Sesuai prediksi, Ata sudah mendapat siraman rohani dari Bapak Irawan pagi-pagi sebelum seisi rumah mulai disibukkan dengan persiapan ulang tahun Eyang. Banyak yang tidak sengaja Chaca curi dengar. Dia memang sengaja bolak-balik melewati ruang kerja yang didominasi aura tidak menyenangkan itu demi mendapatkan secuil informasi. "Papa nggak suka, ya, kalau kamu pasrah kayak gini!" Dan itu adalah poin pentingnya.
Dari kecil, mereka semua memang selalu diajarkan untuk berusaha keras dalam meraih sesuatu. Kalau tidak bisa dengan rencana A, perjuangkan lagi dengan rencana B, C, hingga Z. Menjadi problem solver yang baik dalam situasi kritis adalah hal yang ingin Papa tanamkan agar mereka tidak manja dan bermalas-malasan. Tapi masalahnya—sering kali—beliau itu lupa, manusia selalu memiliki batas. Mau semati-matian apa pun, kalau memang bukan itu takdir dari Tuhan, apa lagi yang bisa dilakukan? Sementara, hidup pelan mengikuti arus, bukanlah perbuatan dosa yang harus dicerca apalagi dianggap gagal.
Papa bukan orang tua yang kejam, tapi dia memang sangat keras kepala. Ada hari-hari di mana rumah akan dipenuhi canda dan tawa. Papa yang penyanyang, Papa yang royal. Namun, tetap saja, akan ada hari-hari di mana rumah ini terasa bagaikan neraka. Batu bertemu batu. Berdebat tanpa ujung. Tidak ada yang mau mengalah sampai akhirnya Mama jatuh sakit karena stres menanggung beban menjadi satu-satunya yang berhati lembut.
Sebagai adik yang sering dilindungi tiap kali Papa menunjukkan gelagat akan bersikap keras, Chaca hanya bisa menepuk bahu Ata—prihatin—begitu sesi marah-marah berhasil dihentikan oleh Mama. Kekhawatiran Chaca masih belum pergi sampai acara inti dimulai. Ata yang selalu banyak bicara itu, tiba-tiba saja menjadi pendiam. Bahkan, kehadiran Rindu dengan semua gombalan khasnya hanya bisa membuat bibirnya tersenyum tipis.
Apa lagi, sih, yang dituntut Papa dari Mas Napnap?
"Gue perhatiin Mas Napnap lemes amat, deh." Chaca menyenggol Kean. Melihat tidak adanya perubahan suasana hati Ata, sepertinya Chaca harus mencari informasi dari pihak terpercaya dulu. Baru nantinya memikirkan cara untuk menghibur. "Lagi ada masalah di kantor, ya? Tadi pagi habis kena sidang Papa juga, tuh, di ruang kerja."
Kean terkekeh pelan. Sepupunya ini kemungkinan besar belum mengetahui badai apa yang akan menyerang Ata dalam hitungan menit nanti.
"Lagi mempersiapkan diri."
Chaca menaikkan alis, sontak menajamkan telinga. Semua informasi yang keluar dari mulut Kean adalah gosip panas yang menarik. Berbanding terbalik dengan Ata dan Abi yang selalu membicarakan hal-hal serius terkait urusan kantor dan masa depan, Chaca jelas lebih cocok berinteraksi dengan Kean selama acara keluarga yang membosankan ini. Tiup lilin sudah. Potong kue sudah. Makan-makan juga sudah. Lantas, kenapa dirinya masih belum diperbolehkan pulang—main—juga? Karena itu, Chaca terpaksa mengambil langkah mundur dan menarik Kean untuk duduk di ayunan belakang rumah Eyang. Menghindari lingkaran penuh keambisan yang lebih membuat kepalanya pening dibanding after effect minuman tequila.
Bodoh. Ini bukan saatnya untuk bergosip. Chaca sedang menjalankan misi penting demi menjadi adik yang berguna.
"Oh! Karena nggak jadi bawa cewek, ya?" Tiba-tiba dia teringat dengan sambatan Ata ke Mala beberapa hari lalu. Overheard, seperti biasa. Di mata Ata, Chaca hanyalah anak kecil yang tidak boleh ikut campur urusan orang dewasa.
Kean mengangguk. "Inget kejadian Mas Abi tiga tahun lalu?"
"Inget!"
"Gitu, dah, pokoknya. Sama persis." Kean melemparkan pandangan ke ruang tengah. Dari posisi duduknya, ia bisa melihat Ata yang berdiri dengan tatapan mengawang meski Abi sedang serius mengajaknya mengobrol. "Bedanya, Mas Napnap nggak mau dijodohin." Kean sengaja mengambil jeda. Dialah sang ahli yang pintar mengatur emosi saat bercerita. "Kayaknya lu belum tau, sih. Mas Napnap udah punya cewek yang pengen dikenalin ke Eyang. Tapi mendadak nggak bisa dateng. Jadi kayaknya Eyang bakalan ngomel besar kayak Om Awan tadi pagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Awan Biru
RomanceBirru inget Ata. Yang tampilannya budak korporat banget; rambut berantakan, muka kucel karena terlalu banyak pikiran, kemeja putih yang lengannya digelung hingga siku, tapi jam tangannya mahal. Persis kayak punya Papi. Ata juga inget Birru. Bocah ce...