"Butuh lu balik. Gua mau tidur."
Memang sudah menjadi kebiasaan Ata melewati sakitnya dengan tidur seharian. Dia tidak suka ditemani. Selain menambah pusing di kepala, keberadaan orang lain di ruangan yang sama, membuat rasa kesalnya gampang sekali terpancing. Semua pergerakan menjadi terlihat menyebalkan. Bahkan helaan napas yang harusnya tidak terdengar pun, menjadi polusi suara yang mengganggu. Sensitif. Kini, ia sudah merutuk dalam hati karena parfum vanilla milik Chaca yang terlalu mengusik hidung.
"Please. Mending lu pulang aja. Nggak nyampe lima menit gua bisa emosi liat muka lu."
"Kejamnya." Chaca memasang wajah tidak peduli. "Gue balik kalau Mas Napnap udah makan."
"Nanti."
"Sekarang!"
Ata berdecak. Karena energi yang memang sedang tidak ada, dia memutuskan untuk lanjut memejamkan mata. Chaca adalah manusia paling keras kepala di keluarganya; keturunan Bapak Irawan. Terlalu sering bergaul dengan Kean, pemberontak resmi sudah menjadi nama tengah Chaca.
"Tolong kabarin Mas Abi."
"Udah." Chaca meraih ponsel Ata. "Lupa, ya, udah punya PA? Mas Bayu, tuh, sampai ditegur Mas Abi karena nggak tau Mas Napnap lagi di mana. Katanya hari ini ada meeting penting. Mana si Kean tau-tau lagi di Singapore. Gue dah yang kena getahnya."
"Berisik." Mana bisa Ata memproses kalimat panjang itu. Ia langsung memunggungi Chaca yang sudah berhasil membuka kunci ponsel Ata setelah meraih jempolnya untuk meminta sidik jari.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Awan Biru
RomanceBirru inget Ata. Yang tampilannya budak korporat banget; rambut berantakan, muka kucel karena terlalu banyak pikiran, kemeja putih yang lengannya digelung hingga siku, tapi jam tangannya mahal. Persis kayak punya Papi. Ata juga inget Birru. Bocah ce...