CW // Harsh Words
***
Siapa yang impulsif mengirim pesan ambigu dan siapa juga yang berakhir uring-uringan karena kebingungan sendiri?
Iya. Arnav Hatadi. Jangan bawa-bawa nama keluarga. Malu dengan didikan ketat dari Eyang dan Bapak Irawan yang harusnya bisa menjadikan Ata sebagai salah satu manusia yang pintar memanfaatkan proses berpikir kritis.
Sudah dua hari dia menghindari ruang obrolan Birru. Memalukan. Wajahnya langsung memerah tiap memikirkan reaksi apa yang akan ditunjukkan perempuan itu jika situasinya berupa obrolan face to face. "Naksir gue aja"???? Kelewat percaya diri.
Bagaimana kalau ternyata naksir yang dimaksud Birru tidak sedalam yang sempat ia duga? Bagaimana kalau aksi gegabah tanpa pertimbangan itu malah membuat hubungan mereka menjadi canggung?
"Tolol."
"Siapa? Gua?"
Ata baru saja mengatai dirinya sendiri. Dan kehadiran Jaiz yang belum sepenuhnya berhasil ia proses, tidak termasuk dalam perhitungan kesadarannya. Namun, meski seharusnya menampik, Ata malah mengangguk untuk membenarkan. Temannya itu juga berhak menerima umpatan.
Laki-laki yang sudah merelakan jam istirahat berharganya untuk mendatangi Ata itu mengerjap tidak percaya. Agaknya usaha yang sudah ia lakukan masih kurang di mata Ata. "Gue udah nurunin gengsi sampai mau minta maaf duluan loh?"
"Gua maki dulu sebelum dikasih maaf."
"Sialan." Jaiz meraih minumnya. Dalam hati meneriakkan kata-kata kasar yang sejujurnya ingin sekali ia perdengarkan ke Ata. Tahan, tahan. Mereka baru saja mencapai kesepakatan damai beberapa menit yang lalu. Masa harus dirusak lagi?
Jaiz berdeham. Temannya itu sudah melamun lagi. Sepertinya sedang banyak pikiran. Mungkin terkait perusahaan. Atau seputar permintaan aneh-aneh yang sering diajukan oleh Eyang atau papanya. Dia mulai merasa bersalah lagi.
"Jadi, lu udah batalin yang sama Bella?"
Ata mengangguk. Pandangannya masih mengawang.
"Terus, yang dikenalin ke Eyang?"
"Birru."
"Memang anjing." Ucapan itu begitu spontan. Jaiz tidak menduga akan lulus tanpa filter sebelum ia menyadarinya. "Eh, sorry. Tapi lu memang anjing. Siapa yang kemaren bilang nggak akan ada hubungan apa-apa? Plin-plan lu."
"Mau berantem lagi, nih?" Ata menaikkan alis. "Ayok aja gua, mah."
"Nggak gitu, anjir." Jaiz menghela napas. "Sebel gua. Lu kagak jelas."
Nggak jelas? Memang. Ata selalu terlihat percaya diri tiap kali bibirnya menyebut nama Birru. Seperti saat dia berusaha menyakinkan Abi dan Kean tentang niatnya yang sudah bulat. Ata ingin mengenalkan Birru ke Eyang. Titik. Urusan nanti, akan ia pikirkan nanti.
"Menurut lu? Gua harus gimana?"
Jaiz mengernyitkan dahi. Agak kaget juga. Dia pikir Ata akan marah lagi. Siapa sangka Ata malah meminta saran darinya? Apa perang dingin yang berlangsung berhari-hari lalu tidak ada pengaruhnya lagi?
"Ya diperjelas, lah. Kalau suka ya udah, bertindak. Kalau nggak suka, jangan dikasih harapan." Ntahlah. Jaiz sendiri juga tidak pernah mengerti dengan hubungan rumit yang terbentuk antara dua manusia lawan jenis ini. Biasanya dia hanya mengikuti insting. Kalau sudah tidak lagi membawakan nyaman, nantinya akan ia akhiri tanpa penyesalan. Toh, suatu hari nanti dia tetap harus menikah dengan perempuan pilihan keluarga besarnya. "Birru keliatan lucu. Kasihan kalau dibikin patah hati."
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Awan Biru
RomanceBirru inget Ata. Yang tampilannya budak korporat banget; rambut berantakan, muka kucel karena terlalu banyak pikiran, kemeja putih yang lengannya digelung hingga siku, tapi jam tangannya mahal. Persis kayak punya Papi. Ata juga inget Birru. Bocah ce...