CW // kissing , konten pacaran
***
Ata baru menyelesaikan obrolan via teleponnya dengan Raka ketika Kean tiba-tiba masuk ke ruangan. Seolah-olah sudah tau apa yang akan ia dengar di detik berikutnya, Ata menyela tepat ketika Kean baru hendak membuka mulut.
"Iyeee. Udah tau gua. Stop. Kagak usah dilanjut."
"Apa, deh?"
"Mau ngabarin soal Javi, kan?" Ata menunjuk ponselnya dengan wajah datar. "Barusan dikabarin Raka."
"Oh." Kernyitan di dahi Kean akhirnya menghilang. Ia menjatuhkan badan ke sofa. Semenjak resmi direkrut sebagai salah satu penerus perusahaan, sepupunya ini memang sudah diberikan ruang khusus. Seperti Abi. Hanya saja, jabatan Abi jauh lebih penting dibandingkan Ata. "Tapi karena udah dikasih amanah, aku tetep mau nyampein, ya. Bang Javi udah balik ke rumah. Dah. Lama juga loh dia ngindarin kita. Hampir sebulan. Mau langsung ketemu nggak, Mas?"
Ata menghela napas. Memijit pelipis sambil kembali menatap layar laptop. "Ada. Tapi nggak sekarang. Masalah gua sama Mas Abi, nih. Lebih urgent."
"Oh! Iyaya. Lupa aku." Setelahnya, Kean malah ikut-ikutan menghela napas. Tidak menyangka konflik jelek khas sinetron ini akan terjadi juga di antara mereka. "Udah didiemin berapa lama, Mas?"
"Seminggu, anjing. Tiba-tiba ngasih kerjaan segunung. Tiba-tiba ngilang. Tiba-tiba gua dianggap transparan. Tai." Laptop itu Ata tutup kasar. "Makin ngerasa bersalah dah gua kalau kena silent treatment gini."
Kean meringis. Sebagai adik kandung dari Fabian, dia sudah cukup kenyang menghadapi sikap itu.
"Menurut lu, gua harus gimana?"
"Mas nanya aku, aku nanya siapa?"
"Hadaaah. Kacau."
Takut-takut, Kean terkekeh. Melihat orang frustrasi adalah sesuatu yang cukup menghibur. Meski, pada akhirnya, tatapan tajam Ata dapat dengan cepat membuat Kean berdeham, mengatupkan bibir.
Dia memang belum memiliki jawaban atas pertanyaan itu walau sudah mengenal Fabian seumur hidupnya. Mereka adalah tipe keluarga yang tidak saling mengucap maaf untuk berbaikan. Tau-tau, salah satunya sudah menciptakan obrolan. Mengalir saja seolah-olah tidak pernah ada pertengkaran. Tapi, mungkin, sedikit pandangan darinya bisa membantu Ata dalam berpikir.
"Menurut observasi aku, Mas Abi tuh, agak ketar-ketir posisinya bakalan kegeser sama Mas Napnap. Apalagi setelah tau Eyang keliatan happy denger rumor Mas mau nikah. Dari dulu Mas Abi selalu iri karena nggak pernah jadi cucu kebanggaan. Padahal, kan, status cucu pertama laki-laki keluarga Cakrawala udah dipegang dia, tuh. Teteeep aja yang diomongin selalu Mas Napnap. Gimana nggak insecure? Dia baru aja cerai tahun lalu, masih proses move on. Kemungkinan besar nggak akan ngasih cicit dalam waktu deket. Jadi wajar, sih, Mas Abi butuh jaga jarak dari Mas Napnap dulu. Daripada berantem beneran?"
"Hah? Kenapa, dah? Padahal Mas Abi juga yang paling tau gimana nggak tertariknya gua sama jabatan di perusahaan. Khawatirin apa, sih?"
Kean mengangkat bahu. "Mas Napnap, mah, aman. Om Awan, tuh. Obsesi banget kayaknya. Kalau Eyang seneng sama Mas, bakalan digas terus, lah."
Kalimat itu, seakan menyadarkan Ata. Lah, iya. Titik demi titik perlahan membentuk benang merah. Apa ini ada hubungannya dengan usaha Ata dalam meminta restu?
Belakangan, selagi Bapak Irawan itu sedang melakukan perjalanan dinas keluar negeri, Ata mengirimkan email dengan tujuan mempersuasi sang Papa. Mulai dari text formal hingga informal. Ia jelaskan dengan rinci, sesopan, dan semanusiawi mungkin, berharap kebesaran hati dari Papa agar mempertimbangkan niatnya untuk serius dengan Birru. Terserah kapan baru akan terwujud, yang penting kantongi restu dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Awan Biru
Roman d'amourBirru inget Ata. Yang tampilannya budak korporat banget; rambut berantakan, muka kucel karena terlalu banyak pikiran, kemeja putih yang lengannya digelung hingga siku, tapi jam tangannya mahal. Persis kayak punya Papi. Ata juga inget Birru. Bocah ce...