Nama Javi mendadak muncul.
Berawal ketika Ata diam-diam meminta bantuan Kean untuk mencari tau hal-hal yang berkaitan dengan publisher tempat Birru bekerja. Asal-mula. Pemilik. Dari mana asal dana. Ke mana saja laba-ruginya akan berputar. Nama-nama yang terlibat tepat di atas Kepala Redaksi. Hingga kemudian, nama Javiero Dhananja muncul di tengah-tengah.
"Andromeda tuh, awalnya cuma tempat percetakan biasa, Mas. Lumayan menjanjikan, sih. Lokasinya ada di sekitaran kampus-kampus. Sering dipakai buat nyetak skripsi, anjir. Langganan mahasiswa semester akhir yang pastinya bakalan ada terus tiap bulan." Ia berdeham. Kembali ke mode serius. "Terus, lima tahun lalu, tiba-tiba dapat suntikan dana banyak banget."
Sontak, satu nama yang paling dekat dengan Birru melintas cepat di pikiran Ata. "Om Adi, ya?"
"Adinata Kertawijaya." Ucapan itu keluar nyaris bersamaan. Menguatkan kesimpulan Kean tentang Ata yang mungkin sudah memiliki asumsi jauh sebelum memberikan mandat. Dia terkekeh. "Kalau soal Bang Javi? Udah tau?"
"Kaget juga gua."
Kernyitan di dahi Ata membuat Kean mengangguk paham.
Javi dan kehidupannya yang misterius. Keluarganya sangat complicated; dengan silsilah yang membingungkan. Memang sudah terkenal kontroversial karena sering ditimpa isu perselingkuhan. Sementara, gosip tak bermutu tentang deretan nama anak haram kerap kali muncul di tahun-tahun genting—pada tahun politik pergantian pemimpin, misalnya.
Jika Ata saja tidak memiliki clue, bagaimana Kean bisa punya?
"Aku udah coba nyari tau." Kean kembali mengirim satu file tambahan ke Ata. "Kurang paham apa posisinya di sana, tapi orang yang namanya Tyo ini, Kepala Redaksi Andromeda, sering ngirim laporan ke Bang Javi. Terus, sebelum bokapnya Birru meninggal, mereka, maksudnya Bang Javi dan Om Adi ini, lumayan sering kontakan. Entah urusan bisnis terkait Andromeda, atau hal-hal di luar itu. Aku nggak bisa nemuin benang merahnya."
"Tapi, kita anggap aja ini berkaitan sama Andromeda. Javiero, atasannya Tyo. Sementara Adinata, investor tunggal Andromeda yang mungkin, udah nunjuk Javiero buat mantau kelancaran operasional."
Kean mengangkat bahu. Mencebik, selagi memproses ulang informasi yang sudah ia kumpulkan selama satu bulan terakhir.
Tanpa dijelaskan pun, mereka bisa menebak. Adinata memang sengaja menciptakan tempat kerja untuk Birru setelah anak bungsunya itu memutuskan untuk kuliah di jurusan Sastra Indonesia. Tipikal orang tua kaya raya yang ingin membuka jalur untuk anak kesayangannya. (Kean punya puluhan teman yang kuliah kedokteran—setelah menyogok ratusan juta, orang tuanya akan sibuk membangun klinik). Tapi, meski tujuan awalnya bukan berorientasi bisnis, tetap saja harus diawasi agar tidak benar-benar merugi. Atau, setidaknya, bisa balik modal.
Namun, hal itu malah membuat susunan di kepala Ata semakin teracak. Membingungkan. Apa hubungan Javi dengan papinya Birru? Sejak kapan mereka saling kenal?
Ata masih mengingat dengan jelas, ketika pertama kali mengetahui bahwa orang-orang di sekitarnya—surprisingly—ternyata mengenal Birru. Dia bercanda, menodong pertanyaan tanpa konteks kepada Javi, "Jangan-jangan lu kenal Birru juga?" Lucu sekali, waktu itu, jika Javi tau-tau mengiyakan.
Sekarang, tak lagi terasa lucu.
"Mau coba tanyain Bang Ayis, nggak, Mas?" Kean berusaha memberikan solusi. "Bang Ayis, kan, deket, tuh sama Bang Javi."
Gelengan cepat itu bukan cuma refleks. Deep down, Ata masih ingin menghormati Javi. Sangat tidak etis mencari seluk-beluk dari hal yang selalu Javi anggap sebagai aib. Terlebih, jika ditanyakan kepada pihak ketiga.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Awan Biru
RomanceBirru inget Ata. Yang tampilannya budak korporat banget; rambut berantakan, muka kucel karena terlalu banyak pikiran, kemeja putih yang lengannya digelung hingga siku, tapi jam tangannya mahal. Persis kayak punya Papi. Ata juga inget Birru. Bocah ce...