"Emang udah pernah coba bujuk Om Awan?" Fabian menatap Ata dengan perasaan bersalah luar biasa. Keputusan yang sudah Ata sampaikan barusan, mungkin saja memutus satu-satunya jalan menuju Birru. Silent treatment yang ia berikan hingga berhari-hari, pastilah—sedikit-banyak—berdampak pada langkah yang akhirnya Ata tentukan hari ini. "Nggak mau dicoba dulu?"
Ata sedang terburu-buru. Rasa panik begitu tau Fabian akan bekerja on site di Kalimantan dalam waktu yang lama, membuat isi kepalanya menjadi berantakan. Rasanya seperti tersentak—bangun—di tengah mimpi buruk bersama napas yang pendek-pendek. Terlalu kalut meski hanya untuk memikirkan jawaban dari pertanyaan sederhana itu.
Tidak, itu bukan sesuatu yang sederhana.
Sekian detik waktunya terhenti, Ata sampai harus menggali memori. Yang terletak di sudut nyaris tak tersentuh. Rupanya, mengandung banyak sekali trauma. Tentang penyesalan yang membuat Ata berjanji tidak akan pernah lagi bertekuk lutut hanya untuk membujuk Papa.
"Pernah," jawabnya kemudian. Ata tersenyum miring. "Dan nggak akan mau lagi."
Ata bukannya takut dengan Bapak Irawan. Dia sudah bukan anak kecil. Hanya saja, ada sesuatu yang selalu menahannya untuk tidak memberontak.
Mama.
Perempuan yang sudah melahirkannya itu, sangat paham perihal betapa keras watak keduanya. Akan ada kekacauan besar jika Ata juga turut mengikuti egonya mentah-mentah. Bertahun-tahun hidup di tengah keambisiusan Papa, Mama jelas sudah menyerah untuk bersikap netral setiap ada perselisihan. Cara teringkas adalah dengan berbalik ke Ata: memberi pengertian pada anaknya. Ata yang patuh. Ata yang sayang dengan mamanya. Jelas lebih akan membuahkan hasil.
"Ngalah dulu, ya, Sayang? Papa bukannya jahat. Terlalu banyak tuntutan dari Eyang, dari kantor. Papa butuh sedikit bantuan Napnap. Lagian, nggak ada ruginya di Napnap juga, kan? Semua demi kebaikan kita."
Kita, yang mengecualikan diri Ata sendiri.
Mobil sudah berhenti lagi di halaman rumah Birru—masih bersama hening yang cukup mencekam keduanya.
Takut-takut, Birru melirik Ata. Setelah menarik rem tangan dan mematikan mesin, laki-laki itu malah memejamkan mata. Bibirnya terlihat bergerak, menggumamkan angka-angka untuk ia hitung mundur. Mengembuskan napas kasar, baru kemudian memindahkan tatap ke Birru.
Sorot tajamnya seketika berubah lembut. Sekian detik, ia perpanjang waktu dengan membasahkan bibir. Ata perlu menjelaskan sebelum asumsi Birru semakin bertambah liar.
"Aku nggak bilang Papa karena aku pikir beliau masih lama stay di rumah. Aku pikir, ngobrolnya bisa nanti, kalau isi kepalaku udah agak mendingan. Ke Bandung ini bukannya karena pengin kabur, Sayang. Sumpah. Aku beneran butuh jeda sebentar aja." Ata meraih kedua tangan Birru. "Aku nggak bisa ngadepin Papa tanpa mikirin solusi dari kesalahan yang udah aku buat."
Sebelum Birru membuka mulut, Ata buru-buru menyela.
"Kita bukan kesalahan. Aku nggak setuju sama Papa."
Birru bisa merasakan ketegangan yang mengalir dari genggaman Ata. Pelan, ia berusaha menguraikannya dengan mengelus punggung tangan yang dingin itu. Cara ini selalu berhasil untuk mengurangi rasa cemasnya; semoga juga pada Ata. Kemudian, ketika manik mata mereka bertemu lagi, Birru pastikan ia tersenyum.
"It's okay, Mas Napnap. Semuanya bakalan baik-baik aja. Iya, kan? Kamu yang selalu bilang gitu ke aku."
Suara Birru secara signifikan menyebarkan ketenangan ke seluruh rongga dada Ata. Ajaib sekali. Ia mulai bisa merasakan napasnya, membaik, menjadi teratur. Diiringi elusan lembut yang Birru berikan pada jari-jarinya tanpa henti.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Awan Biru
RomanceBirru inget Ata. Yang tampilannya budak korporat banget; rambut berantakan, muka kucel karena terlalu banyak pikiran, kemeja putih yang lengannya digelung hingga siku, tapi jam tangannya mahal. Persis kayak punya Papi. Ata juga inget Birru. Bocah ce...