Kecupan Rasa Stroberi

380 67 58
                                    

P.s tolong hidupin data internet yaaa

***

Ajakan pacaran dari Birru tidak sepenuhnya serius. Tapi, juga tidak bercanda. Ucapannya jelas mengandung dua sisi mata uang yang saling berkebalikan. Dan Ata juga sudah menduganya.

Perempuan itu mungkin lebih sering terdengar asal bunyi. Begitu terus terang. Mudah sekali dibaca setiap eksrepsinya. Namun, ketika cerita lama tentang Mas Napnap itu keluar dari bibirnya, Ata bisa menangkap sisi lain yang sudah disembunyikan. Birru justru kebalikannya. Dia memang bisa dibaca. Tapi, lebih tepatnya, seperti buku yang berisikan narasi dengan maksud implisit. Banyak hal yang harus diperhatikan untuk menafsirkannya.

Sulit.

Ada sekat tak kasat mata yang selalu Birru gunakan untuk melindungi diri. Bentuk defense mechanism yang terbangun alami karena kumpulan trauma dari tahun ke tahun.

Tapi, Ata mengerti. Dia juga tidak keberatan untuk memaklumi. Mempelajari. Hingga akhirnya diberi izin untuk menyibak sekat itu.

Ternyata perjalannya masih panjang.

"Udah ngajakin Birru belom?" Suara Javi berhasil memecah lamunan Ata.

Jeda permainan sengit dari olahraga tenis yang rutin mereka lakukan setiap Sabtu pagi ini, seharusnya Ata manfaatkan untuk menenggak minuman isotonik. Atau minimal menyeka keringatnya sendiri. Tapi dia malah tenggelam lagi dalam lamunan. Aktivitas yang belakangan sulit sekali Ata cegah. Konflik yang timbul setelah membiarkan Birru masuk ke hidupnya, terlalu sulit untuk dicarikan resolusinya. Tidak seperti masalah ketika berselisih dengan Papa. Lebih rumit hingga kepalanya mulai terasa pening. Mendadak saja kemampuan problem solving-nya menjadi terjun bebas hingga hampir menyentuh angka nol.

"Woy."

"Hah?"

Javi menghela napas. Tadi malam dia sudah diberi spoiler oleh Jaiz. Teman mereka yang satu ini sepertinya sedang menanggung banyak sekali beban pikiran. Belum lagi posisinya sebagai ahli waris keluarga Cakrawala sedang dipertaruhkan karena keputusan gegabah yang baru-baru ini Ata ambil.

"Ulang tahun Eyang. Acaranya besok, kan?"

Ata mengangguk untuk menjawab dua pertanyaan sekaligus. Iya, udah ngajakin Birru. Iya, acaranya besok.

"Terus?"

"Nggak mau dia."

"Pffft. Sumpah?" Tadinya Javi ingin tertawa. Matanya sudah nyaris hilang karena kedua sudut bibir yang tertarik otomatis. Namun, raut serius yang Ata perlihatkan, membuatnya buru-buru menahan diri. "Gimana, dong? Udah punya plan B?"

Itu dia. Sejak kapan seorang Ata tidak punya plan cadangan? Saking seringnya memberontak—melawan rezim Bapak Irawan yang mendekati dictator itu—Ata sudah terlatih menyusun rencana hingga ke abjad Z. Apa pun, demi lolos dari cengkraman sang Papa.

"Kayaknya gua pasrah aja, dah." Ata menengadah. Matahari pagi sudah naik dan akan berubah menjadi siang. Sudah tidak ada embun yang membuat udara terasa sejuk—bodoh, memang tidak pernah ada selagi mereka hidup di Jakarta yang penuh polusi. "Dicoret dari daftar ahli waris itu cuma gertakan Eyang. Gua yakin banget."

"Lah? Terus kenapa ngotot amat pengen ngenalin Birru?"

Ata memindahkan pandangan ke Javi. Dia tersenyum miring; kaget dengan dirinya sendiri. Jawabannya sudah menggema sangat jelas. Karena bukan warisan Eyang yang gua mau.

Kacau.

Ternyata naksir yang Birru maksud memang tidak sedalam itu. Ata, lah, yang sudah memaknainya begitu jauh. Terlanjur. Jatuh.

[END] Awan BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang