Satu-satu Momentum

343 66 99
                                    

Birru memang agak lambat dalam berpikir. Tapi, dia punya kepekaan yang luar biasa tinggi. Seperti kata orang kebanyakan, di mana ada kekurangan, pasti ada kelebihan yang melengkapi. Pun sebaliknya. Dan, kepekaan itu mulai aktif sepulang dari Haka Dimsum Blok M.

Birru yakin sekali, Ata keceplosan menyahuti ketika dirinya tidak sengaja menyebut nama Napnap.

Pelan-pelan, Birru menarik timeline mundur; ternyata, semua kejanggalan yang sempat dia tepis memang sudah sepatutnya ia cari tau lebih dalam.

Rasanya, Birru tidak pernah menyebut-nyebut Bandung. Tapi, dari mana Ata tau kota asalnya? Apa Raka pernah cerita? Lalu, dari mana Ata bisa mengambil kesimpulan tentang keluarga Birru yang suka marah-marah? Terutama soal ketakutan Birru dengan Teteh? Tau dari siapa? Tidak mungkin Lili, kan?

Yang terpenting adalah, tahi lalat itu. Yang tersebar dari leher hingga ke pipi, jelas bentuk yang sama dengan milik Napnap. Dulu, Birru sering mencoretnya dengan spidol berwarna—menghubungkan titik per titik hingga terbentuklah rasi bintang. Kata Napnap, namanya Ursa Minor. Padahal, Birru hanya asal menarik garis.

Birru sengaja menunggu Ata setelah hari itu.

Pasti ada waktu yang tepat untuk menjelaskan—mengingat Ata sudah berusaha memancing Birru soal pertemuan sebelum rentetan kebetulan di MRT. Mungkin, Ata punya alasan yang harus Birru pahami dulu; tidak gampang membuka identitas sebagai Napnap setelah Birru beberapa kali menyinggung dia sudah tidak penasaran lagi.

Ini semua perihal momentum. Dan, mungkin, Ata masih belum menemukannya. Birru mencoba menghibur diri. Berusaha menghindari segala pertanyaan yang membuatnya bersedih. Kenapa, ya, nggak jujur aja dari awal? Apa menyenangkan menjadi satu-satunya pihak yang tau, lalu menertawakan pihak yang lain yang merasa clueless?

Oleh karena itu, ketika pesan dari Chaca masuk ke ponselnya, alih-alih kaget, Birru malah merasa bingung. Momentum itu, tidak selamanya harus ditunggu. Bisa saja diciptakan dengan sendirinya.

Birru pikir, Ata berbeda. Ternyata, sama saja.

Dengan perasaan yang mengawang, Birru meletakkan mawar kuning kesukaan Papi di rumah peristirahatan terakhirnya. Rasanya kosong. Air mata pun enggan untuk meramaikan.

"Papi ...."

Setelahnya, tidak ada lagi kata yang mengudara.

Kebingungan membuat Birru tercekat. Sepuluh menit sudah ia lewati dalam diam, sambil memandangi rerumputan yang tumbuh merambat di pusaran—terlihat segar hasil dari tetesan embun pagi. Nyaris setengah jam, masih juga senyap. Padahal, Birru sudah janji akan datang membawa banyak cerita baru pada tiap kunjungannya.

"Maaf, Dede baru berani mampir."

Kalimat pertama dan terakhir yang sanggup Birru keluarkan. Mungkin, ini efek perjalan darat yang memakan waktu tiga jam lebih, atau yang lainnya, tapi Birru mulai merasa mual. Seperti ada yang dengan sengaja menguras isi perutnya. Berputar-putar mereka, mendesak naik hingga ke kerongkongan. Karena itu, Birru memutuskan untuk pulang setelah memastikan tidak ada orang di rumah—ada gunanya juga group chat keluarga.

Sementara, selain dibuat pusing perihal Ata yang ternyata adalah Mas Napnap, Birru mulai sibuk memikirkan satu hal lain. Ada sebuket mawar kuning selain yang baru ia bawakan hari ini. Sepertinya ada yang berkunjung setidaknya dua hari lalu. Tapi, siapa lagi yang tau bunga kesukaan Papi selain Birru?

***

"Neng Dede!"

Birru memaksakan senyum menyambut pelukan rindu dari asisten rumah tangga kesayangan keluarganya. Bi Dewi, namanya. Wajah terharu melihat eksistensi Birru setelah sekian lama itu, membuat yang dipeluk merasa terharu. Belum lagi aroma minyak kayu putih yang menyeruak masuk menghangatkan hati Birru yang sempat dingin.

[END] Awan BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang